Kriteria Al-Masyaqqah ( Kesulitan ) Dalam Puasa Ramadhan
Oleh : Khairil Azmi Nasution,MA
Sekretaris Majelis Tarjih Dan Tajdid PWM Sumatera Utara / Dosen Fahum UMSU
Allah telah menjadikan puasa bulan Ramadan wajib bagi umat Muslim, dan allah juga telah memberikan rukhsah (keringanan) yang mengizinkan berbuka / membatalkan puasa bagi orang yang berada dalam kondisi Masyaqqah ( kesulitan ) ketika pelaksanaan puasa Ramadhan, apakah dia harus melakukan puasa, atau memberi makan kepada seorang fakir miskin di hari-hari yang dibatalkannya karena kondisi yang menyulitkan tersebut (pidyah). Ada yang sedikit kaku dalam memahami mengenai rukhsah (keringanan) yang diberikan Allah kepada umat muslim, sehingga mempersulit orang yang dalam kondisi Masyaqqah ( kesulitan ) untuk berbuka/ membatalkan puasa di bulan ramadhan.
Maka dalam tulisan inii akan mengurai bagaimana pandangan Hukum Islam, syari`ah terhadap kondisi Masyaqqah ( kesulitan ) yang membolehkan seorang muslim untuk berbuka atau membatalkan puasa nya di bulan Ramadhan dan apakah dia harus mengganti puasanya pada bulan berikutnya atau membayar fidyah.
Para ulama memiliki keragaman pendapat dalam memahami ayat 184 dalam surat Al Baqarah :
وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“… Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Apakah ayat ini berbicara tentang Al-Masyaqqatu ( Kesulitan ) dalam berpuasa, ataukah berbicara tentang kebolehan bagi siapa saja yang dapat membayar fidyah untuk berbuka atau membatalkan puasanya, meskipun ia mampu untuk berpuasa. Jumhur ulama berpendapat bahwa ayat tersebut rukhsah atas perintah diwajibkannya berpuasa, karena puasa itu telah memberatkan mereka. oleh karena itu, ketika awal turunnya ayat tersebut, orang yang telah memberikan makanan kepada orang miskin, maka tidak berpuasa pada hari itu, meskipun dia mampu mengerjakan puasa tersebut. Sebagaimana terdapat dalam Shahih al-Bukhari dari Slamah bin Akwa` :
لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ } كَانَ مَنْ أَرَادَ مِنَّا أَنْ يُفْطِرَ وَيَفْتَدِيَ فَعَلَ حَتَّى نَزَلَتْ هَذِهِ
الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا فَنَسَخَتْهَا
“Tatkala telah turun ayat ini: { وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ } Maka barang siapa diantara kami yang hendak berbuka dan membayar fidy`ah, ia boleh melakukannya, hingga turunlah ayat yang setelahnya, dan menggantikan hukum ayat tersebut.” (HR. Bukhari ).
Kalimat “ يُطِيقُونَهُۥ “ ( Yuthiiquunahu) adalah sebutan bagi kadar kemampuan yang memugkinkan orang melakukan sesuatu dalam kondisi Masyaqqah ( kesulitan ). Al-Masyaqqah ( Kesulitan ) tidak sama dengan sakit, sebagian pendapat ada yang menyamakan alasan yang diperbolehkannya untuk berbuka puasa di bulan Ramadhan, adalah menyamakanan antara Al-Masyaqqah ( Kesulitan ) dan sakit, dengan berpendapat bahwa
” Penyakit yang membolehkan untuk berbuka puasa Ramadhan adalah penyakit yang menimbulkan kesulitan, atau safar yang menimbulkan kesulitan. Sementara sebagian besar ulama berpendapat bahwa sakit dan safar itu adalah keringanan ( Rukshah ), berbeda dan berdiri sendiri, sedangkan Al-Masyaqqah ( Kesulitan ) mendatangkan Keringan ( Rukshah ) yang lain, maka baik safar ( Perjalanan ) itu nyaman maupun melelahkan, maka ia adalah Keringan ( Rukshah ) untuk berbuka, sebagaimana Keringan ( Rukshah) untuk mengqashar shalat empat rakaat menjadi shalat dua rakaat, sehingga yang menjadi sebab di sini adalah safarnya itu sendiri, bukan Al-Masyaqqah ( Kesulitan )nya, karena Al-Masyaqqah ( Kesulitan ) itu adalah sesuatu hal yang lain, dan sakit juga itu termasuk salah satu bentuk Keringan ( Rukshah ) untuk berbuka yang lain, sedangkan Al-Masyaqqah ( Kesulitan ) itu lebih umum.
Al-Masyaqqah ( Kesulitan ) itu berbeda-beda dari waktu ke waktu, misalnya pekerjaan yang membutuhkan kerja keras, dan sipekerja tidak bisa meninggalkan pekerjaannya dan tidak bisa mencari pekerjaan lain, seorang Muslim yang bekerja dalam profesi yang berat yang membutuhkan usaha yang berlebih dan menanggung penderitaan yang melebihi pekerjaan biasa, bahwa bekerja dan mendapatkan penghasilan yang halal adalah termasuk Maqasidu As Syari`ah ( tujuan-tujuan Syari`ah ) dan ibadah dalam Islam tidak menjadi penghalang seorang muslim untuk mencari nafkah yang halal, bahkan usaha untuk memperoleh rezeki dianggap sebagai salah satu ibadah yang mulia jika ditujukan untuk menghidupi dirinya sendiri dan yang menjadi tangggung jawab dirinya untuk dinafkahi diperbolehkan untuk berbuka puasa selama bulan Ramadhan jika diperlukan, dan ini bentuk Keringan ( Rukshah ) yang lain, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran’’( Al baqarah :185)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan tiadalah Dia (Allah) membuat kesulitan bagimu dalam (manjalankan) agama (Al-Hajj: 78).
Dalam Hadis Rasulallah Saw :
يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا
“Buatlah mudah, jangan mempersulit”. (HR. Bukhari ).
فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ ، وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
“Kalian diutus untuk mempermudah dan kalian tidaklah diutus untuk mempersulit”. (HR. Bukhari).
Kadeah Fiqh :
المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ
“Masyaqqoh mendatangkan kemudahan” Namun, ada kreteria yang harus diperhatikan pada Al-Masyaqqah nya ( Kesulitan ) dalam pekerjaan
1. Pekerjaan yang sangat melelahkan ( berat ) dan akan berdampak buruk bagi dirinya karena berpuasa, meskipun ia memiliki uang yang cukup untuk menghidupi dirinya dan keluarganya yang selama bulan Ramadhan.
2. Pekerjan yang sangat melelahkan ( berat ) dan tidak menemukan pekerjaan yang lain yang lebih ringan sementara uang nya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya jika ia tidak bekerja bersamaan dengan melanjutkan puasanya akan berpotensi mencelakakan dirinya, menimbulkan mudharat lain bagi dirinya. amun -Masyaqqah ( Kesulitan ) pada pekerjaan yang mendatangkan Keringan ( Rukshah ) untuk boleh berbuka puasa harus tetap harus berniat untuk berpuasa dan sahur sebelum fajar, harus diawali dengan berpuasa, dan tidak diperbolehkan membatalkan puasa langsung di pagi hari, berdasarkan kaedah :
الرّخْصَةُ لاَ تُنَافِي بِالْمَأْثِيَةِ
“ keringanan hukum yang diberikan syariat harus digunakan dengan bijaksana dan tidak boleh dijadikan alasan untuk melakukan perbuatan maksiat “ Kemudian jika di tengah hari dia merasa tidak mampu melanjutkan puasanya maka dia diperbolehkan untuk membatalkan puasanya tetapi dia harus mengganti puasanya hari yang lain, dia berpuasa setelah Ramadhan, ketika keadaannya memungkinkan, Jika tidak mampu maka dapat
diganti dengan membayar fidyah hal ini berdasarkan kaedah :
إذا تعذر الأصل يصار إلى البدل
“Jika yang pokok tidak dapat dilaksanakan, maka beralih kepada pengganti”. Sebab bukan merupakan orang yang sakit yang boleh untuk tidak berpuasa dari awal, terdapat beberapa kondisi Al-Masyaqqah ( Kesulitan ) yang menjadi syarat adanya keringanan ( rukhsah) bagi pekerja yang menjadi adanya keringanan ( rukhsah) bagi pekerja berat adalah seberapa tingkat kondisi masyaqqah (kesulitan) dan darurah yang dialami seorang pekerja saat berpuasa.
Keringanan ini diambil dalam rangka menjaga Maqasidu As Syari`ah ( tujuan-tujuan syari`ah ). Kemudian Al-Masyaqqah ( Kesulitan ) yang lain, yang mengaharuskan berbuka adalah jika seseorang dilanda kelaparan dan kehausan serta khawatir binasa, meskipun dia dalam keadaan sehat dan mukim, tidak dalam keadaan sakit dan tidak sedang dalam perjalanan, berdasarkan firman Allah
Annnisa` ayat 29
وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Syariat membolehkan beberapa orang yang memiliki uzur untuk berbuka, terutama jika uzur tersebut membuat mereka tidak mampu berpuasa, atau menyebabkan Al-Masyaqqah ( Kesulitan ) yang sangat berat yang dapat membahayakan mereka.
Dengan demikian Sebagian besar ulama Ushuliyin mendepinisikan Al-Masyaqqah ( Kesulitan ) dalam menentukan adanya keringanan ( rukhsah), diperboleh kannya berbuka puasa atau tidak merujuk kepada pertimbangan dan ijtihad berdasarkan adat kebiasaan yang dapat diterima dan disepakati yang dapat dijadikan sebagai hukum ( العادة محكمة), sebagai dasar kebijaksanaan penilaian seorang Muslim dalam menentukan kreteria Al-Masyaqqah ( Kesulitan ). (***)
*** Penulis, Sekretaris Majelis Tarjih Dan Tajdid PWM Sumatera Utara / Dosen Fahum UMSU

