Komedian Masuk Senayan, Demokrasi “Negara Bercanda”?*
Oleh: Kanti Rahmillah, M.Si.
Muslimah News, OPINI — Fenomena Komeng tengah menjadi perbincangan di berbagai kalangan. Pasalnya, komedian yang bernama asli Alfiansyah Komeng itu meraup suara fantastis pada pemilihan caleg DPD dapil Jabar. Berdasarkan data Kamis (22-2-2024), suara Komeng sudah tembus dua juta, jauh meninggalkan kandidat lainnya yang sampai ratusan ribu saja.
Komeng bahkan mencatat sejarah sebab baru kali ini ada calon dari jalur legislatif yang meraih angka pemilih hingga melebihi sejuta suara. Popularitas dan foto “agak laen” yang ada di dalam surat suara disebut-sebut sebagai kunci kemenangan Komeng.
Tidak dimungkiri, sejak pemilu langsung pada 2004, popularitas menjadi andalan untuk pemenangan para kandidat. Hal tersebut bisa terlihat dari makin banyaknya selebritas yang masuk parlemen.
Fenomena Komeng
Setidaknya ada tiga poin yang bisa kita bahas terkait dengan fenomena ini. Pertama, fenomena Komeng seperti sedang menyindir kondisi perpolitikan kita saat ini yang dianggap seperti canda. Parlemen bak panggung hiburan politik yang jauh dari kata serius. Akhirnya, rakyat akan memilih sesuka hatinya sebab siapa pun yang terpilih dianggap tidak dapat mengubah nasib bangsa.
Komeng bukanlah satu-satunya pelawak yang terpilih masuk parlemen. Di beberapa negara, para komedian yang kerjanya menghibur warga, seperti lebih dicintai daripada para elite politik. Sebut saja Volodymyr Zelensky, seorang komedian yang kini menjadi Presiden Ukraina. Saat Pemilu 2019, Volodymyr menang telak dari lawannya yang merupakan petahana.
Kedua, demokrasi sangat meniscayakan terpilihnya selebritas-selebritas populer. Kendati mereka tidak paham cara mengelola negara, asal dikenal publik, mereka berpeluang besar terpilih. Ini karena dalam sistem demokrasi, orang awam yang tidak paham politik pun berhak menentukan nasib bangsa.
Lihat saja saat pilpres kemarin, banyak dari mereka yang memilih capres karena “gemoy” atau karena terlihat seperti “wong cilik”. Rakyat tidak peduli visi misi dan gagasan sang capres. Rakyat seolah kehilangan rasionalitasnya dalam memilih bahkan banyak dari mereka yang tidak memikirkan konsekuensi atas pilihannya. Semua itu karena memang mayoritas dari mereka buta politik.
Inilah yang makin memperkuat politik pencitraan. Cukup menampilkan citra yang baik di hadapan publik, maka ia akan berpotensi terpilih. Politik demokrasi memang menjadikan suara ulama dan profesor setara suara pemabuk dan pelac*r. Semuanya memiliki satu suara untuk menentukan siapa yang akan memimpin bangsa.
Bayangkan, seorang pemabuk dan ahli maksiat diminta mencari pemimpin yang terbaik untuk umat, tentu peluang salah pilihnya akan sangat besar. Bagaimana tidak? Menjaga dirinya agar sesuai dengan perintah Allah Swt. saja tidak bisa, apalagi memutuskan hal yang besar.
Ketiga, sistem demokrasi akan selalu menghadirkan para kandidat yang tidak kapabel dan tidak paham agama. Motivasi tertinggi para kandidat maju adalah materi. Begitu pun parpol, tidak akan segan mengusung artis-artis tenar, kendati tidak paham politik. Partai akan mendompleng popularitas artis untuk meraup pemilih sebanyak-banyaknya. Semua itu lagi-lagi karena materi sebab kader partai yang duduk di kursi pemerintahan adalah jaminan mengalirnya uang pada tubuh partai.
Kecacatan Demokrasi
Sungguh memprihatinkan melihat kondisi negeri demokrasi. Orang-orang yang menang kontestasi bukanlah mereka yang kapabel mengurus negara, melainkan orang-orang yang hanya berbekal pencitraan dan politik uang. Kecurangan dan keculasan menjadi makanan sehari-hari. Bahkan, Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjadi lembaga tertinggi penegak keadilan, nyatanya kian tunduk dengan politik dinasti. Inilah negeri demokrasi, keadilan bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami.
Bukan hanya keadilan yang sulit dicari, kesejahteraan pun kian pudar seiring makin berkuasanya oligarki. “Politik gentong babi” atau “pork barrel politic” menjadikan oligarki kian disembah bak dewi Fortuna. Lihatlah saat bansos berubah menjadi kekuatan politik untuk mempertahankan kekuasaan, padahal kebijakan yang ditetapkan selama ini penuh dengan kezaliman dan jauh dari menyejahterakan. Namun, lagi-lagi inilah demokrasi, oligarki rakus bisa terpilih kembali hanya dengan “politik gentong babi”.
Kecacatan sistem politik demokrasi bukan hanya terletak pada absurditas keadilan dan kesejahteraannya saja, melainkan yang utama adalah landasan sistem politiknya yang tegak berdasarkan pada sekularisme, yaitu pemahaman yang memisahkan agama dengan kehidupan. Alhasil, pelaku politik dan aturan dalam sistem ini berjalan hanya berdasarkan pada kekuatan akal manusia yang terbatas. Peluang terciptanya perbedaan, perselisihan, dan pertentangan pun amatlah tinggi.
Jangan heran jika benturan kepentingan begitu besar dalam menentukan kebijakan. Bayangkan, dalam satu kebijakan, setidaknya harus mengakomodasi kepentingan oligarki, partai, keluarga, hingga personal si pejabat. Jadilah kepentingan umat kerap disingkirkan sebab bertentangan dengan banyak kepentingan elite berkuasa.
Membuang dan Beralih
Melihat karut-marutnya sistem politik demokrasi, seperti kain pel yang terus ditambal sulam. Sudahlah bau dan kotor, segala upaya yang dilakukan untuk menutupi kebobrokannya malah makin memperburuk rupanya. Seharusnya umat membuang sistem ini dan beralih kepada sistem yang telah jelas dan terbukti mampu membawa keadilan dan kesejahteraan, yaitu Islam.
Hanya saja, masyarakat masih dibutakan dengan tampilan dan janji manis para pengusungnya yang sebagian besar dari mereka adalah para penikmat demokrasi. Mereka itu adalah orang-orang pragmatis yang mendulang banyak keuntungan di balik tegaknya sistem ini. Makin miris, saat umat Islam yang telah memiliki ajaran paripurna, sistem politik ala Nabi, malah ikut-ikutan melanggengkan sistem ini.
Oleh karena itu, menjelaskan pada umat terkait batilnya demokrasi dan wajibnya sistem politik Islam ditegakkan, harus masif disiarkan agar umat menjadi paham bahwa agamanya adalah solusi atas keterpurukan manusia saat ini. Mereka dengan kesadarannya akan memperjuangkan sistem Islam untuk kembali memimpin dunia.
Sistem Politik Islam
Setidaknya ada tiga poin yang menjadikan politik Islam wajib dan layak untuk diperjuangkan. Pertama, sistem politik Islam berasaskan akidah Islam yang menjadikan kedaulatan tertinggi berada di tangan syarak. Alhasil, seluruh kebijakan yang ditetapkan harus merujuk pada Al-Quran dan Sunah. Inilah yang menjadikan jaminan sebuah kebijakan akan berfokus pada terterapkannya syariat Islam secara kafah dan terpenuhinya seluruh kepentingan umat.
Kedua, sistem politik Islam berlandaskan spiritual sehingga para calon yang maju bernapaskan spiritual, bukan materi. Para artis—apalagi para pelawak yang tidak paham agama—tidak akan berani mencalonkan dirinya sebab hukuman Allah Swt. begitu jelas bagi pemimpin yang lalai dalam amanahnya, yaitu diharamkannya masuk surga.
Sebaliknya, para pemilih dalam masyarakat Islam akan benar-benar hati-hati dalam memilih pemimpin. Mereka paham benar konsekuensi atas seluruh perbuatannya. Alhasil, mereka pun akan memilih sosok yang kapabel dalam mengurus negara dan berkomitmen dalam menerapkan syariat Islam secara kafah.
Ketiga, fungsi parpol bukan semata sebagai kendaraan untuk berkuasa, melainkan untuk memastikan para kadernya yang terpilih adalah mereka yang paham agama dan kapabel dalam mengurus umat. Selain itu, tugas parpol pun mengedukasi umat agar mereka semakin bertakwa dan berpolitik sesuai dengan tuntunan syariat.
Khatimah
Fenomena Komeng ini makin memperlihatkan ketakseriusan dan ketakmampuan demokrasi dalam melahirkan pemimpin yang paham agama dan kapabel dalam memimpin umat. Alhasil, membuangnya dan beralih pada sistem politik Islam adalah perkara yang wajib dan urgen untuk dilakukan oleh umat manusia agar masyarakat hidup dalam keadilan dan kesejahteraan dengan makna sebenarnya. Wallahualam. [MNews]