Pada suatu malam, Rasulullah Muhammad Saw menjalani perjalanan yang menakjubkan. Ia menjadi seorang musafir yang melampaui batas akal manusia dan menantang logika duniawi. Dari Mekah, beliau diangkat ke Yerusalem dalam semalam. Bagi seorang musafir pada abad ketujuh, perjalanan ini biasa memakan waktu sebulan.
Keesokan paginya, ketika orang-orang kafir Mekah mendengar kabar tentang perjalanan ini, mereka merayakannya dengan harapan bahwa akhirnya mereka dapat membuktikan bahwa Muhammad adalah seorang gila. Mereka berkumpul, menunggu dengan penuh kegembiraan. Begitu mereka mendengar kisah Rasulullah Saw yang mereka anggap “tak masuk akal”, mereka pun tertawa terbahak-bahak, mengejeknya tanpa belas kasihan.
Namun, meski diserbu dengan cemoohan dan ketidakpercayaan, Rasulullah Saw tetap tenang. Ia berjalan menuju Ka’bah, tempat yang begitu ia cintai, dan di sana ia memuji Allah Sang Pemilik Alam Raya ini. Dalam keheningan yang mendalam, beliau berdoa kepada Allah untuk ditunjukkan kembali gambaran Yerusalem.
Dan begitu beliau mulai mendeskripsikan kota suci itu, tanpa ragu, dengan begitu rinci dan jelas, seolah-olah ia sedang berjalan melalui setiap sudut kota tersebut pada saat itu juga. Orang-orang yang hadir terdiam, terkejut dengan ketepatan deskripsinya.
Di saat itu, keyakinan Abu Bakar al-Shiddiq diuji dengan hebat. Beberapa orang datang kepadanya, meragukan klaim Rasulullah Saw yang begitu luar biasa. Mereka mempertanyakan bagaimana mungkin Rasulullah Saw bisa melakukan perjalanan dari Mekah ke Yerusalem dalam satu malam.
Namun, dengan ketenangan yang luar biasa, Abu Bakar menerima dan menanggapi hal itu dengan keyakinan yang tak tergoyahkan. Baginya, jika Rasulullah Saw benar-benar mengatakan hal itu, maka pastilah itu adalah kebenaran. Keyakinannya pada Nabi Saw bahkan lebih besar daripada itu, karena ia percaya bahwa Rasulullah Saw menerima wahyu dari langit dalam sekejap mata.
Sejak saat itu, Abu Bakar dikenal dengan gelar al-Shiddiq, Sang Pembenaran, yang mencerminkan imannya yang begitu kuat dan tidak ragu terhadap kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Kisah ini membawa kita pada pelajaran yang mendalam, tidak hanya tentang iman kepada Rasulullah Saw, tetapi juga tentang pemahaman kita terhadap takdir ilahi yang melampaui hukum-hukum alam.
Dr. Hatem al-Haj, seorang cendekiawan Muslim kontemporer, mengingatkan kita bahwa al-Buraq, makhluk yang membawa Nabi Saw, tidak pernah digambarkan sebagai kuda bersayap raksasa atau sesuatu yang fantastis. Al-Buraq bukanlah hal yang penting dalam cerita ini, melainkan kehendak Allah yang melampaui segala batasan fisika yang kita pahami. Allah adalah Pencipta hukum-hukum alam, dan adalah wajar jika Dia tidak terikat oleh hukum-hukum tersebut.
Lebih jauh lagi, kisah perjalanan Isra’ Mi’raj juga terhubung dengan banyak peristiwa menakjubkan lainnya dalam Al-Qur’an. Misalnya, kisah seorang lelaki yang tidur seratus tahun tanpa bertambah usia, atau pemuda-pemuda yang tertidur selama 309 tahun, sementara dunia di luar gua mereka terus berputar. Semua ini menunjukkan kepada kita bahwa dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang tampak mustahil di mata manusia, mungkin saja berada dalam jangkauan kehendak Allah yang Maha Kuasa.
Kritik dari beberapa orang terhadap kisah ini, termasuk tuduhan mereka bahwa perjalanan ini tidak lebih dari khayalan, hanya mencerminkan ketidaktahuan mereka tentang hakikat iman. Mereka meremehkan fakta bahwa di dunia ini banyak hal yang tidak bisa dijelaskan oleh sains, namun bukan berarti hal tersebut tidak ada.
Perjalanan Isra’ dan Mi’raj, dengan segala keajaiban dan kepercayaannya, mengajarkan kita bahwa kadang-kadang, kita perlu melampaui batas-batas yang kita pahami tentang dunia ini untuk menyadari adanya kuasa Tuhan yang tak terbatas. Ini adalah panggilan untuk terus mempercayai yang tak terlihat dan untuk menerima bahwa dalam ketidakmampuan kita untuk memahami, ada hikmah yang lebih besar yang menanti untuk ditemukan. (muhammadiyah.or.id)