Niat Puasa Ramadhan dan Problematiknya
Oleh: Khairi Azmi Nasution, Sekretaris Majelis Tarjih PWM Sumatera Utara
Niat secara Bahasa القصد والإرادة berarti kehendak, kemauan, niat adalah salah satu rukun ibadah. secara teknis niat adalah berkehendak bersamaaan atau berkaitan dengan Perbuatannya. Niat tempatnya berada di dalam hati, dan hal ini disepakati oleh seluruh ulama, dan tidak ada kewajiban untuk membacakan atau melafalazdkan niat, Karena niat yang benar adalah kunci amal yang benar dan asalnya dari hati, jika hati benar dalam niatnya, maka hati akan merasa puas, puas dengan dirinya sendiri dan berdasarkan tuntutannya niat itu tanpa harus diucapkan. Melafalazdkan niat adalah masalah yang khilafiyah, beberapa ulama menganggapnya sasuatu yang tidak memiliki dasar hukum, sementara yang lain membolehkannya untuk menguatkan tekad dan menangkal bisikan
atau keraguan-raguan. Afdhalnya bagi seorang Muslim adalah cukup dengan niat di dalam hati, kecuali jika ada kondisi khusus / merasa ada keragua – raguan atau ingin menguatkan tekad, maka tidak tidak masalah untuk melafalkannya menurut sebgaian ulama.
Dalam puasa Ramadhan kewajiban niat sebelum memulai puasa sangat ditekankan, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi : مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ Barang siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya. Maksudnya, tidak sah puasa yang dilakukan tanpa niat sebelum fajar. Jumhur ulama berpendapat bahwa wajib berniat sebelum fajar hanya berlaku untuk puasa wajib, seperti puasa
Ramadhan atau mengqadhanya, puasa nadzar, dan puasa kafarat, sedangkan puasa untuk sunnah boleh berniat setelah fajar , sebagaimana yang terdapat dalam hadist riwayat Muslim dari Aisyah – raḍiyallāhu’anhā-, ia berkata,
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا
صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ
”Dari ‘Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuiku pada suatu hari lantas beliau berkata, “Apakah kalian memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kami pun menjawab, “Tidak ada.” Beliau pun berkata, “Kalau begitu saya puasa saja sejak sekarang.” Kemudian di hari lain beliau menemui kami, lalu kami katakan pada beliau, “Kami baru saja dihadiahkan hays (jenis makanan berisi campuran kurman, samin dan
tepung).” Lantas beliau bersabda, “Berikan makanan tersebut padaku, padahal tadi pagi aku sudah berniat puasa.” Lalu beliau memakannya. (HR. Muslim).
Jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi'in dan orang-orang yang mengikuti mereka berpendapat bahwa niat puasa wajib dilakukan pada setiap malam sebelum fajar , puasa tidak sah kecuali dengan niat pada malam hari sebelum fajar Demikian pula pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Ishaq, Imam Dawud, jumhur ulama salaf dan khalaf, demikian juga pendapat Imam Abu Hanifah. Imam Ibnu Hazm berkata dalam kitab Al Muhalla, "Tidak ada puasa, baik puasa Ramadhan maupun puasa kaffarah, yang tidak sah kecuali dengan niat di malam hari dan tidaklah sah puasa, baik puasa Ramadhan maupun selainnya, kecuali dengan niat yang diperbaharui di setiap malamnya untuk berpuasa di keesokan harinya, karena puasa bahasa adalah menahan diri dari makan dan minum, dan diketahui bahwa seseorang lebih banyak menghabiskan waktunya menahan diri dari makan dan minum, karena kedua hal tersebut sangat sedikit waktunya, jadi jika tidak wajib meniatkan puasa, tidak akan ada perbedaan antara puasa secara bahasa dan puasa secara syariat. Hal ini berdasarkan hadist nabi :
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barang siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya”.
Kemudian hadist nabi:
لا صيام لمن لم يجمع الصِّيَامَ بالليل
“Tidak ada puasa bagi yang tidak berniat puasa di malam hari”. Tidak ada puasa, adalah penafian keabsahan puasa, bukan kesempurnaan puasa, dan hal ini berlaku umum untuk semua puasa, kecuali puasa yang ditakhsis oleh dalil, karena lafadz nikâyah (penafian) dalam konteks penafian menunjukkan keumuman dalil, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh kaidah-kaidah yang telah ditetapkan. Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, mengatakan, “Hal ini menunjukkan bahwa hal tersebut adalah wajib”
Hadits إنما الأعمال بالنيات “Sesungguhnya amalan itu hanya dengan niat", menunjukkan wajibnya memperbaharui niat pada setiap setiap hari, karena puasa adalah ibadah yang berdiri sendiri. dan pelanggaran terhadap salah satu rukunnya akan membatalkannya.
Sementara Ibnu Mas'ud, An-Nukha’i, dan mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa berniat di malam hari sebelum fajar lebih utama. Namun, tetap sah meskipun dilakukan pada siang hari, hingga sebelum pertengahan siang berakhir.
Mazhab Hanafi berargumen tidak wajibnya berniat sejak malam hari dengan beberapa dalil, di antaranya adalah hadist Salamah bin Al Aka' dan Ar Rabi’
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلأَكْوَعِ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاً مِنْ أَسْلَمَ أَنْ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنَّ مَنْ كَانَ أَكَلَ
فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ فَإِنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ
“Dari Salamah Ibn al-Akwa‘ r.a. ia berkata: Nabi saw memerintahkan seseorang dari Bani Aslam agar mengumumkan kepada masyarakat bahwa barang siapa yang sudah terlanjur makan hendaklah berpuasa pada sisa hari itu, dan barang siapa yang belum makan hendaklah berpuasa, karena hari ini adalah hari ‘Asyura’." (HR. Bukhari,).
Hadist dari Aisyah r.a :
عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ فَقُلْنَا لَا قَالَ فَإِنِّي إِذَنْ
صَائِمٌ ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا فَأَكَلَ
“Dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata: Pada suatu hari Nabi shallallahu’alaihi wasallam menemui saya dan bertanya: "Apakah kalian mempunyai makanan?" kami menjawab: ” Tidak”. Beliau bersabda: ” Kalau begitu, saya akan berpuasa” Kemudian beliau mendatangi kami lagi pada hari yang lain dan kami berkata: "Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju)." Maka beliau pun bersabda: ” Bawalah kemari, sungguhnya sejak pagi tadi aku berpuasa." Kemudian beliau makan” (HR.Muslim).
Mereka memamahi dalil ini berlaku umum untuk semua puasa, baik puasa Ramadhan, maupun puasa wajib lainnya dan puasa sunnah, sedangkan jumhur berpendapat dalil ini hanya berlaku pada puasa sunnah saja bukan puasa Ramadhan atau puasa wajib lainya. Sedangkan Imam Malik dari pendapat keduanya membolehkan mencukupkan satu niat untuk satu bulan penuh, hal ini berdasarkan firman allah :
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
“ Bagi siapa di antara kalian menyaksikan bulan Ramadhan, maka hendaklah ia berpuasa” Oleh karena itu, bagi siapa yang berniat berpuasa sebulan penuh dari awal hingga akhir bulan, maka itu sudah cukup kecuali jika ada udzur, seperti sakit, bepergian, atau haidh, maka ketika ia harus memperbarui niatnya untuk sisa hari berikutnya, dan yang lebih utama adalah bagi seseorang untuk berniat pada tiap harinya secara terpisah, karena tiap-tiap hari adalah ibadah yang berdiri sendiri, dan karena itu adalah hukum asalnya, tetapi jika ia takut, lupa atau lalai dalam berniat maka tidak mengapa ia berniat untuk berpuasa sebulan penuh, karena Allah Maha Mengetahui apa yang ia niatkan.
Ringkasnya, para ulama sepakat tentang keharusan niat untuk sahnya puasa, namun mereka berbeda pendapat tentang kebolehan batas akhir niat hingga setelah terbit fajar dalam puasa Ramadhan dan wajib lainya , sebagaimana yang telah jelaskan.
Afdhalnya niat itu sebelum fajar dan jika ada kehawatiran , takut, lupa atau lalai dalam berniat maka tidak mengapa ia berniat berpuasa untuk sebulan penuh, karena Allah Maha Mengetahui apa yang ia niatkan. (***)