Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, MA
Dosen FAI UMSU dan Kepala Observatorium Ilmu Falak Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Perpustakaan adalah sebentuk bangunan sebagai tempat dimana tertera dan tertata di dalamnya banyak buku. Di peradaban Islam, perpustakaan merupakan sarana keberlanjutan sebuah peradaban.
Pada perkembangan awal, tradisi pengumpulan dan kepustakaan berawal dari orang perorang, dan berikutnya beralih ke lembaga-lembaga tertentu seperti madrasah dan masjid.
Khalid bin Yazid (salah satu raja era Umawiyah) dikenal sebagai salah satu khalifah yang gemar mengoleksi buku. Menurut J. Pederson, motivasi sang Khalifah menekuni hobi ini pada awalnya adalah dalam rangka menghibur diri karena tidak memeroleh kekuasaan.
Penguasa Muslim lainnya yang memiliki kontribusi di bidang perpustakaan adalah Khalifah al-Manshur yang disebut sebagai pencetus perpustakaan di dunia Islam. Jasa al-Manshur dalam bidang ini adalah ia tercatat pernah mendirikan sebuah institusi terjemah di kota Bagdad. Seperti diketahui, tradisi terjemah di peradaban Islam benar-benar memainkan peranan penting dan memiliki pengaruh signifikan dalam pengembangan keilmuan.
Sedangkan puncak literasi dalam Islam terjadi pada era al-Ma’mun yaitu pada saat pendirian Bait al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan). Kala itu Bait al-Hikmah ibarat sebuah lembaga riset yang menampung dan menaungi berbagai disiplin ilmu. Salah satu aktifitas lembaga ini adalah terjemah. Dengan terjemah akhirnya melahirkan karya-karya orisinal. Dan kala itu, Bait al-Hikmah dianggap sebagai poros pengetahuan dunia.
Atas capaian Bait al-Hikmah akhirnya kepeloporan di bidang perpustakaan menjalar ke sejumlah wilayah kekuasaan Islam khususnya Mesir dan Spanyol. Di Cairo, Dinasti Fatimiyah yang dipimpin al-Hakim bi Amrillah membangun sebuah perpustakaan yang dikenal dengan Dar al-‘Ilm (Rumah Ilmu). Sedangkan di Cordova, ada perpustakaan dengan koleksi buku ratusan ribu jilid.
Perkembangan perpustakaan terus meningkat seiring dengan geliat penulisan buku di kalangan ulama. Hal ini didukung lagi dengan lahirnya teknologi kertas pada abad ke-8 M (abad 2 H). Penggunaan kertas kian populer dan memunculkan ragam profesi bukan hanya menulis (penulis), namun juga ada aktifitas penjilidan dan pendekorasian. Bahkan, kala itu muncul satu profesi baru yang dikenal dengan warraq ata warraqun yaitu penyalin, penulis, dan pembuat kertas. An-Nadim, penulis “al-Fihrist” (Katalog), adalah tokoh yang dikenal dan digelari dengan warraq.
Secara sosio-historis, berdirinya perpustakaan merupakan cermin dan reaktualisasi kepedulian para ulama dan ilmuwan Muslim dalam meningkatkan potensi intelektual. Perpustakaan dengan koleksi buku yang melimpah memainkan peranan penting dalam membangun peradaban. Selain itu, perpustakaan merupakan mesin penggerak nalar untuk menghasilkan karya tulis.
Jika ditelaah, faktor utama yang melatari lahirnya perpustakaan dalam Islam adalah ajaran agama Islam itu sendiri. Perintah al-Qur’an untuk membaca mendorong umat Islam untuk memeroleh ilmu. Para ilmuwan Muslim berupaya melakukan berbagai kegiatan seperti menerjemah, diskusi, serta berguru kepada para ulama. Dengan kultur ini maka berkembanglah kehidupan intelektual, dan hal ini pada akhirnya menjadi dasar lahirnya literatur dan koleksi buku.
Dalam sejarah Islam, tercatat ada banyak tokoh yang memiliki kontribusi di bidang karya tulis dan perpustakaan. Khalifah Harun al-Rasyid pernah membangun Khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan) yang bermetamorfosa menadi Bait al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan). Selanjutnya tahun 815 M al-Ma’mun mengembangkan dan merubah Khizanah al-Hikmah ini menjadi Bait al-Hikmah. Pada zaman itu, Perpustakaan Bait al-Hikmah menyerupai universitas yang bertujuan membantu para pelajar dan mahasiswa serta mendorong geliat penelitian.
Dalam perkembangannya lagi, perpustakaan didukung oleh raja atau khalifah, juga oleh raja-raja kecil. Para penguasa ini ikut memberikan sumbangan untuk berdirinya perpustakaan sehingga menjadikan perpustakaan sangat maju. Selain itu, dengan kultur ini melahirkan perpustakaan-perpustakaan pribadi yang juga memainkan peranan penting. Salah satu perpustakaan pribadi yang dapat disebutkan adalah milik Mahmud ad-Daulah bin Fatik. Ia seorang yang ahli dalam menulis dan kolektor besar, ia menghabiskan semua waktunya di perpustakaan untuk membaca dan menulis.
Dalam perkembanganya, ada banyak jenis dan klasifikasi perpustakaan, antara lain:
(1) Perpustakaan Umum, yaitu perpustakaan yang dibangun dan didanai oleh Negara (raja) dengan koleksi buku sangat banyak. Adapun yang termasuk kategori perpustakaan ini antara lain Bait al-hikmah di Bagdad dan di Cairo.
(2) Perpustakaan Semi umum (semi publik), perpustakaan ini merupakan perpustakaan milik khalifah atau raja-raja yang juga menyediakan berbagai macam buku dalam berbagai disiplin ilmu. Dana perpustakaan ini secara mandiri lokasinya di istana atau di rumah raja.
(3) Perpustakaan Khusus, yaitu perpustakaan yang dibangun oleh ulama, sarjana dan sastrawan secara pribadi untuk menjadi referensi keilmuan. Diantara perpustakaan ini adalah perpustakaan Jamaluddin al-Qifthi dan perpustakaan Imaduddin Asfahani bin al-Amid. Pendanaan perpustakaan ini bersifat mandiri, koleksi bukunya juga cukup banyak tapi lebih spesifik dan tidak dibuka untuk umum.
Di era modern, perpustakaan telah berkembang pesat dimana di dalamnya telah ada digitalisasi dan teknik multimedia nan canggih. Namun perpustakaan modern juga dihadapkan pada kematangan fungsi dan opersionalisasinya. Sebuah perpustakaan penting direncanakan denga matang, kemudian bagaimana mengoperasikan dan mempertahankannya. Hal paling penting adalah upaya memberdayakan dan memfungsikannya agar berguna bagi masyarakat. Satu hal yang juga teramat penting adalah menjaga kelangsungan perpustakaan itu sendiri.[]