Tradisi Meugang, Sambut Ramadhan di Aceh
Oleh: Silfia Meri Wulandari, S.K.M,. M.P.H
Kendati daging sapi bukanlah barang langka, namun bagi masyarakat Bumi Aceh Serambi Mekkah, makan daging adalah tradisi turun-temurun menjelang Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
Tradisi Meugang sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun yang lalu di Aceh. Meugang dimulai sejak masa Kerajaan Aceh. Kala itu (1607-1636 Masehi), Sultan Iskandar Muda memotong hewan berjumlah ratusan dan dagingnya dibagikan secara gratis kepada seluruh rakyatnya. Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur atas kemakmuran rakyatnya dan rasa terima kasih kepada rakyatnya. Kala itu kegiatan ini di atur dalam Beleid Kerajaan atau Qanun Meukta Alam Al-Asyi (Undang-undang Kesultanan Aceh).
Setelah Kerajaan Aceh ditaklukan oleh Belanda pada tahun 1873, kesultanan jadi kewalahan mengelola meugang sehingga tradisi ini tidak lagi dilaksanakan oleh raja. Namun, karena hal ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, maka Meugang tetap dilaksanakan hingga saat ini dalam kondisi apapun. Tradisi Meugang juga dimanfaatkan oleh pahlawan Aceh dalam bergerilya, yakni daging sapi dan kambing diawetkan untuk perbekalan.
Menikmati meugang hakikatnya adalah silaturahim bersama keluarga besar, kerabat dan yatim piatu. Meugang atau Makmeugang adalah kegiatan menyembelih kambing, sapi atau kerbau. Selain kambing dan sapi, masyarakat Aceh juga ada yang menyembelih ayam dan bebek. Tradisi meugang di desa biasanya berlangsung satu hari sebelum bulan Ramadhan atau hari raya, sedangkan di kota berlangsung dua hari sebelum Ramdhan atau hari raya. Biasanya masyarakat memasak daging di rumah, setelah itu membawanya ke mesjid untuk makan bersama tetangga dan warga yang lain yang sebelumnya melakukan kegiatan gotong-royong bersama-sama atau individu diseputaran rumah masing-masing.
Setiap perayaan Meugang, seluruh keluarga atau rumah tangga memasak daging dan disantap oleh seisi rumah. Daging ini diolah menjadi gulai, ada yang namanya Sie Reuboh, Gulai Merah, Kuah Beulangong, Gulai Putih, Kari Kambing, Ada rasa yang canggung jika keluarga tidak memasak daging pada hari Meugang. Apalagi itu bagi keluarga yang baru menikah, sangat tabu jika kerumah mertua tidak membawa daging 1kg atau 2kg. Sehingga anak-anak yang merantau jauh dari orang tua, tidak sedikit yang wo gampong (mudik) guna berkumpul menikmati hidangan meugang.
Karena Meugang memiliki nilai religius sebab dilakukan pada hari-hari suci umat Islam. Masyarakat Aceh percaya bahwa nafkah yang dicari selama 11 bulan wajib disyukuri dalam bentuk tradisi Meugang.
Dan Meugang ini terus berlangsung hingga saat ini dan diharapkan sangat dijaga kelestariannya karena termasuk warisan budaya & Istiadat. Sehingga pada hari Meugang, banyak bermunculan penjual daging mussiman di sepanjang jalan ibukota, dimana hal tersebut juga membantu perekonomian masyarakat sekitar. Walaupun harga daging melonjak pada moment Meugang ini namun permintaan terus meningkat. Dalam artian, tidak ada pengaruh dengan biaya yang tinggi demi menikmati moment kebersamaan bersama keluarga besar, masyarakat sekitar, dan saling memberi kepada yang sangat membutuhkan.
Jangan lewatkan jamuan dan kesempatan ini jika sedang berada di Aceh.
Penulis, Silfia Meri Wulandari, S.K.M,. M.P.H
Wakil Sekretaris Majelis Tabligh PW ‘Aisyiyah Aceh & Pelaksana pada Rumah Sakit Ibu dan Anak Aceh