“Masyarakat Suka-Suka”
Oleh : Muhammad Qorib
Kakayaan di tengah kemiskinan. Tawa dan pestapora di tengah derita. Kerumunan di tengah corona. No masker, no jaga jarak, no cuci tangan. Tak mengapa mengancam nyawa. Corona semakin menggila. Masyarakat suka-suka tak risau hatinya.
Pandemi dapat disulap menjadi apa saja. Bisa sebagai musibah. Bisa sebagai konsumsi politik.
Bisa sebagai pintu korupsi. Bisa sebagai ember mengeruk keuntungan. Bisa sebagai amunisi kepentingan menjatuhkan lawan. Bisa sebagai rekayasa. Bisa sebagai cobaan Tuhan.
Di tangan masyarakat suka-suka, keanehan kian bertebaran. Seorang anak membunuh ibundanya. Ia masih tersenyum di depan kamera. Munculnya manusia yang dianggap keramat. Ucapannya diikuti dan dituruti. Padepokan spiritual ternyata wadah pelecehan seksual. Adalagi yang bisa menggandakan uang, menjadi pujaan banyak orang.
Namanya juga masyarakat suka-suka, apapun bisa diatur sesuai alat ukur. Urusan tak ditentukan benar salah, namun siapa yang berperkara. Anak tak sungkan memenjarakan orang tuanya. Sebelumnya mereka berperkara di pengadilan.
Orang gila bertambah cerdas membidik elemen ulama. Orang gila di tengah masyarakat suka-suka akrab dengan media, punya komputer, punya instagram, punya facebook, dan suka berselfi ria, berwajah ganteng pula. Namun sayang ia orang gila.
Orang kaya bisa menjadi dewa. Penguasa menjadi raja dengan segala fasilitas yang tersedia. Tokoh agama sering ditentukan oleh pakaiannya. Bukan oleh etika luhur yang dipraktikkannya. Ada juga yang zikirnya aku duduk dimana dan dapat apa.
Masyarakat suka-suka bersifat instan. Suka hasil menegasikan proses. Kemarin sore masih miskin hari ini sudah kaya raya. Kemarin pagi hidup di rumah sedehana, hari ini hidup di istana megah. Meskipun akhirnya harus mendekam di penjara.
Budaya masyarakat suka-suka juga masuk ke dunia pendidikan. Gelar bisa diperjualbelikan. Strata satu, strata dua, strata tiga, tergantung pesanannya. Itulah sebabnya gelar hampir kehilangan wibawa. Berteret panjang di belakang nama namun tak diikuti keahliannya.
Masyarakat suka-suka menjadikan kuburan sebagai arena perjudian. Partisipannya kaum yang rambutnya sudah beruban. Mereka asyik masyuk dengan membanting kartu domino. Kartu sakti yang melahirkan kecanduan dan dapat merubah takdir Tuhan.
Sungai dirubah menjadi tempat sampah. Fasilitas umum menjadi toilet tak berbayar. Media sosial menjadi ajang curhat. Dari masalah yang sangat pribadi sampai masalah di jantung kekuasaan negeri. Sumpah serapah, caci maki, menjadi hidangan yang membuat lambung pengetahuan kita semakin mual.
Lampu lalu lintas, diciptakan, bukan untuk dipatuhi dan dilaksanakan, namun untuk diabaikan. Selain itu untuk memenuhi administrasi perkotaan. Di tangah masyarakat suka-suka adalah hal yg wajar jika sign lampu kendaraan menyala di kiri namun berbelok ke kanan.
Boleh jadi kita hidup di tengah masyarakat suka-suka. Kita tak bisa lari dari fakta-fakta. Meskipun demikian, nurani harus tetap hidup. Rasio harus tetap matang. Jangan lelah menyampaikan kebenaran. Mari saling mengisi. Dengan cara elegan dan berperikemanusiaan. Menyuarakan kebaikan di tengah masyarakat suka-suka menjadi nilai tambah tersendiri dan kebajikan di depan Tuhan. Amin ya Rabb…