NBM: Nomor atau Nilai?
(Tulisan ke-Enam dari Beberapa Tulisan)
Oleh : Amrizal, S.Si., M.Pd (Wakil Ketua MPK SDI PWM Sumatera Utara)
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.”(HR. Muslim) Memegang kartu anggota Muhammadiyah hari ini mudah. Terlalu mudah. Cukup mengisi formulir, mendapat rekomendasi, lalu mencetak Nomor Baku Muhammadiyah (NBM). Sayangnya, mudahnya proses ini tidak selalu dibarengi dengan kesungguhan dalam mengamalkan nilai-nilai Muhammadiyah. Hasilnya, banyak yang memiliki kartu, tapi kehilangan ruh.
Fenomena Kartu Muhammadiyah: Aneh Tapi Nyata
Seharusnya, NBM adalah penanda kesetiaan ideologis, keterlibatan aktif di ranting, dan bukti perjalanan spiritual dalam Persyarikatan. Dalam tradisi awal Muhammadiyah, seseorang baru bisa menjadi anggota resmi setelah mengikuti pengajian di ranting minimal 2 tahun. NBM bukan sekadar nomor, tapi hasil dari proses pembinaan ideologi, spiritualitas, dan loyalitas terhadap Persyarikatan. Namun hari ini, banyak yang memiliki NBM tanpa jejak pembinaan. Mereka tak pernah mengaji di ranting, tak hadir di cabang, dan tidak dikenal warga Muhammadiyah di tempat tinggalnya.
Ironisnya, sebagian besar dari mereka justru adalah orang-orang yang bekerja di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).
NBM Demi Jabatan: Bahaya Laten Bunglon Ideologis
Dalam banyak kasus, NBM diurus bukan karena kesadaran ber-Muhammadiyah, tetapi karena faktor kebutuhan administratif—agar naik jabatan, lolos seleksi, atau menunjukkan kesan loyalitas. Begitu mendapat yang diinginkan, menghilang tanpa jejak perjuangan. Mereka ini dikenal dengan istilah populer di kalangan warga: “kader bunglon” berubah warna sesuai kebutuhan. Sebelum dapat NBM, mereka rajin datang. Setelah dapat, bahkan pengajian Ahad pun tak pernah kelihatan.
Fenomena ini sangat berbahaya. Jika dibiarkan, AUM bisa menjadi sarang oportunisme. Nilai-nilai perjuangan bisa dikerdilkan menjadi sekadar simbol dan syarat administratif. Mengapa Ini Bisa Terjadi?
1. Proses NBM yang longgar dan tidak berbasis kaderisasi, Banyak pimpinan cabang
atau ranting memberikan rekomendasi tanpa proses pembinaan. Sistem verifikasi lemah.
2. Tidak adanya integrasi antara AUM dan Struktur Persyarikatan, Karyawan AUM
tidak otomatis terhubung dengan ranting atau cabang tempat tinggalnya. Mereka bekerja
di lingkungan Muhammadiyah, tapi hidup sosialnya jauh dari Persyarikatan.
3. Kultur organisasi yang permisif terhadap simbolisme, Banyak pimpinan AUM membiarkan situasi ini berlangsung tanpa kebijakan pembinaan yang kuat. Yang penting bekerja dengan baik, soal ideologi dan komitmen organisasi tidak dipersoalkan.
Solusi: Menghidupkan Kembali Makna NBM
1. NBM Harus Kembali Menjadi Hasil Kaderisasi. Muhammadiyah perlu mempertegas bahwa NBM hanya bisa diberikan setelah proses pengajian dan pembinaan ideologis selama minimal 2 tahun di ranting atau cabang. Ini penting untuk memastikan bahwa setiap anggota benar-benar memahami Muhammadiyah, bukan sekadar
“memiliki kartu”.
2. Pimpinan AUM Harus Jadi Garda Depan Kaderisasi. Pimpinan AUM tidak boleh netral dalam soal ideologi Muhammadiyah. Justru merekalah yang harus memastikan setiap karyawan aktif mengikuti kegiatan cabang/ranting. Buat kebijakan internal seperti:
Wajib menghadiri pengajian dan kegiatan cabang/ranting
Pelatihan Ideologi Muhammadiyah minimal 2x setahun
Insentif bagi karyawan yang aktif di struktur Persyarikatan
Monev (monitoring dan evaluasi) keterlibatan keagamaan dan ideologi
3. Sinergi Antara MPK SDI, PCM, dan Pimpinan AUM. Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPK SDI) harus membuat program kaderisasi berbasis AUM, dengan ranting dan cabang sebagai mitra utama. Perlu ada:
Mapping karyawan AUM dan lokasi tempat tinggal
Penugasan mereka untuk aktif di ranting terdekat
Kolaborasi kegiatan pengajian antara AUM dan cabang
4. Perlu Revitalisasi Budaya Ranting
Banyak yang enggan aktif karena pengajian ranting tidak menarik atau kurang terstruktur. Maka, PCM dan PRM harus meningkatkan kualitas kegiatan: menghadirkan narasumber menarik, kajian aplikatif, hingga kegiatan sosial yang menyentuh kebutuhan warga. NBM: Dari Sekadar Nomor Menuju Nilai Perjuangan NBM bukanlah tiket untuk mendapatkan fasilitas di Muhammadiyah. Ia adalah ikrar perjuangan dan tanda kesetiaan ideologis. Setiap orang yang memegang NBM seharusnya sadar: “Saya bukan hanya anggota. Saya adalah penerus misi dakwah KH Ahmad Dahlan.”
Pesan Al-Qur’an dan Tokoh Muhammadiyah
“Dan hendaklah kamu ada segolongan dari umat ini yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
KH Ahmad Dahlan mengajarkan bahwa: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”
Buya Syafii Maarif pernah menyindir dengan tajam: “Orang yang hanya mencari gaji di AUM tanpa semangat membela Muhammadiyah adalah penumpang gelap.”
Mari Kembalikan Marwah Kartu Muhammadiyah Sudah waktunya kita bertanya: Apakah NBM hanya nomor? Atau nilai perjuangan? Apakah kartu itu hanya simbol? Atau janji kesetiaan? Kepada seluruh pimpinan AUM dan Persyarikatan, mari kita rapikan barisan. Jangan biarkan bunglon-bunglon ideologis tumbuh di dalam rumah kita sendiri. Mari kita cetak kader sejati yang hadir bukan karena gaji, tapi karena cinta. “NBM adalah komitmen. Bukan tiket. Mari kembalikan ruh ber-Muhammadiyah ke tangan-tangan yang pantas menerimanya.”
Wallahu a’lam bish-shawab

