Refleksi Akhir Tahun : Berpolitik yang Cerdas dan Beretika
Oleh : Drs.Talkisman Tanjung
Ketika kita memasuki tahun-tahun politik banyak prilaku para tokoh yang terkadang di luar dugaan dan perkiraan. Semula seseorang itu adalah orang yang terpandang, menjunjung tinggi moral, etika dan kesopanan, namun secara tiba-tiba bisa berubah menjadi orang yang tak mengindahkan etika, moral dan kesopanan. Keperibadiannya berubah menjadi orang yang tak bermartabat, tidak menjunjung tinggi kebenaran yang didasarkan kepada etik, rasio, dan ilmu pengetahuan, namun kebenaran yang dijunjung adalah kebenaran yang didasarkan kepada apologi terhadap kelompok atau golongan tertentu. Dan kebenaran yang diperjuangkan itu adalah kebenaran sendiri tanpa mempedulikan ukuran-ukuran yang dipakai secara umum.
Apakah praktek berpolitik yang seperti ini akan bisa menghasilkan sebuah kepemimpinan yang berkeadilan menuju kesejahteraan masyarakat secara umum ? Atau akan terbentuk sebuah kekuasaan yang dibangun berdasarkan kekeluargaan, pertemanan, dan atau oligarkhi ? Sebagai sebuah Negara yang mengaku demokrasi, ternyata sistem demokrasi yang dianut sangat berbeda dengan yang ada di Negara-Negara lain. Kalau di Negara lain ada dua kekuatan partai politik yang bertarung, yaitu partai pemerintah, dan yang lainnya adalah partai oposisi. Dan kedua posisi itu sama-sama terhormat dan bermartabat. Sedangkan di Indonesia partai oposisi tidak diakui sama sekali, dan oleh karenanya tidak ada satu partaipun yang bersedia dan mau disebut sebagai oposisi, hal itu disebabkan ada pandangan bahwa partai oposisi ini adalah partai pembangkang alias selalu bertentangan dengan pemerintah.
Akibat dari pandangan yang seperti itu menyebabkan terjadi dinamika yang tidak rasional dan logis dikalangan partai-partai politik yang berdasarkan hasil pemilu ternyata menjajadi partai yang kalah. Terjadilah lobi-lobi, yang sering diistilahkan sebagai komunikasi antar partai politik, yang bertujuan bagaimana agar partai-partai yang kalah ini bisa bergabung atau berkoalisi dengan partai pemenang yaitu partai pemerintah. Sehingga ditemukan sebuah kenyataan bahwa dulu bersaing, bahkan terkadang bersaing dengan tidak sehat, saling membuka kelemahan dan kekurangan partai pesaing, tetapi kini dengan tanpa merasa berdosa kepada publik malah bergandengan dengan partai pemenang. Inilah yang saya maksudkan potret partai politik zaman sekarang sangat berbeda dengan partai politik dimasa lalu.
Dampak yang lebih luas lagi dari praktek berpolitik seperti ini akan menimbulkan berpolitik yang culas, menghalalkan segala cara, jauh dari praktek politik yang beretika. Yang penting tujuan mendapatkan kekuasaan tercapai, dan resmi menjadi partai pemerintah. Demikian juga bagi yang kalah, kasak-kusuk melakukan pendekatan, lobi-lobi dan menjalin komunikasi secara intensif dengan partai politik, khususnya dengan partai politik pemenang, yang tujuannya bisa ikut menikmati kue kekuasaan di pemerintahan, meskipun hanya satu posisi atau satu irisan kecil saja dari kue tersebut, yang penting tidak menjadi partai pembangkang didalam pemerintahan.
Praktek black campain, membunuh karakter seseorang, apakah dengan fitnah, jebakan atau apa saja yang sangat tidak bermoral pun dilakukan. Termasuk praktek money politic yang tidak lagi rahasia tetapi sudah menjadi sesuatu yang lumrah bahkan wajib. Dan hasil dari praktek berpolitik yang haus kekuasaan dan tidak menjunjung etika ini dapat disaksikan, betapa banyak figur-figur publik apakah yang ada di legislatif, eksekutif atau yudikatif, yang menjadi sasaran empuk KPK, dan sebagian besar masuk kamar berjeruji yang tidak pernah menjadi impiannya. Apakah pantas oknum-oknum yang berpolitik dengan cara seperti ini disebut sebagai kader terbaik bangsa ini ? Lantas, apakah praktek berpolitik yang tidak beretika, dan tidak santun ini, menyuburkan praktek money politik, suap menyuap, sogok menyogok akan tetap berlangsung dan selalu terulang setiap kali Pemilu diadakan ?
Nah, dalam hal ini kita berharap banyak agar ada lembaga atau paling tidak sistem kaderisasi politisi sebelum benar-benar terjun kedunia politik praktis, tidak seperti yang ada sa’at ini, dimana kaderisasi sering hanya berproses secara alami tanpa kurikulum yang teruji dan terukur. Seorang politisi hari ini bisa saja menjadi kader partai tanpa memahami platform partainya, yang penting bermodal dan siap mencari dukungan dari masyarakat, sehingga hari ini kita saksikan bahwa masyarakat menjadi pendukung suatu partai adalah karena mendukung figur atau ketokohan seseorang, bukan karena tertarik pada platform, visi dan misi partainya.
Dan kenyataan yang lebih parah adalah politisi tersebut tidak sepenuhnya memahami platform, tujuan, visi dan misi partainya, bagi yang bersangkutan hal itu tidak penting sekali, sebab partai tidak lebih hanya sekedar perahu bagi seseorang untuk meraih kursi atau jabatan tertentu. Hal ini diperkuat adanya realitas politisi yang berbeda partai politiknya (perahunya) setiap kali ada Pemilu. Pertanyaannya, mengapa lembaga atau sistem kaderisasi itu penting ? Sebab dengan kaderisasi terukur dan terprogram akan melahirkan politisi-politisi yang handal, cerdas, santun, dan menjunjung etika, paham terhadap idiologi Negara termasuk nilai-nilai Agama, karena Indonesia adalah Negara yang religius, meskipun bukan negara Agama.
Prof. Haedar Nashir menegaskan bahwa Agama dan kebudayaan tidak boleh dilepaskan oleh para politisi dari partai manapun, karena Agama dan kebudayaan itu merupakan pondasi kita sebagai bangsa yang berperadaban serta menjunjung tinggi etika, nilai-nilai Agama dan budaya. Sehingga Agama tidak dijadikan barang mainan yang dengan mudahnya diolok-olok demi kepentingan sesaat. Memperjuangkan kepentingan dunia yang hina ini tidaklah sepantasnya dilakukan dengan memplesetkan ajaran-ajaran Agama, yang justru akan merugikan kita sendiri. Agama yang sakral tidak akan terkontaminasi dengan prilaku ummatnya yang suka mengolok-olok atau menjadikan Agama sebagai barang mainan.
Sebagai bagian integral dari bangsa ini, kita berharap akan muncul politisi-politisi yang cerdas, santun, menjunjung etika, agama dan kebudayaan serta bermartabat, dan jika itu sudah terwujud, tentu akan lahir juga pemimpin-pemimpin yang tangguh, cerdas, bermartabat dan akan selalu berjuang untuk kesejahteraan masyarakat serta menjadikan Indonesia sebuah Negara yang maju sebagaimana semboyan yang selalu diungkapkan, yaitu sebuah negara yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafuur. _Wallaahu a’lam_
Refleksi diakhir tahun 2023. (***)