Kota Dengan Seribu Kutipan
Oleh : Ibrahim Nainggolan
Judul di atas sebenarnya sebagai ekspresi kekesalan jika amarah dikawatirkan dimaknai negatif. Betapa tidak! Saat membaca berita terbitan infoMU tanggal 25 Agustus 2020 yang berjudul “Di Medan, Ziarah pun di palak” setelah dibaca lebih lengkap ternyata terkait perilaku orang-orang tertentu yang mengutip uang kepada para peziarah yang datang ke kuburan Simalingkar.
Persoalan kutip mengutip sesungguhnya bukan berita baru dan bukan juga tidak diketahui oleh penguasa kota. Seakan kutip mengutip bukan lagi dianggap sebagai pelanggaran hukum, penguasa kota seakan tidak berdaya untuk menertibkan tindakan pungutan liar (pungli). Belum ada yang dapat memastikan mengapa kutip mengutip atau pungli ini masih terus berlangsur subur, apakah karena ketidak berdayaan pemerintah kota atau memang pemerintah kota tutup mata. Pertanyaannya sampai kapan praktik ilegal ini akan tetap tetap subur di kota para ketua. Siap ketua!
Kota Seribu Kutipan (Pungli?)
Dikota Semarang jawa tengah ada cagar budaya yang bernama lawang sewu, yang berarti seribu pintu, pada masa Pemerintahan Belanda merupakan pusat perusahaan kereta api swasta yang pertama kali membangun jalur kereta api di Indonesia. Di kota Tangerang ada Masjid Agung Nurul Yaqin sebagai ikon kota yang telah berdiri lebih tua dari kota Tangerang dikenal sebagai Masjid seribu pintu. Banjarmasin kota yang berada di Provinsi Kalimantan Selatan dijuluki sebagai kota seribu sungai karena memiliki banyaknya sungai-sungai. Lawang sewu di semarang, masjid seribu pintu di Tangerang sampai dengan kota seribu sungai di Kalimantan Selatan dan julukan seribu lainnya semua konotasinya adalah positif sangat berbanding terbalik dengan kota Medan
Ketika berada di kota Medan dalam pengamatan atau pengalaman kita sebagai warga kota sudut mana dari kota ini yang tidak ada pungutan.
Pungutan yang ketegori resmi saja adakalanya dilapangan nominalnya lebih besar dari yang tertera bahkan lebih banyak yang tidak memberikan tanda bukti kutipan. Ketika kita berbelanja, makan diwarung, singgah diperkantoran pemerintah, swasta atau memarkirkan kenderaan dipinggir jalan saat kenderaan anda menyala maka seketika akan muncul sosok yang akan mengutip bayaran. Sudah mahpum lebih baik membayar dari pada akhirnya menaikkan tensi darah atau bahkan justru dapat mengancam keselamatan.
Ketika memasuki tempat-tempat wisata, dipintu masuk paling depan sudah ada kutipan mungkin resmi karena kadang ada tandanya tapi lebih banyak tidak. Pada saat memasuki tempat yang dituju masih harus membayar dengan alasan yang sukar diterima namun lebih tidak mau berdebat saja. Jika ada warga yang sedang membangun rumah atau sekedar merenovasi, akan datang berlagak “petugas” untuk meminta “uang keamanan”, hari besar keagamaan akan ada permintaan dengan dalih berbagi dihari bahagia. Menjelang hari besar keagamaan yang akan melaksanakan jiarah kubur tidak juga bebas dari berbagai kutipan. Nilai kemanusiaan, solidaritas dan empati seakan sudah hilang dari diri kita sehingga semua dihitung dari materi sekalipun disaat berduka.
Supir pengangkut yang berisi muatan barang juga tidak lepas dari sasaran kutipan dengan dalih telah memasuki kawasan “mereka” sehingga harus meninggalkan setoran. Rasanya kalau diurai berbagai aktifitas warga kota yang tidak luput dari kutipan, jumlahnya bisa persis seribu wajah kutipan yang ada di kota ini, tapi siapa peduli. Jika kutipan ini dibiarkan dan tidak ada niat untuk memberantasnya, maka dampaknya bisa sangat komplit. Secara keamanan sangat potensial menimbulkan kerawanan gangguan keamanan karena rebutan lahan kutipan, secara ekonomi meningkatkan harga karena kutipan menjadi kompenan distribusi yang dibebankan kepada konsumen, dari sisi pemerintahan kota menghilangkan kewibawaan pemerintah. Semakin tidak jelas siapa yang akan menjadi pelindung rakyat saat ada kutipan justru pemerintahnya tidak berdaya.
Budaya Permisif
Penduduk Indonesia oleh masyarakat di dunia dikenal sebagai orang yang ramah, peduli, murah senyum, ewu pakewuh dan permisif. Budaya permisif satu sisi memang positif, tetapi ibarat pisau ia bermata dua disatu sisi sangat toleran tapi disisi lain toleran yang sangat terbuka hingga membolehkan segalanya menjadi berdampak negatif. Dalam kaitan praktik kutipan ilegal yang disebut pungli tidak memiliki dasar hukum karena budaya permisif akhirnya pungli menjadi biasa dan tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran hukum. Tidak hanya masyarakat pemerintah kotapun seakan mengganggap pungli adalah sesuatu yang lumrah dan bukan sebuah kejahatan. Lalu sampai kapan sebenarnya kutipan ini dapat diberantas, lalu siapa yang harus memberantas, sepertinya sudah harus ada keseriusan dari semua pihak terutama pemerintah kota.
Kutipan Dalam Pandangan Hukum
Melakukan kutipan di Pemerintahan Kota dapat didasarkan pada Peraturan daerah (Perda), bentuknya bisa berupa retribusi sehingga secara hukum sah dan peruntukannya dikembalikan dalam bentuk bagi kesejahteraan masyarakat. Ada juga kutipan yang dilakukan tetapi tidak didasarkan aturan hukum yang jelas disebut dengan pungutan liar (pungli). Kutipan yang sah jika cara penarikannya tidak prosedural dapat jatuh pada tindakan pelanggaran hukum, sehingga seluruh kutipan yang sah secara hukum harus memiliki dasar hukum, besarannya, cara pengutipan, penyetoran, pemanfaatan, bahkan sampai pertanggungjawabannya. Kutipan yang diidentifikasi sebagai kutipan ilegal karena tidak memiliki sandaran hukum, pengutipannya tidak dilakukan oleh petugas resmi, besarannya sangat tidak pasti, tidak jelas siapa yang bertanggungjawab, dan tidak ada pertanggungjawabannya.
Pungutan liar sebagai perbuatan pelanggaran hukum digolongkan sebagai perbuatan pidana yang mendapat ancaman pemenjaraan, pada Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditegaskan barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, yang semuanya atau sebahagian adalah kepunyaan orang lain atau usaha untuk memberikan hutang maupun menghapuskan hutang piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Saatnya semua pihak harus menjadikan pungli sebagai musuh bersama, agar tidak ada lagi, dalam suasana dukapun masih dikutip bayaran, seakan merupakan warga negara yang menumpang sehingga sekehendak hati orang tertentu memungut yang tidak memiliki dasar hukum.
Penulis, Ibrahim Nainggolan
Dosen FH UMSU/Ketua LAPK