Resensi Buku “Dakwah Politik Menuju Perubahan”
Judul buku: Dakwah Politik Menuju Perubahan
Pengarang: Ibrahim Gultom
Penerbit: UMSU Press
Tahun Terbit: 2024
Tebal halaman: 123 halaman (xii + 234 hlm); 15 x 23 cm
Adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa akhir-akhir ini potret kekinian kaum intelektual, terutama yang berada di perguruan tinggi, begitu sangat memprihatinkan. Kampus hari ini benar-benar menjadi sebuah potret bangunan menara gading yang sangat kokoh dan angkuh, eksklusif dan jauh dari realitas kehidupan masyarakat. Tradisi intelektualisme cuma berkutat pada rutinitas kesibukan di ruang-ruang kuliah dan laboratorium, yang akhirnya melahirkan intelektual penunggu “menara gading”.
Kaum intelektual yang ada di dalamnya pun cenderung tidak mencoba membebaskan diri dari menara gading itu, entah dikarenakan mereka telah sangat puas hanya cukup dengan melakukan riset, tanpa kemudian tahu apakah riset tersebut benar-benar dapat diterapkan di masyarakat. Jelasnya, kegiatan-kegiatan kaum intelektual di perguruan tinggi pun cenderung pada kegiatan prosedural-administratif belaka, bahkan tidak jarang menjadi golongan borjuis yang tidak memiliki kepekaan sosial terhadap sekitarnya.
Pada hal, pelbagai persoalan yang mendera bangsa akhir-akhir ini kiranya sangat membutuhkan sosok yang mampu memberikan sumbangsih pemikiran yang kritis dan solutif. Sosok pemikir itu tidak lain adalah mereka yang selama ini disebut-sebut sebagai komunitas terdidik, yakni kaum intelektual.
Berangkat dari hal itulah, pertama kali membaca buku ini, ada rasa haru yang membuncah dan menyumbul dalam benak peresensi, ternyata masih ada sosok-sosok intelektual -walaupun tidak banyak – yang istiqomah dengan moral intelektualitasnya dan masih punya nyali untuk menyuarakan pemikirannya. Salah satunya adalah Prof Ibrahim Gultom, penulis buku “Dakwah politik menuju Perubahan” ini.
Peresensi melihat, Prof Ibrahim Gultom adalah sosok akademisi yang masih komit menjalankan tanggungjawab moral kecendekiawanannya, seperti yang disinggung Noam Chomsky, dalam bukunya “The Responsibility of Intellectuals”, bahwa seorang intelektual dengan status istimewanya berkewajiban memajukan kebebasan, keadilan, kemanusiaan, dan perdamaian. Kaum intelektual tidak sekedar bertugas menyingkap kebohongan penguasa, tetapi juga menjelaskan sejauh apa kita terlibat dalam kejahatan itu dan bagaimana menghentikannya.
Idealnya, dunia kampus memang harus berani dan harus mampu membangun harga diri dan kepercayaan diri anak didiknya agar berani berbicara fakta dan kebenaran di hadapan kekuasaan, untuk berdiri tegak dengan harga dan kepercayaan diri di hadapan penguasa yang merusak kemanusiaan dengan kekuasaannya.
Meminjam istilah Paulo Freire, dunia pendidikan harus mampu “memanusiakan manusia,” bukan semata menjadikan manusia sebagai tenaga kerja. Dengan menjalankan tanggung jawab tersebut secara benar, maka para intelektual akan dengan sendirinya menyediakan konteks sejarah bagi perannya (to provide the historical contex), yakni dengan menginterpretasikan fakta-fakta ke dalam narasi kebenaran yang mudah dipahami publik, lalu mengungkap kebohongan demi kebohongan dari para penguasa untuk mengembalikan mereka ke jalur sejarah yang benar, mengabdi kepada kepentingan publik dan membela kepentingan pihak yang lemah (powerless).
Seperti yang diakui penulisnya, buku yang terdiri dari tujuh bab ini merupakan antitesis terhadap fenomena kemasyarakatan, agama, dan politik pada masa pemerintahan Jokowi lima tahun belakangan ini. Setiap kali isu bergulir ke permukaan pada saat itu pulalah masing-masing tulisan lahir sebagai counter terhadap isu tersebut. Tidak berlebihan jika isi buku ini sarat dengan kritik meski tetap menjaga etika dan kesantunan dalam pengutaraannya.
Keterusterangan penulis tentang isi bukunya yang sarat dengan kritik ini tentu layak untuk apresiasi. Sebab sekarang ini, ada fenomena yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang memandang sikap kritisme sebagai sesuatu yang tabu, terlebih jika kritisme itu di tujukan kepada rezim penguasa. Bahkan meskipun kritik itu dilontarkan oleh insan kampus, masih ada saja yang menilainya dengan sinis sebagai opini partisan. Harus diingat, bahwa intelektual tidak lahir dari ruang bebas. Novelis Inggris yang terkenal, George Orwell, malah mengaku bahwa titik awalnya ketika menulis selalu pada keberpihakan. Orwell sendiri dikenal sebagai novelis yang teguh menentang segala bentuk ketidakadilan dan otoritarianisme. Pramoedya Ananta Toer, juga pernah bilang, “semua yang terjadi di bawah kolong langit ini adalah urusan setiap orang yang berfikir.” Dengan demikian, adalah naif untuk memagari ilmu pengetahuan dari berbagai persoalan kehidupan. Indonesia, salah satu negeri di bawah kolong langit ini, punya begitu banyak persoalan yang melilit kehidupan rakyatnya.
Cendekiawan progregresif Uruguay, Eduardo Galeano juga mengatakan, tugas utama intelektual adalah ayudar a ver (membantu untuk melihat) realitas. Artinya, dengan keahlian dan pengetahuan yang dipunyainya, intelektual harus membantu rakyat untuk melihat dan memahami realitas; membongkar yang terselubung.
Sinopsis
Kendati buku ini cuma kumpulan atau kompilasi tulisan-tulisan ringan yang pernah diterbitkan di sejumlah media massa, namun terasa ada kekuatan dan ketajaman analisis yang khas dari penulis Ketika mengupas dengan lugas dan tuntas berbagai persoalan yang mendera bangsa ini, sehingga buku ini kemudian sungguh layak dan menggelitik untuk dibaca.
Pada Bab I Buku ini, dengan mengangkat sub judul “Meluruskan yang Salah Menuju Perubahan” penulis terlihat langsung “ngegas” dengan menyajikan tulisan-tulisan kritik terhadap pemerintah di mana penulis mengkritik langkah pemerintah yang menyebabkan keterpurukan bangsa dan rusaknya tatanan demokratis, politik, ekonomi, dan ideologi, pendidikan dan pertahanan keamanan salah satu faktornya disebabkan peran perangkat negara seperti legislatif, eksekutif, dan judikatif, yang bekerja tidak profesional. Kecadasan bab iini terlihat dari pemilihan judul“Kalian Memang Keterlaluan” yang disajikan dalam bentuk serialis, terdiri dari 3 bab. Kajian yang tak kalah menarik di bab ini tentang “Ketidakwarasan yang Sempurna” dan “Arogansi Kekuasaan”.
Bab II tentang Agama, Politik dan Masyarakat. Kajian membahas bagaimana sosok YW sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang menyebut “Musuh terbesar Pancasila adalah Agama”. Lontaran statemen dibahas mendalam pada tema “Agama sebagai Tertuduh”. Tak soal pernyataan YW, penulis dengan detail menguraikan sejumlah pendapat kontroversial antara agama dengan hal lain seperti “azan dan kidung” yang dilontarkan Sukmawati.
Bab III, Doa dan Nasihat Politik. Bab ini terdapat 4 tema, di antaranya Prahara Doa yang Tertukar, Nasihat Politik Sami’na Waatho’na, Pengantin Politik: Prabowo-Gibran dan Rocky Gerung; Sosok Socrates Indonesia. Keempat kajian itu sungguh menarik, penulis pada tema Pengantin Politik; Prabowo – Gibran dengan lugas menilai bahwa ada kekhawatiran terhadap pasangan ini dalam perjalanan politik menimbulkan pro dan kontra. Keberadaan Prabowo yang sudah uzur yang terpaut jauh dengan Gibran, malah akan menimbulkan arogan dan kesongonan, sehingga dikhawatirkan ada menimbulkan berbagai macam upaya untuk menggulingkan atasan. Intinya, ada sesuatu yang jahat dan sangat berbahaya yakni munculnya niat jahat yang fatal dan tak terduga sebelumnya.
Bab IV, Polri dan Revolusi Mental. Bab ini terdiri dari empat artikel. Revolusi mental ala Jokowi yang perlu didudukkan defenisinya, Polri dalam menangani berbagai hal, seperti peperangan polisi melawan Covid-19, Polri dengan Gafatar, dan perwujudan Polri dalam ketertiban lalu lintas bahwa tertibnya masyarakat dalam berlalu lintas akan menjadi bentuk perwakilan dari Indonesia yang disiplin. Para turis yang berwisata ke Indonesia pun akan merasa sungkan dengan ketertiban tersebut. Ada artikel tentang oknum Polri yang mencoret kewibawaan dan lainnya seperti di subjudul “Anakku, Brigadir Yosua” terdapat tuduhan pelecehan seksual terhadap PC yang
dituduhkan kepada Yosua. Semua tulisan tersebut berbicara di bab IV.
Menyusul di bab V tentang Kiprah Polri dalam Masyarakat, Reuni 212, Gafatar dalam Bidikan Polri, Polri dan Pencegahan Pandemi Covid-19, Truf Gembira Piala Kapoldasu, Selamat Datang Kapoldasu Baru. Artikel-artikel ini banyak memberikan apresiasi baik kepada polri karena dianggap berhasil menggandeng masyarakat di acara akbar reuni 212, mampu menyabarkan dan memberi contoh bagi khalayak bagaimana menghadapi pandemi yang membuat tersiksa karena harus belajar dan bekerja dari rumah, begitu keluar rumah karena hal yang sangat penting membawa pengaman di tangan, mulut, dan area tertentu di badan, serta ucapan selamat kepada kapoldasu yang baru yaitu Irjen Pol. Agung Imam Effendi menggantikan Irjen Pol. Panca Putra Simanjuntak. Penulis sangat terharu dengan adanya tawaran ide ideal kapoldasu yang mengedepankan dimensi peradaban, akidah, keimanan, dan kebangsaan dalam menata kehidupan masyarakat tak terkecuali dalam ketertiban
dan keamanan masyarakat.
Di bab VI beberapa artikel membahas tentang Pemuda Pancasila dan Muhammadiyah yang jika masyarakat membaca artikel ini mereka akan terbuka pandangannya bahwa dahulu Pemuda Pancasila adalah organisasi masyarakat yang menjadi salah satu “pahlawan” yang turut membantu penumpasan peristiwa Gerakan 30 September. Turut pula di bab ini berbicara tentang Muhammadiyah yang berhasil membentuk PCIM di 23 negara di dunia termasuk di Amerika Serikat.
Mendirikan dua kampus di Malaysia dan Autralia yaitu Universiti Muhammadiyah Malaysia (UMAM) dan Muhammadiyah Australia College (MAC). Bab VII sebagai bab penutup berbicara tentang orang-orang yang menginspirasi yang menjadi teladan bagi penulis, termasuk salah satunya adalah Haji Anif Sah yang kedermawanannya sangat luas. Penulis juga menaruh harapan besar pada Eramas, dan kemarahan yang tak terbendung kepada binatang yang diharamkan namun di sebagian masyarakat dipuja-puja.
Usai membaca buku ini, menurut peresensi salah satu kelebihan dari buku ini adalah dari trik pemilihan judulnya yakni “Dakwah Politik menuju Perubahan”. Dengan menggunakan diksi “perubahan”, mungkin bagi sebagian orang kesannya sedikit “nakal” dan “propokatif”. Dan tentunya hal itu sah-sah saja. Namun sesungguhnya, justru disinilah letak menariknya buku ini, jika sudah dibaca secara tuntas, insha Allah pembaca akan bisa menemukan benang merah dan pesan filosofis yang ingin disampaikan penulisnya. Selamat membaca. ( m.risfan sihaloho)