Oleh Muhammad Qorib
Pilkada serentak beberapa saat kedepan segera digelar. Namun perdebatan tentang pelaksanaannya semakin meruncing. Ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU turun gunung menyeru agar pilkada diundur. Alasan kedua Ormas itu rasional. Situasi belum aman. Dikhawatirkan pilkada akan menjadi cluster dan bom covid-19 baru.
Selain itu, masing-masing pasangan mulai berkampanye secara masif. Di arus atas, relasi antar calon peserta pilkada sesunggungnya biasa saja dan jarang menimbulkan ketegangan.
Justru ketegangan muncul di tengah para pendukung. Pada batas-batas tertentu hal tersebut merupakan sebuah kewajaran. Namun jika isu-isu yang diusung oleh para pendukung memasuki wilayah pribadi dan bersifat subjektif, disinilah kemudian persoalan timbul.
Sebab itulah, pilkada sebagai bagian dari sebuah pesta demokrasi mesti dilandasi dengan sikap beradab. Saling menghormati dan menjunjung tinggi perbedaan.
Pilkada bersifat instan dan temporer. Sementara persaudaraan bersifat abadi. Jangan sampai pilkada menjadi segala-galanya. Apalagi dengan mengorbankan indahnya persaudaraan.
Setelah pilkada, setiap pendukung secara perlahan bersifat cair. Boleh jadi mereka membentuk kekuatan baru. Begitulah tesis, anti tesis, dan sintesis terjadi sbg hal yang alamiah.
Jurus terampuh untuk mendulang dukungan bukan pada kelihaian menjatuhkan lawan. Namun menjual program strategis yang terkait langsung dengan hajat hidup Masyarakat banyak.
Tak jarang para pendukung adu mulut jika bertemu. Yang paling sering terjadi perang opini di media, terutama media sosial. Teman bisa menjadi lawan. Lawan bisa menjadi teman. Saudara bisa menjadi musuh. Musuh pada awalnya bisa menjadi saudara pada akhirnya.
Inilah logika sederhana dari sebuah narasi politik praktis.
Semestinya calon dan para pendukungnya terfokus pada persoalan mendasar yang dihadapi Masyarakat. Banyak yang bisa ditabulasi. Banjir, jalanan berlubang, sampah, lalu lintas yang semrawut, narkoba, korupsi, dan masih banyak lagi.
Deretan persoalan abadi itu dicarikan jalan keluarnya dan dijual kepada Masyarakat untuk menjadi piranti kampanye.
Sebagian tokoh agama tak ayal juga tertarik dengan pesta demokrasi ini. Mungkin karena tanggung jawab moral atau motivasi lain. Kehadiran mereka diyakini sebagai vote getter. Jumlah jamaah yang besar dapat diarahkan mendukung calon tertentu.
Meskipun tak selalu demikian. Karena jamaah semakin cerdas dalam memilih. Jika salah kelola, bisa-bisa jamaah akan meninggalkannya.
Sebab itulah, para tokoh agama perlu mawas diri dan sadar dengan predikatnya. Mereka merupakan panutan umat. Tempat dimana umat mengadu dan meluahkan berbagai persoalan.
Selain itu juga, fungsi rumah ibadah perlu dinetralkan. Rumah ibadah merupakan area yang disucikan, nir golongan dan warna politik. Diharapkan tidak muncul subuh politik, jumat politik, pengajian politik dan seterusnya.
Menuju pesta demokrasi yang berkeadaban adalah tugas semua elemen Masyarakat. Bukan menjadi tugas elemen tertentu saja.
Menjadikan pilkada sebagai wadah adu program dan mengupas tuntas kebutuhan Masyarakat akan jauh lebih baik ketimbang membahas beringas kekurangan setiap lawan politik. Semoga bermanfaat. (*)

