Jakarta, InfoMu.co – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) merevisi prediksi masuknya fenomena La Nina ke wilayah Indonesia, di mana sebelumnya La Nina diprediksi melanda Indonesia pada periode Juli-Agustus-September 2024.
Berdasarkan Analisis Dinamika Atmosfer Dasarian I Juli 2024, La Nina berpotensi baru akan terjadi pada Agustus-September-Oktober 2024 atau ASO 2024. Pada Dasarian I Juli 2024, Indeks ENSO sebesar 0,19 atau berada pada fase Netral.
ENSO atau El Nino-Southern Oscillation adalah anomali pada suhu permukaan laut di Samudera Pasifik di pantai barat Ekuador dan Peru yang lebih tinggi daripada rata-rata normalnya. Disebutkan, iklim di Samudra Pasifik terbagi ke dalam 3 fase. Yaitu, El Nino, La Nina, dan Netral.
Ketika terjadi fase La Nina, hembusan angin pasat dari Pasifik timur ke arah barat sepanjang ekuator menjadi lebih kuat dari biasanya. Menguatnya angin pasat yang mendorong massa air laut ke arah barat, maka di Pasifik timur suhu muka laut menjadi lebih dingin.
Adapun pada Dasarian I Juli 2024, Curah hujan cenderung bervariasi dari kriteria rendah (25%), menengah (65%) dan tinggi-sangat tinggi (10%). Sifat hujan pada Dasarian I Juli 2024 bervariasi Bawah Normal (I8%), Normal (18%) dan Atas Normal (64%).
Selain itu, BMKG telah merilis peringatan dini kekeringan meteorologis dalam periode Dasarian I Juli 2024. Umumnya berada di Pulau Jawa, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Sedangkan di luar Pulau Jawa, ada Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Tak hanya itu saja, BMKG juga telah merilis peringatan dini curah hujan tinggi pada Dasarian II Juli 2024. Adapun wilayah yang masih berpotensi dilanda curah hujan tinggi dengan status waspada yakni seperti kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan, Maluku, dan Papua Tengah.
Meski begitu, pada prediksi beberapa bulan mendatang, yakni dari Dasarian II Juli 2024 hingga Dasarian I Agustus, umumnya diprediksi curah hujan berada di kriteria rendah hingga menengah (0-150 mm/dasarian). Berikut daftarnya.
BMKG Bilang Hujan di Musim Kemarau Normal Terjadi
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menegaskan fenomena hujan deras di musim kemarau yang terjadi belakangan ini bukanlah anomali iklim.
Menurutnya, kondisi tersebut adalah sesuatu yang normal dan wajar terjadi di Indonesia, mengingat letak geografis Indonesia yang berada diantara dua benua yaitu Australia dan Asia dan dua samudra yaitu Pasifik dan Hindia.
“Letak geografis ini menjadikan Indonesia memiliki dua musim yang berbeda, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Angin monsun barat dari Benua Asia membuat Indonesia mengalami musim hujan. Sementara secara umum, musim kemarau di Indonesia berkaitan dengan aktifnya angin monsun timur dari Australia yang bersifat kering,” ungkap Dwikorita dalam Konferensi Pers secara daring di Jakarta, Senin (8/7/2024).
Dwikorita menjelaskan, meski berstatus musim kemarau, namun bukan berarti tidak turun hujan sama sekali. Melainkan curah hujan di suatu tempat kurang dari 50 mm/dasarian dan terjadi minimal tiga dasarian berturut-turut.
Musim kemarau sendiri, tidak terjadi secara bersamaan di Indonesia dan berlangsung dengan durasi yang berbeda antar wilayah.
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan BMKG, hingga akhir Juni 2024 menunjukkan bahwa sebanyak 43% Zona Musim di Indonesia sedang mengalami musim kemarau.
Adapun puncak musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia akan terjadi pada bulan Juli dan Agustus 2024, mencakup 77,27% wilayah zona musim.
Meskipun musim kemarau sedang terjadi di sebagian wilayah Indonesia, kata dia, namun tidak selalu menunjukkan kondisi iklim yang kering dan panas, karena keragaman iklim di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi musim.
Diterangkan Dwikorita bahwa banyak faktor lain yang mempengaruhi keragaman iklim di Indonesia yaitu faktor global misalnya fenomena El Nino/La Nina, faktor regional misalnya Madden Julian Oscillation dan menghangatnya suhu permukaan laut di sekitar Indonesia, dan faktor lokal misalnya adanya angin darat-angin laut.
“Sebuah kejadian cuaca, umumnya merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor tersebut,” imbuhnya.
Mengenai fenomena hujan lebat dalam beberapa hari terakhir di beberapa wilayah Indonesia seperti Banten, Jawa Barat, Jakarta, dan Maluku, lanjut Dwikorita, hal itu disebabkan oleh dinamika atmosfer skala regional yang cukup signifikan.
Di antaranya, termonitornya aktivitas fenomena Madden Julian Oscillation (MJO), Gelombang Rossby Ekuatorial, dan Gelombang Kelvin.
MJO adalah aktivitas dinamika atmosfer yang terjadi di wilayah tropis, di mana terdapat pergerakan sistem awan hujan yang bergerak di sepanjang khatulistiwa, dari Samudra Hindia sebelah timur Afrika ke Samudra Pasifik dan melewati wilayah Benua Maritim Indonesia. Fenomena ini, tambah dia, sifatnya temporal dan akan terulang setiap 30 hingga 60 hari di sepanjang wilayah Khatulistiwa.
MJO sendiri, lanjut Dwikorita, memiliki perbedaan dalam skala ruang dan waktu dengan musim kemarau. Jika musim kemarau terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia dan berlangsung selama berbulan-bulan, maka MJO hanya terjadi di wilayah yang dilewatinya dan hanya berlangsung dalam hitungan beberapa hari hingga beberapa minggu.
Fenomena MJO ini bisa mempengaruhi pola cuaca dengan meningkatkan kemungkinan adanya periode hujan yang lebih intens, sekalipun itu di musim kemarau. (cnbc-i)