Wakaf Produktif, Praktik Zaman Nabi dan Sekarang
Oleh Arif Zunaidi, dosen UIN Syekh Wasil Kediri.
Bayangkan sebuah kota kecil bernama Madinah di abad ke-7. Udara kering gurun menusuk hidung. Setiap tetes air menjadi harta.
Di masa itu, bukan rumah megah atau perhiasan mahal yang jadi simbol kekayaan, melainkan sumur. Sumur berarti kehidupan. Sumur berarti peluang bertahan.
Di tengah ketegangan politik, migrasi kaum muhajirin dari Mekah, serta keterbatasan ekonomi masyarakat, muncul sebuah ide gila tapi sederhana, mewakafkan sumur.
Kisah paling terkenal datang dari Utsman bin Affan. Ia mendengar keluhan kaum muslimin yang kesulitan mendapatkan air karena sumur terbaik di Madinah, milik seorang Yahudi. Airnya dijual dengan harga selangit.
Utsman membeli sumur itu dengan hartanya sendiri. Lalu tidak disimpan untuk keluarga. Tidak disewakan untuk keuntungan pribadi. Melainkan diwakafkan untuk siapa pun yang haus. Gratis.
Air mengalir untuk semua orang, tanpa syarat agama, tanpa kupon antrean. Itulah salah satu catatan sejarah paling awal tentang wakaf produktif di masa Nabi Muhammad Saw.
Menariknya, kata produktif di sini bukan sekadar jargon modern. Wakaf di masa Nabi tidak berhenti pada tanah makam atau bangunan masjid yang kita lihat hari ini.
Wakaf zaman dulu adalah aset nyata yang menghasilkan manfaat berulang. Bisa diputar kembali untuk kesejahteraan umat.
Sumur, kebun kurma, lahan pertanian, semuanya dikelola. Bahkan Nabi Muhammad sendiri pernah mewakafkan tanah di Khaibar. Daerah subur yang penuh pohon kurma. Dengan syarat, hasil panennya digunakan untuk orang miskin, kerabat, atau pejuang yang berjuang di jalan Allah. Jadi bukan benda mati, melainkan mesin ekonomi sosial.
Jadi Hiasan
Paradoksnya? Hari ini, kata wakaf sering kita dengar di pengeras suara masjid sebagai ajakan untuk mewakafkan uang demi membangun kubah lebih tinggi atau pagar lebih mewah.
Padahal, di masa Nabi, wakaf justru dipikirkan sebagai cara menyelesaikan masalah hidup sehari-hari seperti haus, lapar, akses tanah, modal sosial untuk bertahan hidup. Dulu, wakaf untuk solusi. Sekarang kadang jadi hiasan nama.
Ada detail dramatis lain. Umar bin Khattab suatu hari mendapat sebidang tanah subur di Khaibar. Tanah itu sangat berharga. Umar datang kepada Nabi meminta saran.
Nabi menjawab dengan sederhana tapi dalam. ”Tahan pokoknya, dan sedekahkan hasilnya.” Kalimat ini kelak menjadi rumus utama konsep wakaf. Pokok aset tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan, tetapi manfaatnya bisa terus bergulir.
Dari tanah itu, panen kurma, hasil pertanian, bahkan keuntungan pengelolaan diberikan kepada fakir miskin, keluarga, budak yang ingin memerdekakan diri, atau musafir yang kehabisan bekal. Wakaf menjadi jaring pengaman sosial pertama dalam sejarah umat Islam.
Lihat paradoks lain, Umar, seorang pemimpin keras yang tegas di medan perang, bisa luluh hanya karena sepetak tanah.
Ia bisa saja menjadikannya investasi pribadi, tapi justru memilih melepaskannya demi manfaat orang lain. Inilah sisi manusiawi dari sejarah, kekuasaan, tanah, dan ego ditukar dengan abadi.
Sementara itu, di masyarakat Madinah, wakaf menjadi ruang damai di tengah konflik. Muhajirin datang dari Mekah dalam keadaan miskin, tanpa rumah, tanpa lahan. Kaum anshar menyambut, tetapi sumber daya terbatas.
Wakaf menjadi jembatan yang mengurangi rasa iri, kecemburuan sosial, bahkan potensi perpecahan.
Sebidang tanah wakaf bisa dipakai bersama. Sebuah sumur bisa menghapus pertengkaran soal harga air. Kebun kurma bisa membiayai kebutuhan komunitas.
Dari situ kita belajar, bahwa wakaf bukan hanya amal spiritual, tapi juga diplomasi sosial.
Wakaf Papan Nama
Kini, mari tarik kontrasnya lebih jauh. Di abad ke-21, kita punya gedung pencakar langit, bank syariah, dan sistem digital.
Kita bicara wakaf uang, wakaf saham, bahkan crowdfunding wakaf. Tapi berapa banyak yang benar-benar produktif. Sering kali, wakaf berhenti di prasasti peresmian. Nama donatur dipahat indah, tapi keberlanjutan manfaat tersendat.
Di masa Nabi, wakaf tanpa papan nama, tanpa logo lembaga, aset wakaf tetap hidup berabad-abad. Sumur Utsman masih mengalir hingga kini di Madinah. Bukti sejarah yang paradoksal, yang sederhana justru bertahan, yang modern kadang tercekat birokrasi.
Ada yang lebih ironis, dulu wakaf dipakai untuk membebaskan budak. Kini kita bahkan kesulitan memastikan wakaf dipakai untuk membebaskan orang dari jerat kemiskinan.
Dulu wakaf menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Sekarang sering jadi proyek seremonial. Ruh makna dan sejarah wakaf telah hilang dalam praktik sekarang.
Sejarah wakaf produktif di masa Nabi Muhammad bukan sekadar catatan amal, melainkan cermin tentang cara melihat kekayaan.
Bagi Nabi dan para sahabat, harta bukan untuk dikumpulkan, melainkan ditahan agar manfaatnya terus mengalir.
Bagi kita hari ini, barangkali tantangan terbesar adalah bagaimana mengembalikan wakaf ke fungsi awalnya, sebagai solusi nyata, bukan sekadar simbol.
Kisah Utsman dengan sumurnya, Umar dengan tanahnya, dan Nabi dengan lahan Khaibar-nya, mengajarkan bahwa wakaf adalah tentang keberanian menukar ego pribadi dengan kepentingan bersama.
Mungkin, inilah momen bagi kita untuk bertanya, kalau mereka bisa memulai dari sebuah sumur di padang pasir, apa alasan kita di era penuh teknologi ini tidak bisa menghidupkan wakaf lebih produktif daripada sekadar membangun pagar masjid yang megah.
Sejarah sudah menulis, paradoksnya sudah jelas. Sekarang tinggal keberanian kita. Mau menyalakan kembali warisan itu, atau hanya membiarkan ia menjadi kisah romantis di buku sejarah. (sumber tagar.co )