BERAKHIR DALAM KESENDIRIAN
Oleh Muhammad Qorib
Wakil Ketua PWM Sumut dan Dekan FAI UMSU
Sebagai homo socius, mahluk bermasyarakat, manusia tidak pernah bisa berpisah dari manusia yang lain. Eksistensinya senantiasa berada di tengah pusaran kebersamaan.
Jika ada manusia yang menjauh dari manusia lainnya, maka ia sedang berusaha merobek kesejatian dirinya. Dengan kata lain, ia mengkebiri sekaligus menggugat takdir Tuhan atas dirinya.
Munculnya predikat kaya dan miskin, alim dan awam, tua dan muda, menjadi indikasi kuat betapa hubungan saling mengisi terjadi secara alamiah. Predikat yang satu dilengkapi oleh yang lain.
Pandemi covid-19 membuktikan, bahwa manusia tidak kuat mengurung diri. Tersandra dalam kotak isolasi yang mencekam. Jasmani terpenuhi, namun ruhani menjadi kering. Jiwanya meronta untuk hidup dalam mata rantai interaksi.
Pandemi covid-19 menyebabkan generasi usia sekolah kehilangan momen kebahagiaan bersama teman-temannya. Belajar dan bermain bersama tidak dapat dilakukan, kecuali sedikit sekali dan terpaksa.
Mereka dibelenggu oleh keadaan untuk menjadi komunitas virtual. Padahal kebersamaan memupuk mereka untuk menjadi manusia yang paham dengan arti pentingnya kehadiran orang lain.
Saling mengunjungi, saling memberi, saling memahami, menjadi sebuah piranti ampuh untuk membuat manusia menjadi kuat jasmani dan ruhani. Deretan aktifitas tersebut adalah kebutuhan mendasar yang tak dapat dihindari.
Jika ditelusuri siklus perjalanan hidup manusia, maka kesendirian menjadi muara dari berbagai kebersamaan. Meskipun sebagai mahluk sosial, pada akhirnya manusia akan memastikan dirinya sebagai mahluk individual.
Dalam konteks itu, tak ada lagi harta benda, tak ada lagi relasi, tak ada lagi sanjung puja dan puji, tak ada lagi tumpukan apresiasi. Tak dapat disangkal, manusia memang hidup dalam kebersamaan, namun berakhir dalam kesendirian.
Para pencinta dan yang dicintai, masing-masing menempuh jalannya sendiri-sendiri. Suami dan istri, anak dan orang tua, kekasih dan yang dikasihi, pemuja dan yang dipuja, tak ada dalam ruang kebersamaan yang abadi. Semua bersifat sementara. Mereka akan berpisah dan sendiri pada waktunya.
Karena itulah, canda dan tawa maupun momen kebersamaan yang menjadi kebutuhan manusia, hendaklah diletakkan secara arif dalam bingkai kebajikan. Sehingga aktifitas tersebut bernilai ibadah dan berdimensi duniawi dan ukhrowi.
Bukan canda dan tawa yang justru memperkuat manusia sebagai mahluk rendahan. Apalagi menyebabkan manusia kehilangan harga diri. Momen kebersamaan itu diniatkan sebagai investasi kebajikan yang senantiasa membersamai manusia dalam keabadian.
Nasehat Rasulullah menjadi dian yang pernah padam untuk direnungi. Tiga hal yang senantiasa dibawa manusia di dalam kesendiriannya, yaitu: amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan doa dari anak yang shalih.
Dengan demikian, kebersamaan semu dengan asesoris yang merugikan harus diwaspadai. Hal itu bukan saja menjadi malaikat maut yang mengerikan. Ia juga ibarat sebilah pedang yang siap menebas manusia dalam kesendiriannya jika masanya telah tiba.
Meskipun manusia ditakdirkan Tuhan sebagai mahluk sosial, tidak bisa terpisah dari lingkungan sekitarnya, namun lingkungan itu mestinya menjadi taman ketakwaan. Yaitu taman yang elok dan indah, serta berguna bagi manusia dalam kesendiriannya nanti.
Semoga bermanfaat. Amin.