Hilal Aceh dan Sidang Isbat
Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Secara keputusan, penetapan 28 Mei 2025 M sebagai 1 Zulhijah 1446 H oleh Pemerintah (Kementerian Agama Republik Indonesia) adalah sah. Secara astronomis data hilal awal Zulhijah 1446 H telah memenuhi parameter yang disepakati yaitu 3-6.4, berikutnya ada saksi yang melihat hilal, dan kesaksian itu diterima (sumpahnya) oleh hakim, lalu pemerintah memutuskannya dalam sidang isbat. Secara praktikal-fikih, kadi (negara) tidak memerlukan verifikasi ilmiah atas keterlihatan hilal. Dalam fikih sebuah kesaksian hanya cukup dengan verifikasi aspek non teknis (kejujuran dan keyakinan perukyat) saja, selebihnya (aspek teknis) tidak perlu, betapapun seorang hakim punya prinsip untuk menerima atau menolak sesuai pengetahuannya. Maka dalam kasus awal Zulhijah 1446 H yang lalu, tatkala sudah diputuskan oleh Kemenag RI, maka sekali lagi itu sah. Bagi yang meyakini dan mengikuti keputusan pemerintah, sekali lagi sah, betapapun ada pihak yang berbeda, mengkritisi,
bahkan menolaknya, dan pihak yang berbeda tidak bisa membatalkan kesahihan penetapan pemerintah tersebut.
Namun, karena hilal adalah objek fisis dan menjadi kajian ilmiah-metodologis dalam astronomi, maka ‘gugatan’ saintifik atas laporan keterlihatan hilal awal Zulhijah di Aceh beberapa waktu lalu adalah wajar dan kontekstual, sekali lagi secara keilmuan. Sesuai perkembangan kajian hilal di dunia Islam, rekor dan parameter visibilitas hilal sesungguhnya telah ada, yang mana data astronomis awal Zulhijah 1446 H di Aceh sebenarnya belum memenuhi rekor dan parameter yang berkembang. Dalam kenyataannya keterlihatan hilal di Aceh diragukan oleh sejumlah kalangan, kesaksian melihat hilal tidak dapat dibuktikan secara saintifik-metodologi ditengah tersedianya aneka instrumen teleskop canggih. Karena itu tidak berlebihan kalangan yang menekuni bidang ini (astronom/ilmu falak) meragukan, bahkan menolak kesaksian itu dan menyatakan sebagai kontroversial.
Mengakomodir hisab dan rukyat, yang menjadi prinsip pemerintah, dalam kasus Zulhijah 1446 H adalah dilema, sebagaimana kasus Ramadan 1446 H. Seperti diketahui data hisab pada dasarnya memang sudah memenuhi 3-6.4, namun karena (juga) harus mengakomodir rukyat, maka ada kesan setiap kesaksian (yang tidak terbukti dan tidak terverifikasi secara teknis ilmiah sekalipun) akan diterima, karena sekali lagi prasyarat dalam keputusan tidak memestikan keterpenuhan secara teknis. Kasus kesaksian hilal di Aceh menjadi buktinya. Namun dalam konteks kajian ilmiah, kesaksian yang tidak terbukti secara teknis, sebagaimana kesaksian di Aceh, tidak dapat diterima, yang karena itu ‘gugatan’ ilmiah-akademik atasnya menguat terutama di media sosial yang hingga kini belum usai.
Fenomena ini menjadi dilema, bahkan paradoks, yaitu karena pengakomodiran keduanya (hisab dan rukyat) dalam faktanya mengabaikan, persisnya mengorbankan satu diantaranya, dalam kasus awal Zulhijah 1446 H lalu mengorbankan rukyat. Dilema dan paradoks lain, pemerintah kerap tidak ingin mengatakan antara hisab dan rukyat satu diantaranya penentu dan lainnya pembantu, keduanya ingin diletakkan pada posisi dan porsi yang sama. Namun kenyataannya dalam kasus awal Zulhijah 1446 H lalu sesungguhnya hisab menjadi penentu, sementara rukyat pembantu. Jika sama-sama penentu seharusnya laporan rukyat itu diverifikasi secara teknis (ilmiah) yang jika tidak memenuhi kaidah dan standar saintifik maka harus ditolak, kenyataannya tidak demikian.
Hilal syar’i? Adalah keliru, bahkan mengada-ada membuat dan mengadakan terminologi “hilal syar’i”. Tidak ada dalam sejarah dan fikih istilah ‘hilal syar’i’.
Tatkala pemerintah memutuskan masuk awal bulan dengan kesaksian yang meragukan, tidak terbukti secara empirik-akademik, tidak memenuhi aspek teknis ilmiah, dan seterusnya, sekali lagi secara fikih adalah tetap sah. Namun keliru menyematkan hilal dan kesaksian yang sedemikian itu dengan ‘hilal syar’i’. Istilah ini justru mendegradasi terminologi ‘syariat’ dan ‘syar’i’ itu sendiri. Syariat adalah hukum agama (Islam) yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, dan
hubungan manusia dengan alam berdasarkan al-Qur’an dan hadis. Sementara ‘syar’i’ bermakna karakter atau sifat syariat itu sendiri yang berlandaskan al-Qur’an dan hadis.
Diantara konstruksi al-Qur’an adalah ayat-ayat kauniyah yang menjelaskan alam semesta dan benda-benda jagad raya di dalamnya secara eksak dan pasti. Hilal adalah salah satu benda jagad raya ciptaan Allah yang juga memiliki aspek eksak dan kepastian, karena itu keterlihatannya yang tertolak secara ilmiah lalu disemat dengan istilah ‘syar’i’ adalah teramat memaksa dan mengada-ada. Cukuplah dinyatakan bahwa kesaksian hilal itu meragukan dan kontroversial namun pemerintah mengambil kebijakan yang dipandang sebagai maslahat dan
jalan tengah sesuai kaidah “hukm al-hakim yar’fa’ al-khilaf” (ketetapan hakim mengangkat perbedaan).
Karena itu, adalah penting melakukan kajian dan observasi berkelanjutan untuk menyusun ambang batas visbilitas hilal terkini yang teruji, agar tidak bertentangan atau mempertentangkan antara hisab dan rukyat. Saya pribadi meyakini bahwa rukyat yang tepat akan bersesuaian dengan hisab yang akurat (ru’yah shahihah muwafiq li al-hisab ad-daqiq).
Hisab dan rukyat adalah dua bangunan keilmuan dalam sejarah yang berkembang bersama dan saling melengkapi. Karena itu penting menyusun parameter baru yang independen, tanpa mempertimbangkan aspek non teknis seperti keinginan mengakomodir pihak tertentu atau berbagai pihak. Imkan rukyat yang kompatibel dengan rukyat memestikan uji dan akurasi teknis yang komprehensif, sekali lagi tanpa perlu mempertimbangkan pihak tertentu dan berbagai pihak. Dalam diskursus parameter imkan rukyat, 3-6.4 merupakan ambang batas
sangat rendah dan rentan, rekor dunia (dan Indonesia) belum menyentuh parameter ini. Maka jika masih dengan parameter 3-6.4, saat posisi bulan dekat dengan angka ini, maka dilema dan paradoks yang sama berpotensi akan terus terulang, dan akan terus menjadi catatan sejarah.
Hilal adalah objek fisis benda langit yang dapat dikaji secara ilmiah dan metodologis, dan dalam perkembangannya ada banyak teori dan parameter tentangnya. Disiplin ilmu yang mengkaji hilal dan parameternya dikenal dengan ilmu falak atau astronomi. Di Indonesia ada sejumlah perguruan tinggi dengan jurusan khusus astronomi dan ilmu falak yaitu ITB Bandung, ITERA Lampung, UIN Walisongo Semarang, UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Alauddin Makassar, UIN Mataram, UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe, IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dan UMSU Medan. Berikutnya ada banyak observatorium yang berkembang terutama di bawah perguruan tinggi yang diantara aktivitasnya pengamatan hilal setiap bulan. Berbagai perguruan tinggi dan observatorium ini tentu memiliki kontribusi terutama data tentang hilal. Karena itu kolaborasi antara Kementerian Agama, perguruan tinggi, dan observatorium sepatutnya dioptimalkan.
Karena itu, ditengah geliat dan kemajuan pengkajian astronomi (ilmu falak) hari ini, jika pemerintah bertahan dan berpangku tangan dengan prinsip fikih an sich dan mengandalkan kaidah “hukm al-hakim yarfa’ al-khilaf” (ketetapan hakim mengangkat perbedaan) maka pemerintah akan tercatat tidak mengikuti perkembangan zaman, tidak mengapresiasi ilmu pengetahuan, dan dianggap ketinggalan zaman, bahkan dalam batas tertentu akan dianggap ‘otoriter’ karena tidak terbuka dengan fakta dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dari fenomena ini (penetapan awal Zulhijah 1446 H) tampak bahwa persoalan tidak sederhana, ada banyak celah yang dapat diungkit dan diangkat, dalam ranah fikih barangkali bisa dianggap selesai, namun dalam ranah ilmiah tidak demikian. Hal yang sama juga berlaku dengan KHGT. Kritik dan diskursus ilmiah tidak mungkin berhenti, apalagi coba dihentikan, namun cara kritik dan berdiskursus patut menjadi perhatian. Jika kerap merendahkan, sinis, dan tendensi, maka harus ‘dilawan’ dan dihentikan. Wallahu a’lam[]