“Langit adalah kitab yang terbentang”, ujar Weh kepada Ikal yang menunjuknya menjadi nahkoda perahu kecil. Ikal tak tahu kemana arah pulang setelah berburu ikan hiu di perairan Tanjung Sambar, Kalimantan. Laut hanyalah riak gelombang di antara delapan penjuru angin terhubung langsung dengan lima samudra yang tentu saja membuat Ikal tampak was-was. Jika salah mengambil jalan, mereka akan hanyut sampai Teluk Hauraki, Selandia Baru, dan kering bagaikan ikan asin.
Tanpa kompas, Weh lalu menunjuk empat kerlip bintang trapesium yang perlahan menjelma di horizon. Ikal sadar itulah rasi belantik yang selalu terbentuk rapi di sisi bagian timur. Perlahan Ikal memutar gagang kemudi perahu kecil sambil terus fokus mengamati trapesium belantik. Rasi itu bergerak pelan seakan meniti langit karena bumi berputar. Colombus telah lama tahu pengetahuan ini, maka ia berani bertaruh bumi ini bulat.
Saat tengah malam rasi belantik itu terpancang tepat di atas kepala Ikal. Layaknya Ibnu Batutah dalam mengarungi lautan, Ikal nampaknya telah mafhum bagaimana membaca pergerakan langit lalu memutuskan belok ke arah timur laut, jalan menuju pulang ke pantai Tanjung Tinggi, Bangka Belitung. Kini Ikal menikmati saat berkuasa karena ilmunya, dan mulai merenungkan kata-kata Weh bahwa langit adalah kitab yang terbentang.
Petualangan Ikal dan Weh di atas termuat dalam novel Edensor karya Andrea Hirata. Novel karangan lulusan SD Muhammadiyah Gantong, Belitung ini merupakan buku ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi. Weh sebagai lelaki uzur yang hidup sebatang kara di perahu kecilnya telah mampu membagi lapisan langit menjadi halaman-halaman ilmu. Pengetahuan Weh sejatinya akumulasi dari pengetahuan manusia yang sejak dulu terkagum-kagum memandang kerlap-kerlip bintang dan pesona benda-benda langit.
Manusia mampu memanfaatkan keteraturan benda-benda langit yang mereka amati untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada awalnya manusia hanya menganggap fenomena langit sebagai sesuatu yang magis, perlahan namun pasti, akhirnya mereka mampu memanfaatkan benda-benda angkasa tersebut dari sebagai penanda arah pulang, pembuatan kalender, sampai petunjuk ucapara-upacara keagamaan.
Observatorium Muhammadiyah
Di Indonesia pengkajian ilmu falak syar’i (ilmu hisab) terbilang cukup berkembang. Ulama yang pertama terkenal sebagai bapak metode hisab studi falak di Indonesia adalah Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari (1869- 1957). Dalam lingkungan Muhammadiyah, kajian ilmu falak syar’i dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan, Ahmad Badawi, Sa’doeddin Djambek, dan Wardan Diponingrat (pelopor metode hisab hakiki wujudul hilal). Sesudah mereka ini lahir pula generasi baru ahli falak Muhammadiyah yang aktif di Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, antara lain Oman Fathurohman, Susiknan Azhari, Syamsul Anwar, Sriyatin Shodiq, Tono Saksono, Arwin Juli Butar-butar dan lain-lain.
Dalam perjalanannya, Muhammadiyah telah berperan aktif dan kreatif dalam mengembangkan ilmu falak di Indonesia dan dapat dikatakan sebagai pelopor penggunaan hisab untuk penentuan bulan kamariah. Saat ini Muhammadiyah mulai mengembangkan lebih jauh lagi dalam persoalan astronomi yaitu membangun observatorium sebagai pusat pengamatan benda-benda langit. Muhammadiyah sadar bahwa ilmu falak jauh lebih luas dari sekedar mempelajari posisi geometris benda langit. Kajian ilmu falak yang lebih dominan bersifat spekulasi ini ingin diperkuat oleh Muhammadiyah dengan eksperimen ilmiah.
Menyadari pentingnya hal tersebut beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah mendirikan lembaga astronomi lengkap dengan bangunan observatorium. Observatorium merupakan kontribusi orisinal peradaban Islam yang paling membanggakan. Sebab observatorium sendiri adalah puncak pengetahuan, ide, dan gagasan dalam astronomi. Secara garis besar, ada tiga fungsi observatorium di dunia Islam, yaitu: pusat pengkajian langit, institusi sains, dan sarana penentuan ibadah.
Karena itulah, keberadaan observatorium Muhammadiyah ini pada dasarnya adalah apresiasi terhadap sains dan teknologi yang merupakan bagian dari peradaban dan peribadatan. Sebagai institusi ilmiah kehadiran observatorium merupakan tuntutan sosial masyarakat muslim. Setidaknya, dua perguruan tinggi Muhammadiyah yang telah memiliki bangunan observatorium adalah Observatorium Ilmu Falak (OIF) yang berada di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Medan, dan Pusat Studi Astronomi (PASTRON) yang berada di Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Yogyakarta.
Observatorium Ilmu Falak (OIF) UMSU, Medan
Observatorium Ilmu Falak (OIF) didirikan tahun 2014 berdasarkan SK Rektor UMSU Dr. Agussani, MAP nomor 1060/KEP/II.3-AU/UMSU/D/2014, dan selanjutnya 09 Jumadil Tsani 1436 H (30 Maret 2015 M) diresmikan oleh Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, MA). Pada Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan (KNIB) di Yogyakarta, 23 Mei 2016 M, OIF kembali diresmikan oleh Presiden RI Joko Widodo yang ditandai dengan penandatanganan prasasti.
Bangunan OIF UMSU terletak di lantai 7 Kampus Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (Jl. Denai No. 217 Medan, Sumatera Utara, Indonesia). Saat ini, di OIF UMSU terdapat tujuh ruangan, yaitu: ruang planetarium flat, ruang diskusi, ruang kepala, kantor, gudang, ruang instrumen/perpustakaan, dan taman. Bangunan ini semakin lengkap dan indah dengan adanya dua kubah observatorium berjendela yang di dalamnya terdapat instrumen-instrumen astronomi terutama teleskop. Kubah observatorium ini dinamakan dengan kubah Ahmad Dahlan I dan Kubah Ahmad Dahlan II.
Selain itu, OIF UMSU memiliki ratusan instrumen astronomi, baik instrumen-instrumen klasik maupun modern. Instrumen-instrumen modern digunakan untuk kepentingan khususnya terkait penentuan waktu dan posisi ibadah seperti menentukan waktu salat, menentukan arah kiblat, menentukan awal bulan, dan menentukan kapan dan di mana terjadinya gerhana Matahari. Sementara itu alat-alat astronomi klasik digunakan lebih sebagai khazanah sejarah, di mana alat-alat ini betapapun sederhana namun ia menjadi cikal-bakal munculnya alat-alat modern hari ini.
Secara umum, aktivitas OIF UMSU adalah penelitian, pengabdian, pelayanan publik (kunjungan sekolah dan masyarakat), seminar nasional dan internasional, serta diskusi internal. Sejauh ini penelitian yang telah dilakukan adalah observasi fajar sadik dan syafak, observasi awal bulan, pengamatan benda-benda langit, dan penelitian kalender Islam global. Sedangkan pengabdian kepada masyarakat di antaranya berupa akurasi dan pengukuran arah kiblat masjid, mushalla, lapangan, perkantoran, dan lain-lain.
Pusat Studi Astronomi (PASTRON) UAD, Yogyakarta
Sejak Januari 2014 dengan diterbitkannya SK Ketua LPP UAD Nomor L.1/182/I.0/XI/2013 dan SK Rektor UAD Nomor 2 Tahun 2014, PASTRON aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan. Bangunan PASTRON terletak di Jl. Universitas Ahmad Dahlan Kampus 4 UAD lantai 10, Kragilan, Tamanan, Kec. Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa. Di PASTRON terdapat kubah observatorium yang terpasang kokoh dan indah dengan konstruksi bagian atasnya dapat dibuka-tutup (sliding roof). Fungsi sliding roof ini adalah agar dapat lebih leluasa mengarahkan teleskop ke langit.
Di PASTRON terdapat ruang planetarium yang bukan hanya digunakan untuk mensimulasikan langit, namun juga digunakan untuk ruang presentasi, rapat, diskusi, seminar, bedah buku, dan lain-lain. Selain itu, terdapat ruang tempat menyimpan alat-alat astronomi yang secara umum digunakan untuk penelitian dan edukasi. Dilengkapi dengan instrumen-instrumen lain seperti mounting (dudukan teleskop), kamera teleskop, dan aksesoris teleskop.
Secara keseluruhan, PASTRON memiliki tiga layanan kegiatan yaitu: pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Beberapa kegiatan yang telah dijalani adalah observasi gerhana matahari total, observasi gerhana bulan, pembelajaran astronomi pada siswa tunanetra dan siswa tunarungu, Jambore Nasional Klub Astronomi, perekaman citra digital komet Lovejoy, mengukur tingkat kecerahan langit waktu fajar, dan lain-lain. Selain itu, masyarakat sekitar Yogyakarta dapat menikmati kehadiran PASTRON ini yang telah melakukan pengukuran arah kiblat lebih dari 100 lokasi mulai dari masjid, lapangan, kantor, dan lain-lain.
OIF dan PASTRON merupakan dua lembaga astronomi Muhammadiyah yang telah banyak melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah ini merupakan wujud setia Muhammadiyah terhadap ilmu pengetahuan. Dengan adanya dua observatorium ini, Muhammadiyah menetapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu falak tidak hanya melalui tinjauan spekulasi dan hitung-hitungan astronomis, namun juga menelaah langsung ke angkasa dengan serangkaian metode ilmiah. Hal ini juga menegaskan bahwa langit sebagai kitab yang terbentang dapat ditafsirkan lebih mudah dengan kehadiran observatorium. (muhammadiyah.or.id)