Menjadi Manusia di Tengah Derasnya Digitalisasi
Oleh: Agus Sani
Di tengah lalu lintas informasi yang semakin padat, manusia hari ini hidup dalam dunia yang sangat terhubung. Segala hal bisa dilakukan dari layar dalam genggaman: belajar, bekerja, bahkan membangun bisnis dan membentuk identitas sosial. Tetapi dalam keterhubungan digital yang masif ini, kita patut bertanya: apakah kita masih terhubung sebagai manusia?
Digitalisasi telah membawa kemudahan luar biasa. Namun bersamaan dengan itu, kita menyaksikan satu gejala yang tidak kalah penting: perlahan, ruang-ruang kemanusiaan mulai tergerus. Kita lebih mudah memberi komentar ketimbang menyimak dengan empati. Lebih terbiasa membaca reaksi daripada merasakan isi hati. Relasi antarmanusia berubah dari dialog menjadi monolog dalam bentuk unggahan, dari pertemuan menjadi notifikasi.
Fenomena ini tidak hanya tentang perubahan pola hidup, tapi menyentuh akar dari siapa kita sebagai makhluk sosial, spiritual, dan bermakna. Kita semakin cerdas secara digital, namun belum tentu semakin bijak secara manusiawi.
Persoalannya bukan sekadar soal kehilangan waktu bersama keluarga, atau berkurangnya percakapan hangat antar sahabat. Lebih dalam dari itu, kita perlahan kehilangan kemampuan untuk hadir utuh—untuk menyimak, memahami, memaafkan, dan menyentuh hati orang lain. Digitalisasi tanpa kendali nilai berisiko menjadikan manusia sebagai makhluk yang cepat, tetapi tidak dalam. Terhubung, tapi tidak sungguh-sungguh hadir.
Masalah ini bahkan bisa menyentuh dimensi religiusitas. Ketika waktu hening tergantikan oleh layar, saat ibadah terganggu notifikasi, dan saat refleksi personal digeser oleh pencitraan digital, kita perlu waspada. Apakah kita masih memberi ruang bagi jiwa untuk bersujud, merenung, dan merasa kecil di hadapan Tuhan?
Tentu, ini bukan seruan untuk menolak kemajuan. Digitalisasi bukan musuh. Tapi ia bukan pula tujuan. Ia adalah alat yang sangat kuat, dan seperti semua alat, harus digunakan dengan arah dan kesadaran.
Itulah sebabnya, yang dibutuhkan dunia saat ini bukan hanya manusia yang cakap teknologi, tapi manusia yang tetap mampu memanusiakan manusia. Kita perlu generasi yang tidak hanya mahir coding, tetapi juga pandai memahami luka. Yang bisa memimpin startup, tapi juga bisa menatap mata orang tua dan menyimak ceritanya dengan penuh kasih.
Kampus, sekolah, komunitas, dan institusi publik harus menjadi ruang subur bagi tumbuhnya manusia-manusia yang seperti itu: manusia yang berpikir, merasa, dan bertindak bukan hanya demi efisiensi, tapi demi nilai.
*Menuju Harmoni Teknologi dan Kemanusiaan*
Di era di mana segalanya bisa diukur dengan angka, marilah kita jaga agar kita tidak kehilangan hal-hal yang tak bisa dihitung: kasih sayang, empati, doa, keheningan, dan makna.
Akhir dari digitalisasi mungkin tidak akan pernah datang. Tapi titik baliknya bisa terjadi kapan saja—saat manusia memutuskan untuk kembali menjadikan nilai dan kemanusiaan sebagai kompas utama.
Karena sejatinya, sejarah tidak hanya mencatat siapa yang paling cepat, paling canggih, atau paling viral. Tapi siapa yang tetap menjadi cahaya ketika dunia mulai kehilangan arah. (***)
*** Penulis Agus Sani, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.





