Problematik Keabsahan Puasa Yang Melakukan Maksiat
Oleh: Khairi Azmi Nasution, Sekretaris Majelis Tarjih PWM Sumatera Utara
Jumhur ulama dari kalangan mazhab Hanafi, Maliki, Syafi`I dan Hambali berpendapat bahwa melakukan maksiat seperti menggunjing dan berdusta tidak membatalkan puasa, namun hanya mengurangi nilai pahala puasa . Dan Imam Nawawi dalam Majmu` Syarah Al Muhadzdzab mengatakan, “Apabila seseorang melakukan ghibah pada saat berpuasa, maka dia telah melakukan maksiat, dan puasanya tidak batal, demikian juga dengan Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan seluruh ulama lainnya, tetapi Imam Al-Uzai” berpendapat bahwa seseorang yang melakukan ghibah , termasuk Sebagian ulama Salaf berpendapat bahwa perbuatan maksiat seperti menggunjing dan berdusta dapat membatalkan puasa secara mutlak, dan ini juga pendapat Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha, hal ini juga dikatakan oleh al-Uzai’i, Ibrahim al-Nukha’i, dan para sahabat, serta didukung oleh Ibnu Hazm dalam kitab alMuhalla.
Kemudian Imam Ibnu Hazm berkata, " Puasa juga bisa batal karena melakukan maksiat dengan sengaja, apa pun maksiatnya, jika dilakukan dengan sengaja dan dia sadar bahwa dirinya puasa, seperti bersetubuh dengan wanita atau pria yang bukan muhrim, atau mencium istri atau ibu yang bukan muhrim, atau yang lainnya, atau berdusta, menggunjing, mengadu domba, meninggalkan shalat, berbuat zalim, dan hal-hal lain yang dilarang untuk dilakukan’).
Pendapat mereka bahwa puasa itu batal karena melakukan maksiat berdasarkan beberapa dalil, yang pertama hadits dari abu Hurairah :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 🙂 مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ
وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ (1) رواه البخاري (1 ).
Dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-bersabda, ” Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan keji, maka Allah tidak mewajibkannya meninggalkan makan dan minum." (HR. Al-Bukhari).
Kemudian dari Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
وعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ
صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ ) رواه أحمد (8693).
Dari Abu Hurairah Raḍiyallāhu 'Anhu-, ia berkata, Rasulullah Sallallāhu ‘Alaihi WaSallam- bersabda, ” Betapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa lapar dan dahaga saja. Betapa banyak pula yang melakukan shalat malam, hanya begadang di malam hari “ (HR. Ahmad ).
Kemudian Jabir bin Abdullah al-Anshari juga menguatkan pendapat ini , " Jika kalian berpuasa, hendaklah kalian mejaga pendengaran, penglihatan, dan lisan dari dusta dan perbuatan dosa, dan janganlah menyakiti saudaramu, dan hendaklah kalian menjadi orang terhormat dan tenang pada hari puasamu, dan janganlah kalian menyamakan antara hari berbuka dan hari puasa”
Kemudian Hafshah Binti Sirin Seorang ulama dari kalangan Tabii`n berkata, ” Puasa adalah surga, kecuali jika pemiliknya membatalkannya, dan yang membatalkannya adalah menggibah. “Dan Maimun bin Mughirah menjelaskan “ "Jika Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wasallam- menyatakan bahwa Allah tidak membutuhkan puasa orang yang durhaka, maka puasanya tidak diterima.” Ini dikarenakan hikmah disyariatkannya puasa bukanlah untuk membuat orang kelaparan dan haus , tetapi hikmahnya dalah untuk mendisiplinkan jiwa agar seorang hamba mencapai derajat orang-orang yang bertakwa, sebagaimana Allah berfirman,
كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون
“ Disyariatkan bagi kalian berpuasa sebagaimana telah disyariatkan bagi orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa”
Maka bagi siapa yang tidak meninggalkan ghibah (menggunjing), dusta, mengadu domba, dan perbuatan maksiat lainnya, maka dia belum termasuk orang yang bertakwa. Adapun mayoritas ulama memahami dalil dalil yang digunakan sebagai dasar berpendapat bahwa batalnya puasa karena malakukan maksiat adalah bahwa maknanya hanya sebagai berkurangnya pahala orang yang berpuasa, sebagaimana yang disebutkan dalam
penjelasan hadits :
من لم يدع قول الزور و شهادة الزور فليس لله حاجة في أن يترك أكله و شرابه
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan yang tidak benar dan kesaksian yang tidak benar, maka Allah tidak butuh kepadanya dari makan dan minumnya”. Akan tetapi, makna ini adalah kiasan bahwa allah tidak menerima atau menolak puasa yang tercemar oleh kebatilan dan menerima puasa yang bersih dari dari segala perbuatan maksiat, seperti yang dikatakan oleh kata Ibnul Arabi “ Implikasi dari hadis ini adalah bahwa
orang yang melakukan hal-hal tersebut tidak akan mendapatkan pahala puasa”, bahwa tujuan puasa bukanlah menahan lapar dan dahaga, akan tetapi apa yang mengikutinya, seperti menahan syahwat , menahan hawa nafsu dan mengubah diri menjadi lebih baik , Jika hal ini tidak terjadi, maka Allah tidak akan menerimanya sebagai bentuk bentuk amal kebaikan, maksudnya adalah batalnya pahala puasanya, menjadi sia sia bukan puasa itu sendiri yang batal, ini yang dimaksud dari hadis nabi “Berapa banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apapun dari puasa kecuali hanya lapar dan dahaga”. (***)