Menghidupkan Jiwa Ismail di Zaman Generasi Z
Oleh: Syahbana Daulay
Di tengah arus deras zaman yang serba cepat, ketika suara-suara kebebasan berseliweran tanpa batas, dan makna hidup kian kabur oleh gemerlap dunia digital, kisah Nabi Ismail as. kembali menyapa nurani kita, terutama para pemuda yang hidup di era Generasi Z. Bukan sebagai dongeng masa lalu, tetapi sebagai lentera spiritual yang menyinari jalan kehidupan modern yang kerap gelap oleh keraguan, kecemasan, dan krisis identitas. Apa yang bisa dipelajari dari seorang anak muda yang hidup ribuan tahun lalu? Bukankah zamannya sudah berbeda? Pertanyaan semacam ini mungkin muncul dari benak anak muda masa kini yang hidup di tengah artificial intelligence, media sosial, dan kebebasan ekspresi yang tak terbendung. Namun justru di sanalah relevansinya.
Kisah Nabi Ismail bukan hanya sejarah yang beku. Ia adalah cermin yang memantulkan nilai-nilai luhur: kepatuhan, kesabaran, dan tawakkal, nilai yang amat dibutuhkan oleh Generasi Z yang hidup dalam dunia serba instan namun rentan terhadap tekanan mental dan kehilangan arah spiritual.
Ismail: Remaja yang Percaya dan Tunduk
Mari kita kembali sejenak pada kisah monumental itu. Saat Nabi Ibrahim as. mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih anaknya Ismail, sang ayah menghadapi dilema yang mengguncang: antara cinta sebagai orang tua dan kepatuhan sebagai hamba. Namun yang tak kalah menggugah adalah reaksi Ismail:
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“;Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. As-Saffat: 102).
Kalimat ini bukan sekadar ungkapan formal. Ia lahir dari jiwa yang penuh keimanan, kepercayaan yang utuh, dan ketundukan total kepada kehendak Allah. Ini adalah refleksi dari spiritualitas yang matang, meski dalam diri seorang pemuda. Bandingkan dengan realitas hari ini. Di saat sebagian besar remaja kebingungan mencari jati diri, Ismail hadir sebagai sosok yang menemukan makna hidupnya dalam ketaatan. Ia tidak menuntut haknya sebagai anak, tidak mempertanyakan logika perintah itu, tidak melawan. Ia justru percaya, karena yang menyuruh adalah Tuhan yang Maha Pengasih.
Kepatuhan di Tengah Euforia Kebebasan
Generasi Z dikenal sebagai generasi yang sangat menjunjung tinggi nilai kebebasan. Ini bukan hal buruk. Namun dalam beberapa hal, kebebasan yang tidak diarahkan bisa menjelma menjadi egoisme dan pemberontakan terhadap nilai-nilai ilahiah. Agama pun kadang dianggap sebagai sistem yang membatasi kreativitas dan pilihan hidup. Ismail justru mengajarkan bahwa tunduk kepada Allah bukan berarti kehilangan kebebasan, tapi justru menemukan bentuk tertingginya. Karena siapa pun yang tidak tunduk kepada Allah, pasti akan tunduk kepada sesuatu yang lain: hawa nafsu, opini publik, atau algoritma media sosial. Di sinilah pentingnya nilai spiritual dalam membingkai kebebasan. Kepatuhan kepada Allah bukan penghambat kemajuan, melainkan fondasi yang menstabilkan arah. Ismail menunjukkan bahwa kehormatan sejati bukan terletak pada kebebasan tanpa batas, tetapi pada kemampuan untuk memilih yang benar meski tidak populer.
Kesabaran di Dunia Serba Instan
Generasi hari ini dibesarkan dalam budaya instan. Dari makanan cepat saji hingga konten digital berdurasi 15 detik. Segala sesuatu diukur dari kecepatan, bukan kedalaman. Namun kehidupan sejati tidak bekerja dengan prinsip instan. Kebahagiaan, ketenangan, dan keberhasilan sejati hanya bisa diraih dengan kesabaran. Ismail menunjukkan puncak kesabaran yang tak lazim bagi usia muda. Ia tahu bahwa yang akan dihadapinya adalah kematian, namun ia tetap tenang dan menyerahkan diri. Ini bukan karena ia pasrah tanpa daya, tapi karena ia paham bahwa hidup ini bukan sekadar tentang bertahan, tapi tentang menyerahkan diri pada kebaikan yang lebih besar. Kesabaran bukan berarti pasif. Ia adalah bentuk tertinggi dari kontrol diri dan kepercayaan kepada proses yang telah Allah tetapkan.
Tawakkal sebagai Obat Kecemasan Modern
Satu hal yang sangat relevan dengan krisis Generasi Z adalah tingkat kecemasan yang tinggi. Banyak anak muda merasa gagal sebelum mencoba, merasa tidak cukup meski sudah berusaha, dan merasa tersesat di tengah hiruk pikuk pencapaian orang lain. Media sosial memperparah ini, dengan standar kebahagiaan yang semu dan kompetisi eksistensi yang melelahkan. Tawakkal adalah obat yang menenangkan. Bukan karena kita berhenti berusaha, tapi karena kita tahu bahwa hasil akhir bukan milik kita. Ismail tidak tahu bahwa Allah akan menggantinya dengan sembelihan dari langit. Tapi ia percaya. Ia yakin bahwa kasih sayang Allah jauh lebih
besar dari logika manusia. Tawakkal bukan sikap fatalis. Ia adalah bentuk tertinggi dari usaha yang dilandasi iman. Ini adalah pesan yang sangat penting bagi generasi yang sering merasa gagal hanya karena tidak viral, tidak trending, atau tidak sesuai ekspektasi orang lain.
Kurban Sejati di Era Digital
Ibadah kurban bukan sekadar ritual penyembelihan hewan, melainkan simbol mendalam dari pengorbanan batiniah, pengorbanan yang menuntut ketulusan hati dan keikhlasan jiwa. Kisah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail bukan hanya sejarah, melainkan cermin bagi setiap insan beriman. Ismail mengajarkan bahwa yang pertama-tama perlu kita sembelih bukanlah hewan, melainkan ego kita, rasa “aku” yang berlebihan, ambisi untuk selalu dilihat, dan obsesi untuk diakui tanpa usaha yang tulus.
Di era digital saat ini, makna kurban menjadi semakin relevan. Dunia maya seringkali mendorong manusia, terutama generasi muda, untuk berlomba dalam pencitraan. Ada tekanan untuk selalu tampak sempurna, untuk menampilkan kebahagiaan, kesuksesan, dan kepuasan secara terus-menerus. Namun di balik layar, tak sedikit yang merasa hampa, gelisah, dan kehilangan jati diri. Jiwa mereka terperangkap dalam ilusi pengakuan. Menyembelih ego di era ini berarti berani untuk tampil apa adanya, tanpa topeng pencitraan. Berani mengatakan “cukup” pada hal-hal yang melalaikan. Berani menolak godaan kemaksiatan meski tak ada yang melihat. Dan lebih dari itu, berani berjuang dan berbuat kebaikan meski tanpa sorotan kamera dan tepuk tangan manusia. Itulah makna kurban yang sejati: pengorbanan yang tak tampak oleh mata, tapi dicatat oleh langit.
Menjadi Ismail-Ismail Zaman Ini
Kita tidak berada di padang Arafah. Tidak sedang diuji dengan penyembelihan fisik. Tapi setiap hari kita diuji dalam bentuk lain: tekanan sosial, godaan dunia, krisis makna, dan pertanyaan eksistensial. Maka, sudah saatnya kita hidupkan kembali “jiwa Ismail” dalam diri kita masing-masing. Jiwa yang tunduk kepada Allah, bukan kepada opini dunia; sabar dalam menapaki proses hidup, bukan tergesa mengejar hasil; tawakkal dalam menghadapi ketidakpastian, bukan cemas tanpa arah. Di situlah kekuatan hakiki manusia modern ditemukan: bukan di genggaman teknologi, tapi dalam kedekatannya kepada Tuhan. “Sesungguhnya demikianlah Kami membalas orang-orang yang berbuat baik.” (QS. As-Saffat: 105)
Jika Anda adalah bagian dari Generasi Z, jangan takut menjadi berbeda. Jadilah seperti Ismail, tenang di tengah badai, patuh di tengah kebebasan, dan kuat di balik kelembutan iman. Karena dunia tidak butuh lebih banyak orang terkenal, tapi lebih banyak jiwa-jiwa yang ikhlas, sabar, dan bertawakkal. Wallahu a’lam.
*** Penulis Syahbana Daulay, Dosen UMSU dan Anggota Majelis Tabligh PWM Sumut