Kenapa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Merosot ?
Oleh: Busyro Muqoddas,
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis Transparansi Internasional (TI) menunjukkan posisi Indonesia merosot di tahun 2020 dibandingkan tahun 2019. Saya memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada rekan-rekan di TI yang berani mengungkap problem nyata bangsa kita ini. Bagi saya keberanian ini juga menunjukkan bahwa elemen masyarakat sipil yang memiliki kepedulian dan sense of belonging masih ada. Mungkin itu suatu ekspresi perasaan anak bangsa yang mecintai negeri dalam pengertian yang lebih bertanggungjawab. Sekarang semestinya pemerintah dan DPR-RI semakin peka atau berusaha peka merespon pada apa yang telah diungkap dalam laporan tersebut. Sebab, Indeks Persepsi Korupsi versi TI yang turun 3 (tiga) derajat atau tiga poin itu menunjukkan bahaya yang sedang mengancam negara kita.
Tantangan yang kita hadapi sekarang adalah bagaimana menafsirkan kemerosotan IPK Indonesia tersebut secara jujur. Sebagai salah satu orang yang berpuluh-puluh tahun berhidmat dalam isu pemberantasan korupsi bersama-sama dengan rekan-rekan yang lain, kami kecewa bahwa baru kali ini IPK Indonesia turun 3 derajat. Dan setelah kita membalik-balik dokumen yang ada yang terkait dengan semua ini. Kami sampai pada beberapa tafsir kritis. Dalam konteks pemerintahan Presiden Jokowi Widodo, terdapat beragam faktor yang menjadi penyebab kemerosotan IPK.
Pelemahan dan Problem Independensi KPK
Bagaimana memahami kemerosotan Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia? Pertama, mari kita kembali pada janji kampanye presiden Joko Widodo untuk penguatan agenda pemberantasan korupsi dalam kampanye Pemilu 2014 dan 2019. Sebagaimana yang kita ketahui, ia tidak menunaikannya seperti yang kita harapkan. Alih-alih memperkuat, berdasarkan banyak analisis pakar lintas disiplin keilmuan (hukum tata negara, politik hingga analisis ekonomi), Revisi UU KPK pada tahun 2019 yang diinisiasi oleh pemerintah merupakan tindakan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal dalam janji kampanye tersebut, presiden Joko Widodo berjanji akan memperkuat KPK. Masalahnya menjadi semakin tidak sederhana. Begitu Undang-Undang KPK sudah direvisi, dampak langsung pada KPK dalam pemberantasan korupsi langsung terasa. Dampak struktural pertama adalah keterlibatan sembilan Jenderal aktif kepolisian di KPK. Baru kali ini ada sembilan Jenderal yang aktif di struktural mendapat posisi di KPK. Dampak struktural kedua adalah tidak akan lama lagi status pegawai KPK akan berubah menjadi aparat sipil negara (ASN). Bagi banyak pakar, dua tanda ini adalah alarm bagi independensi KPK.
Dalam undang-undang KPK yang lama (sebelum direvisi), lembaga ini dinyatakan sebagai “organisasi independen” di bidang penegakan hukum pemberantasan korupsi. Kini kata “independen” sudah dihapus. Baru terjadi pada era Presiden Joko Widodo dan DPR sekarang. Dengan lemahnya lembaga KPK itu, para koruptor itu berjingkrak-jingkrak. Koruptor bersukaria karena tidak ada lembaga yang berwibawa karena karakter independen seperti sebelumnya. Kini ada empat menteri di jajaran Presiden Jokowi tersangkut kasus korupsi. Pada periode pertama presiden Jokowi, satu Menpora dari PKB dan satu Menteri Sosial yaitu Idrus Marham dari Golkar tersangkut kasus korupsi. Pada periode kedua presiden Jokowi terdapat dua Menteri, Menteri Kelautan dan Perikanan dari Gerindra dan Menteri Sosial dari PDIP sebagai partai pemenang Pemilu yang menguasai DPR.
Pada periode saya di KPK (tentu saja masih dengan undang-undang yang lama) hubungan kami dengan pemerintah bersifat proporsional. Tidak terlalu dekat tapi juga tidak terlalu jauh. Misalnya kami bertemu presiden hanya untuk urusan kenegaraan dan benar-benar penting saja. Sekarang, setelah revisi UU KPK, organisasi ini menjadi bagian dari eksekutif. Secara psikologis, sulit berbeda pendapat dengan presiden. Dalam budaya politik, jelas semakin berkarakter feodalistik dan despotik.
Pemberantasan Korupsi: Tawaran Alternatif
Politik adalah salah satu biang utama kasus korupsi. Dalam konteks ini, politik mencakup keterbukaan peluang korupsi melalui instrumen dan institusi demokrasi yakni undang-undang pemilu/pilkada dan partai politik. Misalnya Undang-Undang Pemilu. Berdasarkan banyak analisis, dalam Undang-Undang Pemilu nomor 7 tahun 2018, peluang “korupsi demokrasi” terbuka lebar. Apa yang saya maksud dengan “korupsi demokrasi” mencakup praktik membajak demokrasi melalui praktik koruptif. Jual beli suara (vote buying), pemanfaatan kekuasaan untuk meningkatkan pamor keterpilihan kandidat, hingga patronase dan klientelisme dalam pendanaan partai. Korupsi demokrasi menghasilkan demokrasi transaksional. Dan demokrasi transaksional menciptakan sistem pilkada dan pemilu yang juga bermasalah, bahkan dalam lanskap nasional.
Maka tidak terelakkan lagi, korupsi dalam bidang politik berpengaruh pada kemerosotan indeks persepsi korupsi Indonesia. Tapi justru dari analisis ini kita memahami aspek pertama yang perlu diselesaikan. Selalu ada celah untuk mengubah kondisi yang mencemaskan ini. Syaratnya antara lain, pertama, mengubah undang-undang partai politik. Kita dorong supaya pimpinan partai mau mempelopori perubahan. Kita lihat apakah mereka berkomitmen untuk mendanai kampanye secara bersih atau tidak. Apakah mereka mau meninggalkan sistem lama yang sebetulnya tidak menguntungkan agenda demokrasi yang mereka usung (dan jelas lebih menguntungkan bagi mereka). Kedua, merombak undang-undang pemilu. Ketiga, merombak undang-undang pilkada. Perbaikan pada tiga undang-undang tadi akan berdampak luas pada agenda pemberantasan korupsi.
Semua ini mau tidak mau pada akhirnya juga berhubungan dengan komitmen dan keseriusan presiden Joko Widodo selaku pimpinan negara memperbaiki situasi. Kemerosotan IPK Indonesia menunjukkan realitas politik dan ancaman atas demokrasi. Setiap entitas masyarakat sipil bertanggungjawab mengingatkan pemerintah untuk kembali pada agenda pemberantasan korupsi. Martabat bangsa sangat dipertaruhkan. Kepada Tuhan yang Maha Esa kita memohon supaya membuka hati para pimpinan negara agar kembali kepada cita-cita awal yaitu negeri yang bermartabat-berdaulat dan rakyat yang dilindungi hak-haknya oleh negara. (suara muhammadiyah)