Merawat Kaderisasi Menjaga Idiologi
Oleh : Amrizal, S.Si., M.Pd (Wakil Ketua MPK SDI PWM Sumut)
Persoalan kaderisasi Muhammadiyah memang sangat multi kompleks mulai dari tingkat wilayah sampai ranting. Persoalan pengkaderan yang sampai saat ini terasa makin tidak diminati oleh kalangan anggota Muhammadiyah termasuk pimpinan sendiri merupakan persoalan yang harus dicarikan solusinya. Bicara tentang pengkaderan di Muhammadiyah terasa dingin dan tidak menimbulkan ”syahwat”. Realitas semacam inilah yang terjadi pada tingkatan institusional dan organisasi Muhammadiyah saat ini yang berimplikasi pada semakin lama nyaris tidak ada pengkaderan formal yang diadakan oleh Pimpinan Muhamadiyah baik tingkat wilayah sampai ranting.
Hal ini bisa dirasakan ketika kita mengunjungi mesjid-mesjid Muhammadiyah, dimana masih rendahnya pemahaman idiologi anggota Muhammadiyah. Muhammadiyah harus menyadari bahwa secara internal telah terjadi krisis kader hampir di setiap jenjang kepemimpinan, disadari bahwa selama ini kaderisasi belum berjalan secara optimal dengan melibatkan berbagai saluran dan sarana persyarikatan, bahkan terkesan masalah kaderisasi tidak terlalu mendapat perhatian yang serius dari pimpinan persyarikatan. Bandingkan dengan bidang pendidikan dan sosial (kesehatan) yang tampaknya dijadikan primadona. Terjadinya krisis kader tersebut disebabkan oleh banyak faktor, antara lain : pertama, semakin bertambahnya amal usaha Muhammadiyah, yang tentunya semakin banyak memerlukan tenaga inti penggerak. kedua, kurang berfungsinya saluran-saluran
kaderisasi dalam tubuh persyarikatan, yaitu saluran lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah, saluran
Majelis Pendidikan Kader, dan saluran Iembaga keluarga.
Ada 11 masalah kaderisasi dalam Muhammadiyah yang dapat dipetakan dan dianalisis sebagai berikut :
1. Rekruitmen personalia PRM, PCM, PDM dan PWM serta pengelola amal usaha Muhammadiyah yang kurang tepat. Proses rekrutmen kadang hanya mempertimbangkan profesionalisme dan kesediaan menjadi pengurus pengelola amal usaha sementara pemahaman dan komitmen kemuhammadiyahan dinomor duakan atau bahkan diabaikan sama sekali. Misalnya ada mantan pejabat, atau tokoh tertentu yang belum pernah aktif di Muhammadiyah dipilih menjadi Pimpinan Persyarikatan atau pimpinan amal usaha Muhammadiyah demikian pula halnya dalam pengangkatan guru, dosen, tenaga medis dan karyawan pada amal usaha Muhammadiyah. oleh sebab itu menurut Buya Syafi'i Ma'arif kita tidak boleh terlalu terpukau atau merekayasa seseorang apakah pejabat atau bekas pejabat untuk didudukkan dalam posisi kepemimpinan padahal belum
mengenal budaya Muhammadiyah (maarif,2000, 141).
Akibatnya ada diantara mereka yang hanya mencari hidup bahkan menjadi "benalu”, tanpa rnau menghidup hidupkan Muhammadiyah. Di sisi lain hal ini memang dapat dimaklumi karena ketiadaan kader, namun jika dibiarkan tarpa pembinaan, justru akan jadi bom waktu bagi Muhammadiyah.
2. Lembaga – lembaga pendidikan Muhammadiyah sejak TK hingga PT tidak dijadikan sarana kaderisasi, tapi telah bergeser orientasinya sebagai wadah pencetak tenaga kerja, bahkan dijadikan sarana penghasil uang, sementara induknya (Muhammadiyah) tetap meminta-minta sumbangan kepada warganya jika akan melaksanakan kegiatan. IRM dan IMM sebagai bagian dari sarana kaderisasi ibarat pepatah "bagai kerakap tumbuh diatas batu, hidup segan rnati tak mau" di lembaga pendidikan Muharnmadiyah.
3. Para pengurus, pimpinan amal usaha dan elit Muhammadiyah enggan mengkader atau melibatkan anak-anaknya dalam kegiatan Muhammadiyah, sementara anak orang lain terus dipicu dan dipacu untuk aktif di Muhammadiyah, bahkan mungkin ada anak para elit Muhammadiyah yang tidak pernah shalat di masjid Muhammadiyah. Haedar Nashir menyatakan bahwa merupakan hal yang ganjil jika para tokoh Muhammadiyah sibuk sepanjang hari berkiprah mengembangkan Muhammadiyah dan mengkader anak orang, sementara anak-anaknya sendiri tidak dibina ke arah itu (Nashir, 2000, 122).
4. Belum optimalnya fungsi dan peran Majelis Pendidikan Kader pada hampir setiap jenjang kepemimpinan. Hal ini disamping karena lemahnya SDM yang mengelola majelis ini, juga disebabkan kurangnya perhatian pimpinan persyarikatan baik berupa moril maupun materiil, berbeda dengan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah atau Majelis PKS yang disupport oleh hampir seluruh pimpinan persyarikatan.
5. Lemahnya pemahaman pimpinan persyarikatan tentang tata kelola organisasi di level wilayah, daerah, cabang dan ranting. Harus diakui, tidak sedikit tantangan yang dihadapi dalam melakukan pengelolaan organisasi, mulai dari kesibukan pimpinan, mobilitas yang semakin dinamis, melimpah dan cepatnya arus informasi, massifnya penggunaan teknologi informasi dan disrupsi digital, hingga kompleksitas masalah social. sistem tata kelola di Muhammadiyah yang terus diperkuat dari masa ke masa, baik lewat AD/ART, pedoman organisasi hingga rumusan-rumusan baru yang terus diperbarui lewat Tanwir hingga Muktamar harus terus dipahamkan kepada seluruh pimpinan disemua level.
6. Belum semua kader persyarikatan memahami manhaj Muhammadiyah yang merupakan ideologi Muhammadiyah berbasis Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Banyak kader Muhammadiyah yang terkesan sebagai “kader organisatoris” tetapi mereka tidak masuk kategori “kader ideologis”. Keadaan ini diperparah dengan semakin langkanya kader dari lapisan “santri” dengan pemahaman agama yang memadai.
7. Akibat kurangnya pemahaman manhaj dan ideologi Muhammadiyah berbasis al-Qur’an dan Sunnah, maka mereka sering kali gagap dan tidak cukup siap merespon ketika berdialog atau bertukar fikiran berhadapan dengan berbagai “aliran” keagamaan Islam di luar Muhammadiyah. Kenyataan ini mempersulit pengembangan dakwah yang dilancarkan oleh persyarikatan ini. Akibatnya ada anggapan sebagian fihak bahwa Muhammadiyah sangat “dangkal” pemahaman agamanya. Bahkan ada yang mengklaim bahwa Muhammadiyah tidak punya ahli agama dan miskin ulama.
8. Keluhan sebagian pimpinan (PCM atau PRM), bahwa di daerahnya ini Muhammadiyah adalah minoritas. Sehingga mereka tidak mempunyai cukup keberanian melakukan langkah-langkah mengembangkan persyarikatan ini. Mereka merasa inverior, sehingga miskin motivasi dan miskin inovasi, yang penting Muhammadiyah di Kawasan cabang atau ranting ini “ada”. Baginya ini cukup. Padahal hampir di semua wilayah atau daerah di Indonesia ini bisa dikatakan bahwa Muhammadiyah adalah minoritas. Tetapi justru dalam kondisi minoritas itulah ada kesempatan menunjukkan kualitas Muhammadiyah baik lewat tokoh-tokohnya, ataupun lewat AUM nya, sehingga di daerah tertentu yang minoritas malah amal usahanya berkualitas, ini yang banyak
terjadi di lapangan. Jadi tidak benar alasan minoritas sehingga kehilangan motivasi dan inovasi.
9. Keluhan sebagian pimpinan, bahwa di daerah atau wilayahnya, hampir semuanya sibuk sehingga sulit ketemu. Keluhan semacam ini merupakan bukti “ketidak fahaman” sebagian pimpinan tersebut bahwa dunia sedang berubah. Terjadi perubahan berupa pergeseran nilai dari pola pikir konvensional bahwa koordinasi dan konsolidasi persyarikatan mengharuskan adanya “ijtima” atau berkumpul dan hadir dalam forum majelis. Sehingga segala sesuatu harus didasarkan pada ijtima‟ tersebut, tanpa adanya alternativ atau solusi lainnya. Pola pikir konvensional tersebut harus dirubah ke pola pikir yang lebih modern atau setidak-tidaknya berwatak kekinian. Alasan “kesibukan” tidak boleh menjadi alasan untuk tidak aktif di persyarikatan. Di era digitalisasi revolusi informasi mengharuskan para aktifis dan kader Muhammadiyah mengikuti perubahan ini. Banyak alternatif pemecahan menghadapi para aktifis yang “sibuk” dengan pola-pola koordinatif via virtual. Bahwa ijtima dalam arti kumpul secara fisik itu memang penting, tetapi tidak selamanya semua proses koordinasi dan konsolidasi persyarikatan seluruhnya bersifat fisik, tetapi bisa sebagian secara virtual dan sebagian lainnya secara fisik.
10. Keluhan kehabisan kader, karena lebih tertarik pada kelompok-kelompok lain dari pada Muhammadiyah. Kenyataan ini menjadi alasan umum di kalangan Muhammadiyah baik di Kota maupun di daerah. Keadaan ini, harus dicari akar masalahnya. Salah satunya adalah karena pimpinan setempat tidak mampu menyiapkan kader. Penyiapan kader bisa dilakukan dengan mengintensifkan kajian rutin baik yang bersifat organisatoris maupun yang bersifat ideologis. Kaderisasi juga bisa dilakukan dengan memaksimalkan ortom yang ada. Jangan lupa bahwa rekruitmen calon kader harus diiringi dengan ilmu komunikasi yang baik sehingga bisa menarik kaum muda. Jika ini tidak dilakukan maka bisa dipastikan tidak akan punya kader.
11. Keluhan tidak punya dana, dan tidak punya amal usaha. Ini juga menjadi keluhan pada umumnya di kalangan Muhammadiyah. Dan lagi-lagi ini disebabkan karena pimpinan yang miskin visi, miskin motivasi, dan miskin inovasi. Ingat bahwa amal usaha itu menjadi salah satu syarat berdirinya suatu ranting atau cabang. Maka pimpinan harus kreatif dan mampu menggerakkan warga dan simpatisannya untuk membangun atau mengadakan AUM. Bisa berupa mushalla, masjid, sekolah, klinik, panti asuhan, dan lain-lain yang memungkinkan. Dana persyarikatan itu berdasarkan kinerja atau program kerja. Kalau tidak ada kegiatan maka tidak akan ada dana. Oleh sebab itu pimpinan haruslah orang-orang yang kreatif, inovatif, dan yang penting berani keluar dari zona aman
Merawat Kaderisiasi
Kader Muhammadiyah merupakan mereka yang memiliki semangat muda untuk membawa organisasi lebih maju. Masa depan Muhammadiyah tergantung bagaimana Muhammadiyah Daerah bisa meningkatkan kualitas para kadernya. Maka adanya kaderisasi menjadi penting. Pendidikan perkaderan dalam Muhammadiyah diarahkan untuk mengembangkan seorang sebagai manusia yang berpotensi, berenergi positif, kreatif dan luar biasa sehingga tumbuh menjadi manusia yang mampu mengemban tugas kekhalifahan di muka bumi. Proses perkaderan yang dikembangkan, diharapkan menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan. Perubahan tersebut diawali dari perubahan cara berpikir, ide, pencerdasan akal, dan pencerahan. Proses kaderisasi di Muhammadiyah dilaksanakan melalui beberapa jalur. Ada jalur keluarga, jalur amal usaha, jalur organisasi otonom, dan jalur program khusus seperti Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPK SDI).
Mengutip dari buku berjudul Merawat Muhammadiyah Merawat Kemanusiaan, Sukadiono, Boy ZTF, Mundakir, Putri Asyiyah, Radius Setiyawan dkk (2023: 177), kader adalah generasi penerus yang diharapkan mampu menjadi pemimpin di masa yang akan datang. Sedangkan kaderisasi merupakan usaha pembentukkan seorang kader secara terstruktur dalam organisasi yang umumnya mengikuti suatu perencanaan yang telah disusun secara sistematis dan terukur. Istilah “kaderisasi” sendiri mulai digunakan secara resmi dan khusus dalam Keputusan Muktamar ke-37 tahun 1968. Dalam Lampiran 4 bertajuk Kaderisasi disebutkan bahwa “pembinaan kader” merupakan salah satu “amal persyarikatan” yang dilaksanakan dalam pendidikan formal, upgrading, training, dan pendidikan formal.
Suara Muhammadiyah (Tahun ke-III/1970) menurunkan editorial berjudul Pentingja Kaderisasi yang mengurai secara lengkap dan reflektif tentang apa itu kaderisasi: “Adalah amat tragis bagi sesuatu Gerakan bahwa ia terpaksa harus lenjap dari “panggung” sedjarah sebelum ia sempat mewujudkan apa jang mendjadi tudjuannya. Banjaklah faktor jang menjebabkannja, tetapi jang lebih penting untuk disebutkan adalah semakin berkurang atau sinarnja para pendukung jang benar2 mewarisi aspirasi perdjuangan jang sesuai dengan idea jang menyertai kelahirannja Gerakan itu. Oleh karenanja, untuk mempertahankan eksistensi suatu Gerakan pada hakekatnja tidaklah tjukup hanja sekedar dengan djalan memelihara udjud lahirnja sadja. Tetapi jang terutama sekali adalah tetap menghidup suburkan idea Gerakan itu didalam hati sanubari setiap pendukungnja. Lebih dari itu adalah
mendjaga agar idea itu tidak paham, meskipun terdjadi pergantian pendukung dari generasi ke generasi jang berikutnya. Hal ini hanja mungkin, selama para pimpinan dan aktivist Gerakan itu senantiasa menjadari akan pentingja kaderisasi jaitu pembinaan tulang-punggung2 Gerakan jang benar2 memahami idea Gerakan dan mengetrapkannja dalam kehidupannja se-hari2 serta pembibitan tunas2 baru jang disiapkan untuk menerima dan mewarisi perdjuangan pada masa2 mendatang. Muhammadijah sebagai Gerakan Islam, tidak kita relakan ia lenjap dari “panggung” sedjarah perdjuangan ini sebelum idea dan tjita2nja benar2 dapat diudjudkan. Untuk itu tidak ada alternatif lain selain kita harus melaksanakan dengan sungguh2 program kaderisasi hasil keputusan Muktamar ke 37.”
Melalui uraian di atas “kaderisasi” dimaknai sebagai “pembinaan tulang punggung gerakan” yang ditujukan
untuk “mewariskan aspirasi perjuangan”. Poin menarik dari uraian di atas terkait dengan cara pandang dalam melihat kesinambungan dan keberlanjutan organisasi, bahwa tidak cukup hanya sekadar memelihara pencapaian-pencapaian fisik, melainkan juga “menghidup-suburkan ide”.
Menjaga Idiologi
Ideologi Muhammadiyah merupakan sistem keyakinan, cita-cita, dan arah perjuangan yang memiliki tujuan
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Ideologi tersebut berisi Muqodimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM), Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM), Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), Khittah Perjuangan Muhammadiyah, serta keputusan-keputusan resmi Muhammadiyah yang akan membina kualitas iman takwa dan berpengaruh terhadap perilaku dan etos kerja. “Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang besar perlu melakukan intensifikasi proses kaderisasi secara terencana, terarah dan berkesinambungan baik secara internal maupun eksternal untuk menjamin kelangsungan organisasi di masa yang akan datang, serta menjamin tersedianya sumber daya insani yang profesional untuk mengisi berbagai lini kehidupan modern. Kelalaian Muhammadiyah dalam melakukan proses kaderisasi akan berakibat fatal pada proses keberlangsungan
organisasi di masa depan, serta mengurangi kontribusi Muhammadiyah bagi kemajuan bangsa dan negara.”
Sejak K.H Ahmad Dahlan sampai sekarang, kader Muhammadiyah selalu diusahakan kelahirannya. Bahwa usaha itu masih belum optimal dan tidak sepenuhnya selalu berhasil, karena masih banyak faktor yang mempengaruhinya. Usaha kaderisasi itu dilakukan melalui tiga jalur, yakni: 1. Jalur pendidikan Muhammadiyah, melalui sekolah-sekolah khusus kader seperti Muallimin, Muallimat dan sekolah Muhammadiyah yang bersifat umum yang merupakan pendidikan alternatif dan pendidikan pondok pesantren yang saat ini bersifat terbatas,
2. Jalur informal di keluarga, di mana para keluarga Muhammadiyah mendidik putra-putrinya sebagai kader Muhammadiyah di masa yang akan datang, dan, 3. Program khusus MPK-SDI beserta organisasi-organisasi otonom Muhammadiyah yang telah berlangsung lama sesuai dengan keberadaan kelembagaannya.
Darul Arqam dan Baitul Arqam Upaya Nyata Menjaga Idiologi Muhammadiyah
Dalam Muhammadiyah ada dua pengkaderan. Yakni Darul Arqam dan Baitul Arqam.Mengapa sistem pengkaderan menggunakan kata Baitul dan Darul Arqom? Darul Arqom berasal dari, Daar = Rumah, Arqam = nama sahabat nabi yang bernama Arqam. Dar juga sebagai tempat kembali. Lebih lanjut, rumah yang dijadikan oleh Rasulullah Saw. sebagai lembaga pendidikan Islam, dari sinilah Islam tersebar ke seluruh dunia. Istilah Arqam itu berasal dari nama pemuda Arqam bin Abil Arqam. Ia adalah anak muda pertama kali yang masuk islam. Dia juga tergolong para assabiqunal awwalun. “Saat itu Rasulullah mencari anak muda yang diperkirakan akan mendukung dakwahnya,” kata Mahsun meski asal muasal Arqam adalah anak muda yang tidak jelas asal muasalnya. Arqom Bin Abil Arqom, artinya: Arqom anaknya pak Arqom. Bapaknya termasuk orang tak dikenal sehingga dipanggil “Bapaknya Arqom”. Jadi, Seorang pemuda bernama Arqom sesungguhnya anak yang “liar”, bapaknya juga tidak jelas, Tapi nabi Muhammad saw ingin menokohkan anak itu. Bahkan mengkadernya. Dan, berhasil.Arqam sejatinya berasal dari Bani Mahzum, yang mana, komunitas Bani Mahzum ini selalu memusuhi Bani Hasyim yaitu klan nabi Muhamamd saw. Meski begitu Pemuda Arqam ini berperan menangkis setiap
pelecehan bahkan perkelahian antar Klan terhadap bani Hasyim dan Bani Mahzum. Kader muda berkualitas, justru muncul dari komunitas “lawan” sehingga ini memudahkan dakwah Nabi Muhammad saw. Dalam konteks itulah Muhammadiyah menggunakan dua kata ini karena ingin meniru kualitas dan peran pemuda Arqam.
Dari proses perkaderan yang dilakukan Nabi Muhammad saw di rumah Arqom bin Abil Arqom ini kemudian menghasilkan kader-kader yang berkualitas, siap berdakwah menegakkan dan membela agama Allah “Dinul Islam”. Kaderisasi menempati posisi yang sangat strategis bagi kelangsungan hidup Muhammadiyah sebagai
sebuah persyarikatan dan gerakan Islam dakwah amar ma'ruf nahi munkar.
Sudah saatnya kaderisasi mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari segenap pimpinan Muhammadiyah dan pimpinan amal usaha Muhammadiyah, terutama di Sumatera Utara yang kondisinya tentu berbeda dengan daerah lain, tentu harus dilandasi oleh niat yang tulus untuk menghidup-hidupkan Muhammadiyah dan tidak semata mencari hidup dalam Muhammadiyah sebagaimana pesan sang pendirinya almarhum KH. Almad Dahlan.
Jangan sampai terjadi di kemudian hari bahwa ada orang yarg tidak diketahui asal-usul kemuhammadiyahannya justru menjadi pemain inti di Muhammadiyah atau amal usaha Muhammadiyah, sementara orang yang sudah lama berkiprah dan tidak diragukan komitmen kemuhammadiyahannya justru
hanya jadi penonton. (***)
Amrizal, S.Si., M.Pd (Wakil Ketua MPK SDI PWM Sumut), Dosen Unimed Medan.