Volume Air, Volume Empati: Sebuah Catatan Kritis atas Banjir Medan 2025 dan Krisis Tata Ruang Urban
Oleh : M. Nazli Akbar
Sejak tanggal 26 November 2025, data resmi dari BNPB Kota Medan memperlihatkan gambaran kelam: setidaknya 7.402 rumah terendam air bah, dan pada puncak krisisnya lebih dari 85.000 jiwa mengungsi di 305 titik pengungsian. Tak kalah menyayat hati, kawasan Medan Utara kembali diterjang rob setinggi nyaris 2,5 meter, memperpanjang penderitaan warga yang berulang kali menjadi korban pasang laut.
Krisis ini, yang memaksa Kota Medan menetapkan status tanggap darurat hingga 11 Desember 2025, sejatinya merupakan putusan alam yang diperparah oleh luka lama tata ruang yang terabaikan. Curah hujan ekstrem lebih dari 300 mm sehari akibat Siklon Senyar telah memaksa sungai Deli meluap, meluluhlantakkan 7 kecamatan. Tetapi air itu hanyalah simbol fisik, nomenklatur kuantitatif dari sebuah kegagalan sistemik yang jauh lebih dalam.
Sebagai seorang kader Persatuan Kaum Muda Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, saya, M. Nazli Akbar, melihat kritis situasi ini sebagai cermin dari manajemen kebijakan publik yang lebih didominasi
reaktivitas daripada preventivitas. Pemerintah seolah hadir sebagai penonton pasif yang menjemput korban setelah air menenggelamkan rumah, bukan sebagai pelaku aktif yang berdiri di garis depan mencegah bencana yang bisa diprediksi.
Tanggap darurat menjadi obat pereda luka sesaat—sebuah balsem sementara yang menutupi ketiadaan mitigasi jangka panjang. Hal ini menegaskan bahwa pilar kebijakan sering kali dibangun di atas sandaran kalkulasi ekonomi jangka pendek, mengabaikan kebenaran ekologis yang seharusnya menjadi fondasi utama. Ketika masyarakat terus dijadikan kambing hitam atas disebutnya “kurang peduli”, sesungguhnya terjadi pengalihan tanggung jawab yang sistematis dari para pembuat kebijakan kepada rakyat yang terdampak.
Kritik ini bukan untuk melemahkan, melainkan meluruskan. Pembangunan kota bukan sekadar aksentuasi kemajuan fisik dan infrastruktur, tetapi haruslah terpatri pada tanggung jawab moral dan administratif untuk menempatkan keselamatan ekologi sebagai pondasi, bukan ornamen semu. Pelindung lingkungan bukan retorika kosong, melainkan janji aksi yang menuntut konsistensi dan integritas.
Saya merasakan jurang pemisah antara masa depan politis pembuat kebijakan dan realitas getir warga yang terseret banjir. Di ruang rapat dan lembar kebijakan, banjir hanya menjadi angka dan data statistik yang dingin. Namun di lapangan, ia adalah ketakutan yang menggelayuti jiwa, kerugian yang menyayat, dan kehilangan yang sukar terbayar. Momentum banjir ini harus dijadikan titik balik untuk mereformasi paradigma pembangunan.
Tidak hanya bergema dalam deru sirine evakuasi, tetapi berdentang dalam getar nurani ekologis yang selama ini tenggelam dalam euforia pembangunan. Tanpa transformasi kebijakan yang terarah dan berkelanjutan, banjir akan terus menjadi cermin kegagalan kita untuk belajar dari sejarah, pengingat pahit yang berulang ulang hadir tanpa perubahan. (***)

