Refleksi berdirinya Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah sebuah Filosofi Penuh Makna
Oleh : Talkisman Tanjung
Hari dan Tanggal kelahiran merupakan momentum bersejarah yang sangat spesial bagi seseorang. Sehingga hampir setiap tahunnya pada tanggal yang sama hari kelahiran itu dirayakan, paling tidak dijadikan sebagai momentum untuk introspeksi dan evaluasi diri (muhasabah linafsih).
Demikian juga halnya dengan sebuah organisasi/persyarikatan, seringkali hari jadi atau hari berdirinya dijadikan sebagai momentum untuk mengevaluasi apa saja yang sudah dicapai dan seperti apa program yang akan digapai. Didalam Persyarikatan Muhammadiyah sering disebut dengan MILAD. Jika personil atau pribadi yang memperingati Hari Ulang Tahunnya masih diperdebatkan oleh kalangan fuqaha’, apakah boleh atau tidak menurut hukum Islam. Namun untuk organisasi, khususnya Muhammadiyah, acara memeriahkan Milad ini sudah menjadi tradisi dikalangan Pimpinan, mulai dari tingkat Pusat sampai ketingkat Ranting. Berbagai agenda digelar, mulai dari melaunching program unggulan dan spektakuler, melakukan bakti sosial, mengadakan berbagai lomba, dan seringkali dijadikan sebagai ajang untuk menyampaikan capaian program yang sudah diraih.
Untuk Persyarikatan Muhammadiyah momentum Milad ini menjadi acara favorit setiap level Pimpinan, dan biasanya selalu ditutup dengan acara Tabligh Akbar, yang penceramahnya seringkali didatangkan dari unsur Pimpinan yang diatasnya. Terlepas berbagai komentar dan tanggapan dari siapapun tentang acara Milad Muhammadiyah, yang jelas acara tersebut sering juga digunakan sebagai ajang silaturrahmi, dan sekaligus momen untuk mengumpulkan infaq yang akan diperuntukkan bagi penguatan dana Persyarikatan kedepannya. Dan yang sangat urgen adalah bagaimana para anggota dan simpatisan mengetahui dan memahami filosofi ditetapkannya tanggal untuk mendirikan Muhammadiyah tersebut.
Menurut guru saya Allahuyarham Bapak M.Djindar Tamimy (seorang Idiolog Muhammadiyah dan Wakil ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dizaman Allahuyarham Pak AR.Fakhruddin ), bahwa berdirinya Muhammadiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah itu bukanlah suatu kebetulan, tetapi melalui pertimbangan dan pemikiran yang mendalam. Ada apa dengan tanggal 8 Dzulhijjah tersebut ? Jika dilihat agenda besar ummat Islam, khususnya yang menunaikan ibadah haji, pada tanggal 8 Dzulhijjah itu adalah hari dimulainya prosesi ibadah haji, dimana seluruh jama’ah haji harus memasang niat dengan melafalkan kalimat لبيك اللهم حجا, seraya mengenakan pakaian Ihram (pakaian khusus untuk berhaji), dan tanpa pakaian ihram haji seseorang tidak syah. Hebatnya pakaian Ihram ini, membawa konsekwensi dengan larangan-larangan yang harus dita’ati, sebuah syari’ah yang luar biasa.
K.H.Ahmad Dahlan sengaja menetapkan tanggal 8 Dzulhijjah itu sebagai hari berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah. Dengan harapan seluruh warga yang bergabung di Persyarikatan Muhammadiyah memiliki spirit yang sama dengan jama’ah haji. Memakai pakaian Ihram dimaksudkan sebagai simbol bahwa siapapun orangnya, apapun pangkat dan jabatannya, dan status sosialnya, ketika berniat untuk bergabung dengan Muhammadiyah, maka semuanya punya kedudukan dan status yang sama. Didalam Muhammadiyah tidak ada lagi pejabat, rakyat biasa, orang kaya atau orang miskin dan sebagainya, semua didalam Muhammadiyah punya hak dan kewajiban yang sama sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah. Termasuk juga punya konsekwensi yang harus diterima oleh semua anggota, artinya ada larangan-larangan yang harus diperhatikan dan harus dijaga.
Ketika seseorang bergabung dengan Muhammadiyah, ia harus senantiasa meningkatkan kualitas beragamanya, karena prinsip bermuhammadiyah itu adalah beribadah dan bertaqarrub kepada Allah SWT, sama halnya dengan jama’ah haji ketika dia sudah berniat dan berpakaian ihram. Seluruh bentuk ego dan kebesarannya harus dilepas, semua fokus tertuju untuk taqarrub ila Allah. Dan semuanya sama dihadapan Allah SWT.
Kemudian besoknya tanggal 9 Dzulhijjah, para jama’ah haji akan fokus bermunajat di Padang ‘Arafah, untuk melaksanakan wuquf. Syari’ah menyebutkan bahwa Haji itu identik dengan ‘Arafah, siapa saja jama’ah hajinya harus dan wajib untuk menjalankan prosesi wuquf di ‘Arafah sesuai tuntunannya. Maka pelajaran yang diambil oleh K.H.Ahmad Dahlan adalah, ketika seseorang sudah bergabung dengan Persyarikatan Muhammadiyah, maka semua warga apapun bentuk aktivitas dan program yang dikerjakan, adalah fokus tertuju untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Dan sangat tidak sesuai dengan filosofi ini apabila ada anggota yang berambisi untuk memegang amanah di Persyarikatan, karena hal itu bukanlah spirit ibadah wuquf di ‘Arafah. Berdasarkan prinsip ini, maka Posisi Pimpinan atau apapun amanah yang diberikan Persyarikatan tidaklah untuk diperebutkan, apalagi akan membuat perpecahan, kubu-kubuan didalam Muhammadiyah, tetapi jabatan itu merupakan sebuah amanah. Oleh sebab itu prinsip yang harus dipegang oleh anggota atau warga Persyarikatan adalah, tidak akan mengejar-ngejar jabatan baik di unsur Pimpinan Persyarikatan atau di Pimpinan Amal Usaha, namun jika diberikan amanah tersebut tidak elok untuk ditolak, tetapi bekerjalah secara maksimal, sebab pertanggungjawabannya tidak hanya kepada Persyarikatan, lebih jauh pertanggungjawaban itu adalah kepada Allah SWT. Maka, semua warga yang sudah bergabung dalam Persyarikatan menjadi wajib untuk semakin dekat dengan Allah SWT.
Dan yang terakhir adalah tanggal 10 Dzulhijjah, para jama’ah haji melaksanakan prosesi melontar jumrah, kemudian berqurban. K. H. Ahmad Dahlan bermaksud agar warga yang telah bergabung di Persyarikatan hendaklah segera membuang kebiasaan dan karakter buruk yang masih melekat dalam pribadi masing-masing, terbebas dari pengaruh hawa nafsu dan bisikan syaitan, dan bergegaslah untuk mempersiapkan korban terbaiknya untuk persyarikatan. Artinya, seluruh warga yang telah berada dalam Persyarikatan Mugammadiyah harus punya karakter dan watak rela berkorban untuk Kemajuan Organisasi dan Agama Islam. Jika ada warga yang masih pelit dalam berinfaq, bershadaqah apalagi berzakat padahal dia sudah mampu, maka berarti masih perlu dipertanyakan nawaitunya untuk masuk Muhammadiyah ini. Muhammadiyah bukanlah tempat meniti karir keduniaan, dan apalagi dijadikan sebagai batu loncatan untuk mendapatkan sesuatu diluar Persyarikatan, na’uudzubillah.
Filosofi pemilihan dan penetapan tanggal berdirinya Muhammadiyah ini, menjadi sangat menarik untuk diungkapkan kembali disaat Muhammadiyah sudah berusia 116 tahun berdasarkan kalender Hijriyah (1330 H – 1446 H). _Wallahu a’lam._