Beribadah Sambil Bekerja
Oleh : Safrin Octora
Nama buku : Haji Backpacker : Memoar Mahasiswa Kere Naik Haji
Pengarang : Aguk Irawan
Penerbit : Edelweiss, 2009
Berangkat haji sebagai suatu bentuk penyempurnaan rukun Islam, pasti cita-cita setiap muslim dimana saja. Tidak terkecuali dengan mahasiswa kita yang sedang menuntut ilmu di kawasan Timur Tengah. Namun untuk kebanyakan mahasiswa kita disana, berangkat haji memiliki dua tujuan yaitu untuk ibadah dan sekaligus untuk bekerja selama musim haji. Bukan apa-apa. Bekerja di musim haji memberikan peluang untuk menambah penghasilan yang besar. Apalagi kalau bekerja sebagai tenaga kerja yang dikontrak oleh pemerintah yang dikenal dengan istilah tenaga musim haji (temus). Penghasilan yang didapat sebagai temus bisa membayar uang kuliah selama setahun plus biaya hidup di Mesir dengan sedikit lapang, tanpa perlu meminta kiriman dari tanah air.
Menjadi temus. Itulah target dari penulis buku ini awalnya. Namun jumlah temus yang diterima tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa yang mendaftar, mengakibatkan Aguk Irawan – penulis buku ini – gagal terpilih. Meskipun demikian, semangat untuk berhaji sekaligus bekerja selama musim haji begitu menggelora. Dengan biaya sendiri jelas tidak mungkin. Kehidupannya sebagai mahasiswa yang pas-pasan di AlAzhar Kairo, tidak memungkinkan untuk pergi haji.
Namun ketika niat itu telah terpatri yang dibarengi dengan doa yang panjang, maka yang bisa mewujudkannya itu hanya Allah Swt. Itu yang terjadi pada Aguk. Tiba-tiba ada mahasiswi putri teman sama-sama kuliah di Mesir, memintanya menjadi muhrim-muhriman, agar bisa berangkat haji. Si mahasiswi berniat pergi haji sekaligus untuk bertemu dengan kedua orang tuanya yang berangkat dari Indonesia. Tetapi aturan waktu itu melarang seorang wanita berangkat haji bila tidak didampingi mahram. Mau tidak mau harus dicari seorang laki-laki yang mau menjadi muhrim jadi-jadian. Dan Aguk terpilih.
Dengan berbekal kartu keluarga si mahasiswi yang memasukkan Aguk sebagai kakak, proses keberangkatan haji berjalan dengan mudah. Keduanya berangkat dengan ratusan mahasiswa Indonesia yang tinggal di Mesir dengan naik kapal, melalui terusan Suez menuju Jeddah selama dua hari dua malam.
Berangkat haji dengan kapal laut melalui terusan Suez dan laut Merah, berjalan dengan lancar. Miqat dilakukan di tengah laut di kawasan yang sejajar dengan kota Al-Juhfah. Sehingga ketika kapal melego jangkar di Pelabuhan Jeddah, rombongan haji dari para mahasiswa yang tinggal di Mesir ini telah memakai ihram.
Perjalanan lalu di lanjutkan ke Makkah. Sesampai di Makkah penulis buku ini dengan muhrim jadi-jadiannya dan seorang kawan lain melanjutkan melaksanakan thawaf dan sai tanda telah melaksanakan umrah, seperti umumnya jamaah haji dari tanah air.
Selesai thawaf dan sai, Aguk menyerahkan si mahasiswi kepada kedua orang tua sesuai dengan perjanjian. Dari situlah petualangan Aguk sebagai haji backpacker dimulai.
Meski memiliki maktab yang khusus untuk kelompok mahasiswa dari luar negeri, namun penulis lebih banyak tinggal di luar maktab. Emperan hotel Hilton Makkah adalah tempat penulis dan mahasiswa Indonesia yang belum mendapat pekerjaan untuk berkumpul. Sering mereka diusir oleh satpam hotel tersebut. Namun balik lagi ketika si satpam telah pergi. Sesekali kalau makanan yang disediakan untuk jamaah haji plus dari Indonesia banyak tersisa, kawan mereka yang menjadi pekerja KBIH Plus mengundang masuk untuk makan. Itu artinya perbaikan gizipun dimulai. Tapi itu tidak berlangsung setiap hari.
Pekerjaan pertama yang di dapat oleh penulis buku ini adalah menjadi pendorong kereta jamaah yang biasa disebut dengan raja dorong (rado). Seorang jamaah negara kita yang berusia lanjut meminta bantuan Aguk untuk mendorong keretanya ketika thawaf di lantai atas Masjidil Haram. Thawaf di lintasan atas yang lumayan jauh itu dikerjakan Aguk dengan semangat, karena membayangkan sejumlah Riyal yang akan didapat. Ternyata bayangan tidak sesuai dengan kenyataan. Si nenek membayar dengan beberapa buah apel, bukan Riyal seperti yang diharapkan.
Selain bekerja menjadi “rado” (raja dorong), si penulis buku juga bekerja sebagai pemijat jamaah haji yang kecapean dengan upah beberapa riyal. Pekerjaan yang upahnya lumayan besar adalah membagi katering makanan untuk jamaah haji di salah satu maktab di Arafah. Upahnya 150 Riyal untuk sekali kerja. Cuma kerjanya hanya sekali dan sangat melelahkan karena harus mencari kemah jamaah haji tersebut di tengah padang Arafah yang panas dan gersang. Dampak lain ketika balik ke kemah, bis kelompok haji rombongan mahasiswa dari Mesir telah berangkar ke Mina. Selain itu upah yang harus diperoleh hari itu, urung didapat hari itu, dan dijanjikan akan dibayar di Makkah. Mau tidak mau si penulis harus berjalan kaki ke Muzdalifah, dengan rasa lapar yang mendera.
Sesampai di Muzdalifah penulis berjumpa dengan rombongan haji dari pesantren tempat dia belajar dulu. Dari senior yang menjadi pembimbing jamaah haji, didapat pekerjaan mengumpulkan batu untuk melontar jumrah di Mina keesokan hari. Upahnya beberapa riyal yang cukup untuk mengganjal rasa lapar yang telah dialami sejak dari Arafah.
Pekerjaan membagikan katering makanan berlanjut ketika berada di Madinah. Namun upahnya tidak sebesar di Arafah. Di Madinah upahnya 60 Riyal sekali antar untuk tiga kali kerja. Namun kelompok jamaah haji yang diantarkan makanan berada di lantai 8, yang tidak memiliki lift sama sekali. Mau tidak mau harus naik tangga berulang ke lantai 8 demi bisa mengumpulkan riyal, untuk penyambung hidup ketika kembali ke kampus Al Azhar di Mesir.
Sampai musim haji selesai dan harus kembali ke Mesir, penulis selain bisa menyelesaikan ibadah haji juga berhasil mengumpulkan 1000 Riyal. Jumlah yang lumayan besar untuk seorang mahasiswa yang bekerja serabutan sambil mengerjakan ibadah haji, meski tidak berarti apa-apa dengan kawan kawannya yang bekerja sebagai Temus ataupun pendamping jamaah haji plus.
Buku Haji Backpacker : Memoar Mahasiswa Kere Naik Haji ini enak dibaca dan perlu dibaca. Bahasanya mengalir lancar dan indah yang diselang-selingi dengan anekdot khas Jawa Timur, provinsi asal penulis.
Bagi mereka yang pernah menjalani ibadah haji, petualangan yang dialami oleh penulis ketika beribadah dapat merasakan petualangan itu. Kita diingatkan oleh penulis tentang kawasan kawasan di Makkah, Arafah-Mina, dan Madinah. Apa=apa yang dipaparkan penulis, seperti mengingatkan kita akan kota kota itu.
Untuk mereka yang belum pergi haji, buku ini juga enak dibaca. Namun jangan berharap buku ini bisa menjadi buku panduan untuk berhaji. Tidak sama sekali. Buku ini tidak bercerita tentang pelaksanaan ritual haji dengan aneka doa yang harus dilafazkan. Buku ini bercerita tentang petualangan seorang mahasiswa yang beribadah sambil bekerja. Jadi kita mendapatkan gambaran bagaimana cara mahasiswa kita yang kuliah di Timur Tengah mencari tambahan biaya hidup selama musim haji.
Dari sisi tahun terbit, buku ini sudah lama terbitnya, yaitu tahun 2009. Namun ini bukan buku lama. Karena dalam adagium pembaca buku, tidak ada buku lama kalau kita belum membacanya. Termasuk saya. Buku ini belum pernah saya baca sama sekali. Di dapatnya pun tanpa sengaja di bursa buku murah dengan harga cuma Rp.10.000,-.
Murah namun bermanfaat.