Oportunisme Dalam Menggerakkan Muhammadiyah.
Oleh: Drs.H.Talkisman Tanjung
Semakin bertambah usia, tentu akan semakin dewasa dan matang dalam pemikiran dan sikap, khususnya dalam menjalani dan melalui gelombang kehidupan ini. Demikian juga halnya dengan Persyarikatan Muhammadiyah yang saat ini menurut hitungan kalender Hijriyah sudah berusia 115 tahun dan 112 thn berdasarkan kalender masehi.
Yang jelas dari pelaksanaan kongres atau muktamarnya saja, muhammadiyah sudah akan melaksanakan muktamar ke-49, yang insya Allah pada tahun 2027 di Medan Sumatera Utara. Artinya sudah terjadi pergantian Pimpinan sebanyak 48 kali dan insya Allah ditahun 2027 menjadi 49 kali. Sebuah capaian dan prestasi yang membanggakan semua kalangan diseluruh elemen anak bangsa ini, karena muhammadiyah adalah salah satu asset bangsa yang sangat penting, apalagi bagi warga Persyarikatan.
Dan jika dilakukan napak tilas perjalanan panjang Muhammadiyah, terdapat banyak sekali hambatan, tantangan dan permasalahan yang dihadapi disetiap periodesasi kepemimpinan. Dan itu merupakan dinamika yang ada dalam Persyarikatan, tentu ada yang positif, dan tidak menutup kemungkinan juga membawa dampak negatif. Namun semua bentuk dinamika tersebut secara riil telah membuat Muhammadiyah semakin teguh dan besar.
Diawal pergerakan, Muhammadiyah dihadapkan pada persoalan pemikiran ummat yang jumud, taklid dan sinkritisme, termasuk halangan dan hambatan dari kaum penjajah, sehingga Muhammadiyah menampilkan dirinya sebagai gerakan tajdid, purifikasi dan modernisme. Kondisi semacam itu berlangsung cukup lama, sampai akhirnya Muhammadiyah setahap demi setahap mampu menggiring ummat ini untuk menjadikan Islam sebagai Agama yang mencerahkan, Rahmatan lil ‘alamin. Dan Muhammadiyah dengan kekuatan bangsa yang lain mampu membangkitkan kesadaran ummat untuk bisa hidup bersatu dan merdeka, terbebas dari belenggu penjajahan. Dalam perkembangan berikutnya ditemukan banyak persoalan interen yang dihadapi, yang akhirnya Muhammadiyah melalui sikap dan kearifannya melahirkan rumusan yang luar biasa yaitu : ” Langkah Dua Belas”. Rumusan ini merupakan langkah konsolidasi gerakan dan pemahaman keagamaan, baik bagi Pimpinan maupun warga persyarikatan. Muhammadiyah menginginkan agar Pimpinan dan Warga tidak ditenggelamkan oleh gelombang kehidupan yang semakin sulit dan berat. Tuntutan persatuan bangsa untuk bisa melepaskan diri dari belenggu penjajahan, tidak serta merta harus mengikis pemahaman ummat terhadap Islam. Islam sebagai Agama yang mencerahkan dan menggerakkan harus dipertahankan, sebab jika gerakan itu tidak didasari oleh dinul Islam (yang saat ini disebut dinul hadharah),maka akan hampa dan tak berjiwa.
Kemudian, diawal kemerdekaan, Muhammadiyah dihadapkan pada uforia kemerdekaan, terjadi berbagi kue kekuasaan. Banyak tokoh dan pimpinan muhammadiyah yang ikut terlibat dan mengambil bagian dalam uforia ini, tentu akan mempengaruhi pada keteguhan dalam bermuhammadiyah. Konsistensi dan keistiqamahan para pimpinan diuji oleh situasi dan keadaan yang serba tidak menentu, termasuk persoalan yang dihadapi Pimpinan Nasional untuk menetapkan Dasar Negara, dimana terjadi tarik menarik kepentingan diantara anak bangsa, mulai dari persoalan keyakinan dan agama yang secara ril ada mayoritas dan minoritas, kemudian juga ada kesenjangan sosial kemasyarakatan antara Indonesia bagian Barat, dengan Indonesia bagian Timur dan berbagai persoalan lainnya. Bahkan jika tidak disikapi secara ‘arif, berkemungkinan akan terjadi disintegrasi bangsa. Dan sejarah mencatat bahwa peran penting Ki Bagus Hadikusumo sebagai Pimpinan Muhammadiyah saat itu menjadi penentu terbentuknya babak baru bagi persatuan dan kesatuan bangsa demi keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia. Kemudian puncak dari kesepakatan tokoh-tokoh bangsa tersebut dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Seiring dengan situasi pelik dan sulit itu Muhammadiyah sebagai bagian dari elemen bangsa yang terlibat aktif meletakkan dasar Negara Indonesia, melahirkan rumusan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM), sejalan dengan dirumuskannya Preambul atau Pembukaan UUD 1945 yang akan dijadikan acuan dan dasar bagi Negara Indonesia yang baru saja dimerdekakan. Demikian juga dengan Rumusan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM) disusun juga akan dijadikan sebagai pedoman Pimpinan dan warga dalam bermuhammadiyah.
Dalam perjalanan berikutnya, Muhammadiyah melahirkan rumusan berupa khiththah (garis perjuangan), mulai dari khiththah Palembang, khiththah Ponorogo, Khiththah Makasar, khiththah Denpasar, kemudian pernyataan Muhammadiyah 1 abad memasuki abad ke-2, sampai lahirnya rumusan “Darul ahdi wasy-syahadah”. Semua rumusan-rumusan tersebut merupakan langkah yang diambil oleh Muhammadiyah ketika sikap oportunisme mulai muncul disebahagian pimpinan dan warga persyarikatan. Barangkali istilah Oportunisme ini terlalu keras dan tidak semuanya sesuai. Tetapi itulah kenyataannya, dimana sikap oportunisme ini melahirkan ambivalensi dikalangan pimpinan dan warga. Disatu sisi masih tetap menjadi personil aktif dijajaran pimpinan, disisi yang lain yang bersangkutan justru memanfaatkan situasi yang ada untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Bahkan tidak jarang persyarikatan dijadikan sebagai batu loncatan untuk meraih dan mendapatkan kepentingan pribadinya. Meskipun kita masih memiliki kader-kader militan yang tdk oportunis.
Disamping itu rumusan-rumusan strategis tersebut juga merupakan pernyataan tegas Muhammadiyah tentang berkehidupan kebangsaan menurut pandangan Muhammadiyah, yang sejak awal berdirinya bangsa ini muhammadiyah telah ikut aktif mengawal dan termasuk membidani lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia . Dan adalah sesuatu yang wajar jika disetiap saat muhammadiyah mengeluarkan sikap-sikap kritisnya terhadap pemerintah, apabila menurut penilaian dan evaluasi muhammadiyah perjalanan bangsa ini ada yang tidak sesuai konstitusi atau yang tidak berpihak kepada rakyat, dan seterusnya.
Selain rumusan-rumusan berupa khiththah perjuangan, muhammadiyah juga memiliki Keperibadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah serta Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM). Semua itu adalah pokok-pokok pikiran yang membuat warga serta Pimpinan tidak akan pernah kehilangan arah atau kompas didalam mengemban amanah persyarikatan ini. Oknom-oknum pimpinan dan mungkin juga oknum-oknum warga muhammadiyah yang oportunis tidak akan pernah bertahan lama di Persyarikatan ketika keuntungan pribadinya itu tidak didapatkan.
Perbedaan pendapat dan pemikiran dikalangan pimpinan atau warga adalah sebuah kekayaan intelektual yang dimiliki muhammadiyah. Dan tidak akan ada yang membantah atau menjadi oposan ketika sebuah keputusan sudah diputuskan, semua pasti menyatakan sami’na wa atha’na.
Demikian halnya persoalan “Tambang”, yang saat ini menghiasi laman-laman media sosial, baik yang pro atau yang kontra, seolah muhammadiyah akan terbelah atau yang lebih ekstrimnya diobok-obok oleh rezim. Semuanya dipastikan akan sami’na wa atha’na, sekalipun bertentangan dengan pendapat pribadinya, dan kekecewaan itu hanya akan ada pada oknum-oknum yang oportunis itu. Sebab, amar putusan itu jelas bahwa muhammadiyah menerima tawaran untuk mengelola Tambang, tetapi tegas, sebagai pengelola tidak mungkin muhammadiyah langsung sebagai pemegang IUP tersebut, namun harus dibentuk sebuah lembaga independen yang khusus menangani masalah tambang secara profesional dilapangan, seperti CV atau PT dan sebagainya.
Sama halnya dengan status BPRS dibeberapa Daerah saat ini. Secara hakiki yang mendirikan adalah Muhammadiyah baik secara kelembagaan maupun warga dan simpatisan sebagai pemegang saham, namun untuk pengelola diserahkan kepada lembaga independen dan ptofesional yang tidak terikat secara struktural dengan muhammadiyah. Tentu pengelolaan Tambang ini nanti, kurang lebih sama dengan pengelolaan BPRS yang bertebaran diberbagai Daerah. Independen, dan menjunjung profesionalitas. Dan yang lebih penting adalah tersebut didalam poin konsolidasi Pimpinan Pusat beberapa waktu yang lalu ditegaskan bahwa apabila dikemudian hari muhammadiyah tidak mampu mengelola Tambang ini sesuai konsep yang akan dilaksanakan, yaitu memperhatikan aspek kerusakan lingkungan hidup, aspek keterlibatan dan keuntungan yang diperoleh masyarakat sekitar lokasi Tambang dan seterusnya, maka Muhammadiyah dengan sikap rendah hati akan mengembalikan izin tersebut kepada pemerintah. Bahkan diawal-awal gerakan reformasi muncul, dan pak Amien didorong oleh Muhammadiyah sebagai lokomotif gerakan tersebut, Pimpinan Muhammadiyah punya komitmen yang tegas, bahwa seandainya Negara ini bubar, maka Muhammadiyah siap untuk mengelola Negara ini. Nah, apalagi hanya sekedar mengelola sebuah Tambang.
Memang persoalannya adalah tantangan di pertambangan ini lebih berat, akibat selama ini persoalan tambang ini identik dengan premanisme, dan juga berbagai bentuk kezholiman. Apalagi lokasi tambang yang diberi izin adalah lokasi bekas perusahaan yang selalu bermasalah baik terhadap lingkungan dan kelestarian alamnya, maupun dengan masyarakat sekitar pertambangan. Tentu muhammadiyah akan menghadapi persoalan yang sangat sulit. Oleh karenanya, muhammadiyah harus mengkaji secara mendalam, profesional dengan berbagai pendekatan dan dilakukan secara holistik sebelum mengajukan izin pengelolaan tambang tersebut. Dan masalah ini merupakan ujian berat bagi muhammadiyah, disebabkan ini pertama kalinya muhammadiyah akan bergerak dibidang pengelolaan pertambangan, yang selama lebih 1 abad belum pernah terjamah oleh gerakan dakwah yang digaungkan oleh muhammadiyah.
Wallahu a’lam. (Padang Sidimpuan, 31 Juli 2024)