Yoqjakarta, InfoMu.co – Muhammadiyah terus mengembangkan pemikirannya dalam kajian Al-Qur’an melalui gagasan penyusunan tafsir At-Tanwir. Dalam Lensamu Podcast bersama Miftah Khilmi Hidayatulloh, anggota Divisi Kajian Al-Qur’an dan Hadis Muhammadiyah, pada Kamis (12/12), beberapa hal penting terkait tafsir ini terungkap.
Salah satunya adalah rencana penyusunan kitab tafsir 30 juz yang berorientasi pada pendekatan tematik dan tetap mengacu pada tradisi tafsir klasik. “Kalau Muhammadiyah punya niatan membikin kitab tafsir tahlili-cum-maudhui, maka tafsir-tafsir sebelumnya tetap menjadi referensi,” jelas tim editor Tafsir at-Tanwir ini.
Miftah menambahkan, pendekatan Muhammadiyah sangat inklusif, mengakomodasi berbagai pandangan dari tafsir klasik seperti Tafsir Al-Thabari dan Ibnu Katsir, hingga tafsir sederhana namun tetap padat dan mendalam seperti Tafsir Jalalain. “Saya pribadi sering menggunakan Aisaru At-Tafasir sebagai pelengkap, karena tafsir itu ditulis sebagai kritik terhadap Jalalain,” paparnya.
Dalam hal pendekatan, Miftah menyoroti keunggulan tafsir klasik sebagai rujukan namun tetap menekankan pentingnya relevansi Al-Qur’an di masa kini. “Tafsir modern bercorak ijtima’i atau sosial. Berbeda dengan tafsir klasik yang lebih berfokus pada corak linguistik, falsafi, atau ilmu kalam,” ungkapnya. Pendekatan ini, menurutnya, lahir sebagai respons terhadap tantangan zaman yang mengharuskan Al-Qur’an relevan dengan kehidupan kontemporer.
Miftah juga menjelaskan bahwa Tafsir at-Tanwir Muhammadiyah mengedepankan nilai-nilai yang membangun etos kehidupan. “Setiap tema dalam tafsir ini ditarik hikmah dan etosnya, baik itu etos ibadah, ekonomi, politik, maupun ilmu pengetahuan,” ujar Miftah. Pendekatan ini bertujuan agar tafsir tidak hanya menjadi teks interpretatif, tetapi juga memberikan kontribusi nyata dalam membangun kualitas umat.
Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa tafsir modern ini juga berakar pada tradisi tafsir tematik. “Rata-rata mufasir modern seperti Fazlur Rahman atau Amina Wadud menggunakan skema tematik, meski tidak menyelesaikan Al-Qur’an dari Al-Fatihah hingga An-Nas,” ungkapnya. Dalam konteks At-Tanwir, metode tahlili-cum-maudhui menjadi ciri khas yang memungkinkan kombinasi antara urutan mushafi dan tema-tema tertentu.
Gagasan ini juga tak lepas dari tantangan membumikan Al-Qur’an di tengah perkembangan zaman. “Qur’an itu tidak hanya untuk zaman Nabi dan sahabat, tetapi juga untuk kita. Maka tafsir harus membawa relevansi itu,” tegasnya. Ia mencontohkan bagaimana tafsir At-Tanwir menyoroti isu-isu sosial dan pengetahuan ilmiah yang dapat diolah menjadi etos yang bermanfaat.
Dalam kesimpulannya, Miftah menyebut bahwa tafsir ini menjadi upaya Muhammadiyah untuk menjawab tantangan peradaban modern, tanpa melupakan akar tradisi klasik. Dengan pendekatan inklusif dan bercorak sosial, Tafsir at-Tanwir diharapkan mampu menjadi rujukan yang relevan dan inspiratif bagi umat Islam. (muhammadiyah.or.id)