MANUSIA MAKHLUK TERBAIK
Oleh : Muhammad Junaidi, S.Pd., M.Pd.
Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an Surah At-Tiin (95) ayat 4 : Laqod kholaqnal insaana fii ahsani taqwiim.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Pernahkah kita menyadari bahwa di antara sekian banyak makhluk ciptaan Allah yang ada di jagat raya ini, kita adalah makhluk terbaik yang Allah hadirkan ke dunia ini.
Jika malaikat diciptakan Allah dengan dibekali akal tanpa nafsu, Sementara hewan/binatang diciptakan Allah dengan nafsu tanpa akal, Maka manusia diciptakan Allah dengan bekal yang komplit (sempurna), yaitu dilengkapi dengan akal dan nafsu.
Untuk memandu, mengarahkan dan membimbing akal dan nafsu kita, maka Allah menurunkan wahyu berupa kitab suci yaitu Al-Qur’an.
Husain Muzhahiri dalam bukunya berjudul “Awamil As-Saytharah ‘ala al-Gharaiz fi Hayat al-Insan”, menjelaskan bahwa secara eksistensial, manusia itu terdiri dari dua dimensi, yaitu (1) dimensi rohani dan (2) dimensi jasmani.
Di dalam dimensi rohani, ada beberapa komponen, seperti : akal, nurani, hati, iman, dan sebagainya. Dimensi ini disebut juga dengan dimensi al-malakuuti (kemalaikatan).
Sementara di dalam dimensi jasmani, ada beberapa komponen yang hampir sama dengan yang terdapat pada hewan/binatang, seperti insting (naluri), nafsu, syahwat, bergerak, dan sebagainya. Dimensi ini disebut juga dengan dimensi al-hayawaani (hewan).
Jika seseorang mampu meng-optimalkan dimensi rohani yang ada di dalam dirinya, serta dia mampu mengendalikan dimensi jasmaninya, maka dia bisa menjadi manusia yang lebih mulia dari malaikat. Sebaliknya, jika dimensi jasmaninya yang lebih dominan (condong) dan dimensi jasmaninya mampu mengalahkan bahkan menenggelamkan dimensi rohaninya, maka dia tidak menutup kemungkinan akan menjadi manusia yang lebih rendah, lebih parah dan lebih hina dari binatang/hewan.
Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik. Menurut Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Tafsir Al-Munir fil Aqidah wasy-Syari’ah wal manhaj, menjelaskan bahwa makna fii ahsani taqwiim adalah sebaik-baik rupa, sebagus-bagus bentuk, sesempurna-sempurna anggota tubuh, dengan susunan yang sudah tertata rapi dan seimbang. Ditambah lagi dengan ilmu, pemikiran, komunikasi, kepemimpinan dan kebijaksanaan, semakin menegaskan bahwa manusia itu layak menjadi khalifah di muka bumi ini.
Dari keterangan tersebut, jelaslah bahwa makhluk terbaik yang diciptakan Allah itu bernama manusia. Segala potensi, kekuatan, kehebatan, keistimewaan, kemuliaan ada pada diri dan selalu melingkupi manusia. Kemuliaan tersebut akan terus ada dan menyertai manusia, jika manusia itu mampu mempertahankan dan menjaganya melalui aktivitas mulia berupa peningkatan kualitas hubungan kepada Allah (hablum minallaah) dan hubungan kepada manusia (hablum minannaas). Atau dengan kata lain, kemuliaan manusia akan tetap terjaga dengan baik jika ibadah ritual dan ibadah sosial terjalin erat satu sama lain.
Sebaliknya, jika kualitas hubungan kepada Allah dan hubungan kepada manusia terabaikan, atau salah satunya terabaikan, maka kemuliaan yang sudah ada pada dirinya akan berganti dengan kehinaan. Keistimewaan yang melingkupinya akan berubah menjadi kerendahan.
Sebagaimana di dalam Al-Qur’an Surat At-Tiin ayat selanjutnya yaitu ayat 5 :
Tsumma rodadnaahu asfala saafiliin.
“Kemudian Kami kembalikan manusia itu ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).”
Ketika menasfirkan ayat ini, Syaikh Sayyid Quthub dalam kitabnya Fii Zhilalul Qur’an menjelaskan bahwa kondisi “serendah-rendahnya” kondisi asfala saafiliiin pada manusia itu terjadi ketika dia sudah menyimpang dari fitrah yang telah digariskan oleh Allah. Ketika manusia lebih memilih hawa nafsunya, meninggalkan ajaran agamanya, tidak mengindahkan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah, maka pada saat itulah posisinya jatuh pada tingkat yang serendah-rendahnya (asfala saafiliin). Bahkan, menurut Syaikh Sayyid Quthub, pada kondisi ini, binatang lebih tinggi derajatnya dari manusia, karena mereka tetap pada fitrah yang telah Allah tetapkan, yakni mereka tetap bertasbih kepada Allah. Sedangkan manusia yang diciptakan sebagai makhluk terbaik, malah menyimpang bahkan menentang aturan Allah. Na’uudzubillaah tsumma na’uudzubillaah.
Al-Qur’an memandu, mengarahkan dan membimbing manusia untuk tetap pada fitrahnya, sehingga selalu berada pada posisi sebagai predikat makhluk terbaik, yang dengan tetap memegang teguh keimanan, kemudian menyempurnakannya dengan amal sholih yang didukung dengan ke-istiqomah-an. Dengan cara seperti ini, maka manusia tetap akan berada pada posisi sebagai makhluk yang terbaik di antara seluruh makhluk ciptaan Allah yang ada di jagat raya ini. (***)
*** Penulis, Muhammad Junaidi SPd MPd, Sekretaris Majelis Tab