Sikap Politik Muhammadiyah yang Ambivalensi
Oleh : Drs.H.Talkisman Tanjung
Jika berbicara tentang sikap politik Muhammadiyah dalam kancah politik praktis, maka keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 38 di Ujung Pandang tahun 1971 adalah rujukan utama. Didalam rumusan tersebut berbunyi bahwa “Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau organisasi apapun”. Artinya, Muhammadiyah punya jarak yang sama dengan partai-partai politik yang ada. Kemudian pada muktamar Muhammadiyah ke-40 tahun 1978 di Surabaya, Muhammadiyah memperkuat keputusan muktamar Ujung Pandang dengan melahirkan rumusan bahwa sikap Muhammadiyah dalam politik adalah tetap berpegang pada Khittah tahun 1971. Bunyi keputusan tersebut adalah : “Dalam bidang politik, Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya ; dengan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara operasional dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berpancasila dan UUD 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera , bahagia, material, dan spiritual yang diridhai Allah SWT.”.
Tahun 1978 ini kembali dipertegas lagi dalam keputusan Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar tahun 2002, dimana Muhammadiyah membagi dua strategi dan lapangan perjuangan untuk berperan dalam kehidupan bangsa dan Negara, yaitu : ” pertama, melalui jegiatan-kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh Partai-Partai politik. Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan dan pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung ( high politics) yang bersifat perjuangan moral(moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik ditingkat masyarakat dan negara. Dan sebagai puncaknya, Muhammadiyah melahirkan rumusan yang dijadikan sebagai pedoman praktis bagi Pimpinan dan Anggota Muhammadiyah dalam berpolitik praktis serta dalam menyalurkan aspirasi politik dan atau termasuk dalam kegiatan dukung mendukung terhadap calon-calon Pimpinan Negara (baik Legislatif maupun eksekutif) serta Pimpinan Daerah (Gubernur, Wali Kota/Bupati dan DPRD Provisi/Kabupaten). Pedoman praktis tersebut tertuang didalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM).
Dari beberapa periodesasi Pemerintahan berdasarkan hasil Pemilihan Umum sebagai ajang pesta demokrasi di Indonesia, nampaknya perjalanan Muhammadiyah masih tetap enjoy dan selamat menjalani perannya sebagai Organisasi Dakwah, yang dibidang politik mengamalkan High Politics . Namun seiring perubahan dan perkembangan yang signifikan dibidang politik kenegaraan di era Reformasi, dimana partai politik tumbuh bak jamur di musim hujan, bangsa Indonesia menunjukkan bahwa seolah-olah bangsa ini baru saja merdeka dari belenggu penjajahan, artinya bukan penjajahan kolonialisme, namun yang dimaksudkan adalah penjajahan hak asasi manusia terutama dibidang kebebasan berpendapat dan berkumpul.
Dan ditengah-tengah uforia kemerdekaan berkumpul dan berpendapat tersebut mulai dinikmati oleh anak bangsa ini, Muhammadiyah mendorong kader terbaiknya Prof. Dr. H.M.Amien Rais, MA untuk mendirikan Partai Politik baru, karena Muhammadiyah memandang bahwa keberadaan partai-partai politik diera orde baru tersebut tidak refresentatif dalam menampung dan sebagai tempat penyaluran aspirasi warga persyarikatan dan ummat Islam umumnya dibidang politik. Sehingga Muhammadiyah memandang perlu untuk memiliki partai sendiri, meskipun tidak mengatas namakan Muhammadiyah, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa Partai tersebut dibidani oleh Muhammadiyah. Maka semenjak itu sangat terasa bahwa Muhammadiyah secara real tidak lagi sepenuhnya berada pada jalur High politik. Dan itu terlihat nyata bahwa kader-kader Muhammadiyah di berbagai tingkatan beramai-ramai keluar dari kandangnya dan terjun kedunia politik praktis. Banyak yang berhasil duduk di kursi kekuasaan, baik Legislatif maupun eksekutif. Dan semenjak itu pula dimulailah babak baru kehidupan kebangsaan Muhammadiyah dengan pandangannya terhadap politik praktis, meskipun tidak merubah keputusan-keputusan strategis tersebut diatas yang telah menjadi Khittah Muhammadiyah selama ini. Kondisi tersebut membuat Muhammadiyah lebih meneguhkan sikapnya dalam bidang politik, sehingga pada tahun 2015 dalam Muktamar ke-47, Muhammadiyah melahirkan pandangan politiknya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu lahirnya rumusan risalah “Daarul ahdi wasy-syahadah”, bahwa Indonesia adalah negara kesepakatan atau merupakan hasil konsensus nasional dan sekaligus tempat pembuktian atau kesaksian.
Dari periode ke periode selama orde reformasi banyak kader-kader Muhammadiyah yang menggeluti politik praktis, bahkan ada yang mencoba untuk membawa nama Muhammadiyah, meskipun Pimpinan Pusat selalu menghimbau dan menegaskan agar tidak membawa-bawa simbol dan nama Muhammadiyah dalam arena perpolitikan. Seolah Muhammadiyah anti terhadap politik praktis, sementara disisi lain banyak kader-kader Muhammadiyah yang membutuhkan dukungan Muhammadiyah sekaligus butuh dukungan suara dari warga dan simpatisan Muhammadiyah. Dan yang tidak kalah pentingnya, ketika Pemerintahan baru sudah terbentuk, Muhammadiyah yang tidak masuk dalam kancah politik praktis berharap agar ada kader-kader Persyarikatan yang direkrut untuk ikut berada didalam pemerintahan, misalnya berharap untuk diangkat jadi Menteri Pendidikan, atau Mentri yang lain. Dan ketika kader persyarikatan direkrut, ini merupakan sebuah kebahagiaan bagi warga Persyarikatan. Namun apakah hal ini tidak masuk dalam arena politik praktis ? Berbeda halnya dizaman Orde Baru, memang Muhammadiyah tidak menyentuh ranah politik praktis seperti sekarang, tetapi murni rekrutmen kader persyarikatan tersebut karena Presiden memandang bahwa kader tersebut memang kayak untuk mengisi posisi yang diberikan.
Beda halnya dengan Kepemimpinan Muhammadiyah di era reformasi ini, dimana Pimpinan Persyarikatan sangat aktif melakukan trik-trik politik yang ujungnya bagaimana agar salah satu kader ada yang direkrut menjadi menteri. Misalnya, pada Pilpres yang terakhir, Pimpinan Pusat menggelar acara dialog dengan calon-calon Presiden)wakil Presiden, dengan alasan agar para calon bisa mengkomunikasikan program-programnya dengan program dan usulan Muhammadiyah. Dan dilakukan dengan seluruh calon secara terjadwal dalam waktu yang berbeda, dengan harapan, siapapun yang terpilih agar bisa merekrut kader Persyarikatan. Jadi program dialog tersebut tak obahnya sebagai umpan, dengan harapan umpan tersebut dapat dimakan dan ditangkap.
Nah, praktek permainan politik kekuasaan seperti ini, apakah tidak termasuk ke dalam kegiatan politik praktis ?.Demikian juga, ketika Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberikan rekomendasi kepada salah satu calon, danvternyata calon tersebut kalah dalam Pilpres, maka calon yang menang merasa tidak ada beban untuk tidak merekrut kader Persyarikatan, dan jika itu terjadi maka kekecewaan lah yang ada pada warga persyarikatan. Hal ini terjadi dizaman Bapak Soesilo Bambang Yudoyono menjadi presiden selama 2 periode, hampir tidak ada kader Muhammadiyah yang direkrut menjadi menteri.
Nah, inilah yang saya maksudkan dengan Sikap Politik Muhammadiyah Yang Ambivalensi. Disatu sisi Muhammadiyah ingin menegakkan idealismenya tidak terlibat di dalam kancah politik praktis, tetapi disisi yang lain ada praktek dukung mendukung, atau ada trik-trik tertentu untuk mendapatkan potongan-potongan kue kekuasaan agar diberikan kepada kader Persyarikatan. Ketika ada kekuatan politik praktis ingin menarik dan melibatkan Muhammadiyah dalam sosialisasi dan kampanye, Muhammadiyah tegas memberikan jawaban bahwa Muhammadiyah tidak ikut berpolitik praktis, namun ketika perhelatan Sudah usai, Muhammadiyah berharap bisa mendapatkan sepotong kue kekuasaan itu. Situasi seperti ini ketika dilihat pada tataran Kepemimpinan Muhammadiyah dilevel Wilayah dan Daerah, justru situasi dan kondisinya lebih parah. Ada Pimpinan yang secara terang-terangan memberi dukungan dan rekomendasi kepada calon dan partai tertentu, dengan harapan program Muhammadiyah di daerah bisa diakomodir oleh Pemerintah Daerah yang terpilih, minimal, bagaimana beberapa kader yang ASN bisa diberi amanah oleh Pemerintah Daerah untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu. Sampai kapan Khittah Muhammadiyah tentang Politik Praktis ini akan diimplementasikan secara ambivalen ? Wallahu a’lam.
*** Drs. Talkisman, Wakil Ketua PDM Mandailing Natal, tinggal di Batahan