Rocky Gerung; Sosok Reinkarnasi Socrates Indonesia
Oleh Ibrahim Gultom
Dalam sejarah manusia di permukaan bumi ini selalu saja Allah SWT menciptakan manusia yang terbaik sesuai dengan penggalan sejarahnya masing-masing. Ada yang disebut nabi, rasul dan sejumlah sebutan nama pemimpin atau kepala suku yang bertugas untuk memberikan pencerahan kepada manusia di masanya.
Demikian juga pada jaman primitif, Allah menciptakan insan pilihan yang memiliki kelebihan berupa pengetahuan khas yang sama sekali tak dimiliki orang lain. Misalnya, orang pintar (dukun) yang punya kelebihan dalam memberikan pengobatan kepada orang sakit. Demikian juga seorang dukun beranak yang memberikan pertolongan persalinan terhadap ibu yang mau melahirkan. Maklum, domain sains belum begitu familiar berbicara pada masa itu.
Jika belakangan ini muncul yang bernama Rocky Gerung di tengah kegelapan dan kekacauan politik Indonesia di era Jokowi, bisa saja ia dapat disamakan dengan manusia pilihan seperti masa primitif dahulu. Tentu perannya kini bukan lagi mengobati penyakit jiwa dan fisik melainkan meluruskan jalan politik penguasa khususnya mengobati penyakit demokrasi. Oleh karena itu boleh juga Rocky Gerung dijuluki sebagai dukun politik selain filosof kontemporer sekaligus sebagai reinkarnasi dari seorang filosof Yunani kuno yang bernama Socrates yang
hidup pada tahun 470-399 SM.
Socrates adalah peletak dasar sekaligus si pemberi rangsangan ke arah keingintahuan manusia tentang pengetahuan terutama hakekat kehidupan. Ketika ia mengalihkan pemikiran filsafatnya dari filsafat alam ke filsafat manusia khususnya etika, moral, sosial dan politik, ia mengkritik kaum sofis semasanya yang kerap mengajarkan sesuatu yang mengikuti kehendak penguasa. Ia muak terhadap kesombongan yang dipertontonkan oleh orang yang merasa memiliki pengetahuan segalanya, tak terkecuali penguasa. Bagi Socrates – meminjam kata Protogoras – perbuatan yang tak disertai dengan pengetahuan akan menghasilkan kebodohan yang nantinya akan melahirkan tindakan-tindakan kejahatan.
Sayangnya, Socrates memunculkan lompatan pemikiran yang menolak keberadaan dewa atau Tuhan yang pada saat itu diakui oleh Negara. Ia juga salah satu tokoh Yunani yang memberantas kepercayaan terhadap mitos. Akhirnya, ia pun dimusuhi kaum agamawan karena dianggap merusak dan menyesatkan moral para pemuda pada masa itu. Akibat dari pemikirannya yang kritis itu ia ditangkap, dipenjara dan dihukum mati dengan cara meminum racun.
Antara Rocky Gerung dan Socrates adalah dua sosok yang serupa tapi tidak sama. Berbeda tapi tidak begitu jauh berbeda. Pertama, keserupaan keduanya sama-sama mengkritik kebijakan penguasa beserta antek- anteknya di masanya masing-masing. Jika Socrates mengkritik kaum sofis yang menjadi cecunguk penguasa karena kerap menjual kebenaran demi sesuap nasi alias uang, maka Rocky Gerung juga membuat perlawanan moral – meski dianggap tak bermoral menurut sekelompok orang tertentu – terhadap situasi politik dan kebijakan yang dianggapnya tidak pro rakyat di negerinya.
Sedang perbedaan kedua adalah terletak pada basis moral perjuangannya. Jika Socrates melulu mengandalkan moral akalnya dengan menafikan keberadaan Tuhan sebagai basis moral utama, maka berbeda dengan Rocky Gerung yang mengusung moral akal sehat seraya membuka pintu kesediaan dirinya dipimpin oleh ajaran agama. Terlepas apa agama Rocky Gerung, yang jelas acap kali inti ceramahnya dihiasi proposisi atau dalil yang bersumber dari kitab suci terutama Al-qur’an yang dijadikan sebagai penguatan untuk membenarkan tema sentral ceramahnya.
Mengapa seorang Rocky Gerung yang konon bukan muslim bisa mengutip kitab suci Al-Qur’an yang notabene bukan kitab yang diyakininya? Inilah sebuah fenomena keberagamaan yang sejak dahulu sudah sering terjadi. Fenomena seperti ini disebut passing-over yakni mengamalkan ajaran agama tertentu melintas batas agama yang diyakininya. Bisa saja Rocky Gerung sedang dalam pengembaraan iman seraya mencicipi betapa nikmatnya
ajaran agama lain meski belum melepas agama atau kepercayaannya yang sekarang. Atau bisa juga agama yang dianutnya belum mampu menjawab permasalahan hidupnya terutama menjawab kegalauan batinnya melihat ketidakwarasan dan kedzaliman yang terjadi di sekitarnya. Momen peristiwa passing-over sifatnya lebih situasional alias sementara dan bukan permanen karena akan coming-back atau kembali kepada sarang agama yang dianutnya.
Meski dalam situasi pengembaraan iman, namun seorang Rocky Gerung telah mampu menerjemahkan pesan moral kitab suci dalam dakwah politiknya melebihi kemampuan sebahagian ulama. Bahkan lebih dari itu mengamalkan substansi sebuah hadist yang berbunyi “Qulil haqqo walau kaana murroo” (Sampaikan kebenaran sekalipun itu pahit).
Jika selama ini Rocky Gerung kerap mengkritik rejim penguasa dengan menggunakan diksi dungu dan kata yang pedas lainnya tentu hal yang wajar saja. Itulah ciri yang melekat pada semua filosof di dunia setiap kali kemungkaran diperhadapkan kepadanya. Tidak ada kritik yang tidak berbau menghina lebih-lebih di alam demokrasi. Di mana ada demokrasi di situ ada oposisi. Sebaliknya tidak ada pujian yang tidak berbau sanjungan kepada majikan meski kadang terpaksa mendustakan kata hati-nuraninya.
Sampai di sini, Rocky Gerung seolah sudah tau kata-kata mutiara dari Imam Ibnu Abdil Bar yang berbunyi: “Orang yang dungu adalah orang yang marah terhadap kebenaran, sedangkan orang yang berakal sehat lagi waras adalah orang marah terhadap kebatilan”. Sipirit inilah yang membuat Rocky Gerung istiqomah melontarkan kritik sekaligus merecoki pikiran rezim
penguasa agar jangan ada dusta dalam mengelola Negara dan agar kebijakannya tetap berpihak pada kepentingan rakyat dan bukan kepentingan oligarki. Oleh karena itu, perbuatan kritik adalah sah-sah saja. Jikapun terjadi kesilafan atau kesalahan dalam mengkritik, tentu itu bukan pada wilayah pidana melainkan etika. Kritik yang argumentatif adalah salah satu ciri moralitas seorang akademisi di samping berpegang teguh
pada kejujuran.
Petinggi negeri inilah sebenarnya yang menggiring persoalan etika menjadi ranah pidana dengan alasan Undang-Undang ITE. Itulah akibat produk politik hukum yang memudahkan orang terjerat pidana. Jika terjadi politisasi produk hukum terus menerus, bukan tidak mungkin dalam bidang estetika (keindahan) pun akan menjadi sasaran pidana selanjutnya. Misalnya, menyebut orang berparas jelek saja pun kelak suatu ketika mungkin akan masuk penjara.
Meski Rocky Gerung menyandang profesor palsu secara administrasi, namun ia melebihi profesor asli yang punya SK dan ijazah. Pradoks dengan orang yang konon kabarnya berijazah asli tetapi pemikirannya palsu dan hoaks. Biarlah Rocky Gerung bertindak sebagai parlemen jalanan di tengah kemandulan parlemen aslinya dalam menjalankan fungsinya. Suara seorang Rocky Gerung telah terbukti sebagai perpanjangan tangan rakyat melampaui jumlah suara parlemen yang ada di Senayan sana guna mengawal demokrasi dan membela kepentingan rakyat.
Semoga Rocky Gerung tidak berlama-lama lagi dalam pengembaraan iman dan segera mendapat hidayah dari Allah agar akalnya tetap disinari kemuliaan berpikir serta lebih kuat menyuarakan kebenaran dan membela rakyat yang terdzalimi. Namun perlu diingat –mengutip seorang ulama tersohor – yang menyebut:” secerdas apapun akal jika akal tidak mengikuti syariat maka tidak tersisa baginya selain hawa nafsu atau syahwat. Epilognya adalah:”Entakkanlah langkahmu dengan ucapan in nomine Dei “ (bismillah, atas nama Tuhan) untuk mengenal Allah yang lebih jauh dan hakiki sekaligus memperoleh husnul khotimah pada nafas yang terakhir di waktunya.
Penulis, Prof Ibrahim Gultom, Guru besar UNIMED dan dosen Pascasarjana UMSU