Oleh : Safrin Octora
Belakangan ini kita semakin sering melihat dan membaca berita yang memiriskan perasaan tentang Covid-19. Sekelompok orang merebut paksa jenazah korban Covid-19 dari tangan petugas pemulasaran di rumah sakit, lalu membawanya pulang dan menguburkan tanpa protokol yang berlaku. Bahkan di Probolinggo Jawa Timur, jenazahkorban Covid-19 yang akan dimasukkan ke liang lahat, diambil paksa oleh keluarga, dikeluarkan dari peti jenazah, dan dikuburkan secara biasa. Sementara peti jenazah dibuang begitu saja.
Pada sisi lain, media massa juga memberitakan kondisi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Tempat-tempat wisata ramai didatangi oleh para pengunjung tanpa mengindahkan protokol kesehatan seperti pakai masker ataupun jarak jarak. Hal yang sama juga terjadi di banyak pasar (pajak, bahasa Medan) tradisional. Memakai masker, cuci tangan atau menjaga jarak sepertinya sudah tidak berlaku lagi bagi kebanyakan masyarakat kita.
Fakta-fakta berita tersebut di atas menunjukkan bahwa bagi sebagian masyarakat kita, Covid-19 ini sepertinya dianggap tidak ada. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian tim National University Singapore di Jakarta dan Surabaya. Menurut para peneliti tersebut sebanyak 77 % responden di Jakarta dan s 59 % responden di Surabaya beranggapan bahwa kecil kemungkinan mereka tertular Covid-19.
Sementara itu pada sisi lain, informasi tentang penyebaran Covid-19 yang disampaikan pemerintah menunjukkan grafik yang menakutkan. Terhitung Sabtu (19-07-2020) jumlah pasien yang terkonfirmasi mencapai 84.882 orang, dengan korban yang meninggal dunia sebanyak 4016. Jumlah ini terus meningkat sejak kasus Covid-19 ditemukan di negara kita pada awal Maret 2020.
Memang jumlah pasien Covid-19 dan yang meninggal dunia dinegara kita, tidak ada arti apa-apa bila dibandingkan dengan Amerika Serikat, Brasil, India ataupun Rusia yang merupakan empat besar negara di dunia yang memiliki pasien terbanyak. Namun bila dibandingkan dengan jumlah pasien terkonfirmasi dan meninggal dunia di negara serumpun Asean, jumlah pasien covid-19 kita jelas sangat memprihatinkan.
Lalu yang menjadi pertanyaan mendasar kenapa masyarakat kita semakin acuh dan tidak patuh pada protokol kesehatan yang berlaku ! Mengacu kepada seorang ahli psikologi sosial Leon Festinger, kasus -kasus ketidak-patuhan masyarakat terjadi karena adanya informasi yang tidak konsisten yang diterima masyarakat berkaitan dengan masalah Covid-19 tersebut. Ketidak konsistenan informasi tersebut diistilah Festinger dengan dissonansi kognitif.
Teori dissonansi kognitif ini diperkenalkan Festinger pada tahun 1950 yang merupakan turunan dari suatu teori besar yang dinamakan Teori Konsistensi. Menurut teori ini masyarakat akan lebih nyaman mendapatkan informasi informasi yang konsisten dalam dinamika kehidupan sehari-hari. Sehingga ketika muncul informasi-informasi yang tidak konsisten atau dalam bahasa Festinger disebut dengan dissonansi kognitif, terjadilah gangguan dalam pola kehidupan masyarakat.
Mengacu pada teori dissonansi kognitif ini, kita melihat banyak informasi-informasi yang tidak konsisten dan bertentangan yang keluar dari pemerintah. Pada awal awal Covid-19 berkembang, kebijakan penggunaan masker yang telah diumumkan sejak awal, tiba-tiba muncul informasi bahwa masker hanya perlu dipakai untuk penderita. Beberapa hari kemudian, keluar instruksi baru, setiap orang harus menggunakan masker ketika keluar rumah dan harus menjaga jarak.
Namun kebijakan itu tidak konsisten dijalankan. Pada kota-kota yang telah terjangkiti pandemi Covid-19 memang aturan-aturan itu dicoba untuk diterapkan. Namun untuk kota kota lain yang angka pandemi yang belum tinggi, konsistensi penerapan aturan tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Ini misalnya untuk provinsi Sumatera Utara, ketidak konsistenan penerapan aturan itu terjadi dalam kehidupan sehari, menyebabkan jumlah korban Covid-19 di provinsi ini terus bertambah. Sehingga saat ini Sumatera Utara masuk dalam delapan besar provinsi yang tingkat penderita Covid-19 semakin tinggi. Sampai saat ini kita tidak pernah mendengar adanya pasar (pajak) yang ada di Sumatera Utara harus ditutup, karena pedagang atau pengunjung reaktif. Mungkin juga rapid test belum pernah dilakukan di pasar pasar tersebut.
Sama halnya dengan pengambilan paksa jenazah yang dianggap korban Covid-19 oleh keluarga korban. Ini juga terjadi karena ketidak konsistenan informasi yang beredar di masyarakat selain juga hasil test swab yang terlambat tiba. Dalam pandangan banyak kelompok masyarakat, penentuan jenazah korban Covid-19 itu hanya rekayasa rumah sakit untuk keuntungan rumah sakit. Hal ini juga ditanyakan anggota DPR RI Said Abdullah dalam rapat dengar pendapat dengan Menteri Kesehatan.
Sementara untuk hasil test swab yang terlambat datang, itu menunjukkan ketidak konsistenan informasi. Seseorang yang telah dikubur dengan protokol Covid-19, tiba-tiba hasil test swabnya negatifl. Sehingga wajar kalau tiba-tiba ada sekelompok masyarakat yang beranggapan bahwa keluarganya yang meninggal bukan karena Covid-19, melainkan karena penyakit lain.
Ketidak konsistenan informasi seperti yang dikatakan oleh Festinger itu, seharusnya tidak terjadi paling tidak diminamalisir. Sehingga adanya kekonsistenan informasi akan mengurangi dissonansi kognitif, sekaligus akan membuat masyarakat semakin sadar akan bahaya Covid-19 tersebut.
Semoga saja tidak terjadi