Sejak abad ke-18 banyak rakyat Indonesia yang saat itu masih dalam cengkraman penjajah kafir Belanda, pergi ke Tanah Suci Mekkah. Tidak hanya untuk beribadah haji, penduduk Indonesia pergi ke Mekkah dan Madinah untuk belajar dan menimba ilmu dari para ulama di sana.
Perjalanan ke Tanah Suci saat itu penuh perjuangan karena terbatasnya armada yang mengangkut dari Hindia Belanda ke Mekkah. Sehingga banyak pula umat Islam Indonesia saat itu memilih bermukim di Mekkah beberapa tahun sebelum kembali ke Tanah Air.
Satu suku yang cukup banyak mengirimkan masyarakatnya adalah orang Betawi. Karena itu, orang Betawi yang bermukim di Tanah Suci menggunakan Al Batawi sebagai nama keluarga alias identitas. Saat itu sudah menjadi kebiasaan para pemukim menjadikan nama kota asalnya sebagai nama keluarga.
Sebut saja Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawi dari Sumatra Barat, Syekh Nawawi al Bantani dari Banten. Sementara dari Betawi ada satu ulama di abad ke-19 atau sekitar tahun 1834 yang paling terkenal, Syekh Junaid Al Batawi. Ketiganya menjadi imam Masjidil Haram.
Syekh Junaid yang lahir di Pekojan, Jakarta Barat itu dikenal sebagai Syaikhul masyaikh para ulama mahzab Syafii. Selain menjadi imam, ia juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram.
Anak keturunan Syekh Junaid juga bukan sembarangan. Ia memiliki empat anak, dua putra dua putri. Kedua putra Syekh Junaid, As’ad dan Arsyad melanjutkan perjuangan ayahnya mengajar di Masjidil Haram setelah meninggal dunia di Mekkah pada 1840 dalam usia 100 tahun.
Sementara dua putrinya menikah dengan ulama. Putri pertamanya menikah dengan seorang ulama dari Mesir, Abdullah al Misri yang dimakamkan di Jati Petamburan, Jakarta Pusat. Sementara putri keduanya menikah dengan Imam Mujitaba atau Guru Mujitaba yang sempat menetap di Mekkah.
Dari pernikahan itu Guru Mujitaba mendapatkan seorang ulama besar dari Cipinang Muara, Guru Marzuki.
Guru Marzuki memiliki beberapa murid yang akhirnya menjadi ulama terkenal. Yang paling dikenal adalah KH Abdullah Syafi’ie yang mendirikan Pesantren Assyafiiyah dan KH Tohir Rohili yang mendirikan Pesantren Tohiriah di Bukitduri Tanjakan, Jakarta Timur.
Perjalanan hidup KH Sayfi’ie pada usia 17 tahun sudah memperoleh Soerat Pemberi Tahoean : Boleh mengajar di langgar partikulir. Pada usia remaja inilah, KH Abdullah Syafi’ie mulai berdakwah. “Dan dimulai dari kandang sapi,” kata Kiai Abdul Rasyid.
Ketika itu almarhum meminta izin kepada ayahnya, H Sjafi’ie bin Sairan untuk menggunakan kandang sapi sebagai kegiatan dakwah. “Sapi dijual, kandang dibersihkan, dilapisi bilik, lalu dipakai untuk madrasah”.
Tapi, begitu tawadhu-nya ulama Betawi ini. Biarpun namanya sudah tersohor, perguruan dan majelis taklimnya berkembang pesat, ia tidak menampakkan kesombongan sedikit pun. Selalu mau dekat dengan rakyat kecil.
“Saya ini kan cuma khadam (pelayan).” Itulah kalimat yang sering diucapkannya. Maksudnya, dia hanyalah pelayan untuk mengajak masyarakat mendekatkan diri kepada Allah. (rep)