Bandung, InfoMu.co – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Dadang Kahmad beberkan berbagai tantangan baru yang dihadapi Muhammadiyah pada abad ke-21.
Dadang membagi tantangan tersebut ke dalam dua klasifikasi, yaitu gangguan keberagamaan dan disrupsi sosiologis. Dia menekankan tantangan baru ini harus direspon oleh Muhammadiyah dengan ilmu pengetahuan.
Dari klasifikasi gangguan keberagamaan, tantangan tersebut adalah munculnya aliran baru tidak lagi urusan tahayul, bid’ah, dan khurafat (TBC). Tantangan itu seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, sampai relativisme.
Masuknya berbagai aliran baru ini disebabkan keterbukaan informasi yang kian mudah diakses, lebih-lebih oleh generasi muda muslim yang saat ini jumlah generasi muda di Indonesia mendominasi.
“Perubahan iklim ini sangat luar biasa, bumi ini sedang tidak baik-baik. Masalah iklim ini juga melahirkan panas yang sangat menyengat, dan diperkirakan akan terus menaik,” kata Dadang pada (4/7) dalam GSM ‘Aisyiyah Jawa Barat.
Pada Muktamar ke-48, Muhammadiyah telah memetakan tantangan-tantangan abad 21 ini ke dalam tiga segmentasi yaitu tantangan yang dihadapi oleh keumatan, kebangsaan, dan kamanusiaan universal.
Berbagai tantangan tersebut dihadapi oleh Muhammadiyah dengan turunan aksi nyata, seperti dengan memperbanyak amal kebajikan di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan seterusnya.
Ideologi dan Langkah Strategis Muhammadiyah
Selain itu menurut Dadang yang membuat Muhammadiyah mampu bertahan dari berbagai tantangan tersebut karena memiliki ideologi yang kokoh dibangun di atas tauhid berlandaskan Al Quran dan Sunnah.
Bangunan ideologi Muhammadiyah yang bersumber pada Al Qur’an dan Sunnah itu dikodifikasi dalam bentuk Muqaddimah Anggaran Dasar, Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM), Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), dan Risalah Islam Berkemajuan (RIB).
Di sisi lain Muhammadiyah juga memiliki langkah strategis yang didokumentasikan ke dalam Khittah Palembang (1959), Khittah Ponorogo (1969), Khittah Ujung Pandang (1971), Khittah Surabaya (1978), dan Khittah Denpasar (2002).
“Ideologi inilah yang melahirkan gerakan-gerakan, tentu Al Qur’an dan Sunnah yang paling tinggi. Ideologi ini melahirkan gerakan dakwah, amal usaha, dan lain sebagainya,” katanya.
Berbagai tantangan yang dihadapi itu diharapkan Muhammadiyah kian mendunia, melintas budaya, antisipatif dan adaptif terhadap perubahan, inovatif dalam tata kelola, serta responsif terhadap persoalan kontemporer. (muhammadiyah.or.id)