Puasa Anggaran, Mudahkan Negara Bertaqwa
Oleh Dr. Salman Nasution, SE.I.,MA
Efisiensi Anggaran adalah cara pemerintah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumi Raka dalam menciptakan program pemerintah yang adil dan makmur. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, efiensi yaitu:
(1) ketepatan cara dalam menjalankan sesuatu dengan tidak membuang waktu, tenaga, biaya; kedayagunaan; ketepatgunaan; kesangkilan,
(2) kemampuan menjalankan tugas dengan baik dan tepat, dengan tidak membuang waktu, tenaga, biaya. Jika
merujuk pada anggaran, tentunya efisiensi anggaran menjadi arah program pemerintah dengan benar melalui proses perencanaan, pelaksanaan dan hasil pelaksanaan.
Dalam beberapa kalimat, kata efisiensi selalu dihubungkan dengan kata efektif menjadi efektif dan efesiensi, misalnya disebutkan dalam link Kementerian Keuangan RI yaitu Pengelolaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang efektif dan efisien merupakan salah satu kunci kesuksesan dalam pembangunan suatu negara. Ada beberapa pertanyaan yang dibahas dalam tulisan ini diantaranya:
(1) apakah pemerintah memiliki uang (APBN) yang surplus atau defisit sehingga diperlukan efisiensi?
(2) kenapa pemerintah membuat kebijakan efisiensi anggaran?
(3) bagaimana menjalankan kebijakan efisiensi anggaran melalui program kesejahteraan?
Pertanyaan di atas menjadi fokus penulis dalam mengimbangi program-program pemerintah dalam menggunakan anggaran yang efisien. Diawali dengan pertanyaan pertama terkait dengan kepemilikan uang, jika merujuk dari beberapa tahun pemerintah 5 (lima) tahun sebelumnya dan kondisi keuangan negara yaitu mengalami fluktuasi pada lingkaran defisit, diantaranya pada tahun 2020 mengalami defisit anggaran sebesar 6,14% dari PDB atau Rp947,7 triliun. Pada tahun 2021 mengalami defisit APBN sebesar Rp 783,7 triliun atau
4,65% dari PDB.
Selanjutnya pada tahun 2022, APBN Indonesia mengalami dinamika antara surplus dan defisit, namun APBN 2022 ditutup dengan kondisi defisit, yaitu per 14 Desember 2022, defisit APBN meningkat menjadi Rp237,7 triliun, setara dengan 1,22% dari PDB. Pada tahun 2023, APBN mengalami defisit sebesar Rp347,6 triliun, yang setara dengan 1,65% dari PDB. Dan pada tahun 2024, APBN mengalami defisit sebesar Rp507,8 triliun, yang setara
dengan 2,29% dari PDB.
Pada pertanyaan kedua yaitu terkait dengan kebijakan efisiensi anggaran. Jika merujuk pada beberapa APBN pada 5 (lima) tahun belakangan, terlihat jelas bahwa APBN yang selama ini berjalan dengan program pemerintah tidak terlepas dari dukungan utang untuk menutupi anggaran yang defisit. Terdata juga pada 5 (tahun) sebelumnya, yaitu Pada tahun 2020, utang pemerintah Indonesia mencapai Rp. 6.074,5 triliun. Rasio utang terhadap PDB pada tahun 2020 mencapai 39,43%. Pada tahun 2021, utang pemerintah Indonesia kembali
meningkat dengan total utang per Desember 2021: Rp. 6.908,87 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 41%.
Pada akhir tahun 2022, posisi utang pemerintah Indonesia mencapai Rp7.733,99 triliun, dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,57%. Pada tahun 2023, utang pemerintah Indonesia mengalami peningkatan dalam nilai nominal dengan total utang Rp. 8.144,69 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 38,59%. Dan pada akhir tahun 2024, utang pemerintah Indonesia mengalami peningkatan dengan total utang per November 2024 Rp. 8.680,13 triliun Rasio Utang terhadap PDB hampir mencapai 40%.
Kedua pertanyaan dengan berbagai jawaban data, terlihat jelas bahwa perekonomian Indonesia banyak diperankan dari utang yang dilakukan pemerintah dalam hal ini pak Joko Widodo, namun penulis tidak menafikan bahwa utang pemerintah dimasa-masa sebelum kepemimpinan Joko Widodo juga melakukan hal yang sama (utang), antara budaya atau yang seharusnya (cendrung kebanyakan, mungkin wajib) tentu menjadi kebijakan pemerintah untuk melakukan utang guna mendukung program-program pemerintah. Jika merujuk pada konteks efisiensi anggaran, utang menjadi kebijakan pemerintah dalam menjalankan program dalam upaya untuk memanfaatkan sumber daya atau dana yang tersedia secara optimal agar dapat mencapai hasil maksimal dengan biaya minus.
Diperlukan data yang pasti, sebenarnya pemerintah melakukan efisiensi anggaran karena ketersediaan anggaran yang surplus, anggaran yang defisit atau menggunakan anggaran yang tersedia tanpa ada lagi utang. Penggunaan anggaran yang tersedia, surplus dan defisit harus dijawab guna memastikan bahwa pelaksanaan anggaran nasional dimasa kepemimpinan Prabowo dan Gibran berjalan untuk kesejahteraan rakyat. Jika merujuk pada pemerintahan sebelumnya yang cendrung defisit, maka ada beberapa metode pelaksanaan anggaran yang umum seharusnya dilakukan, seperti John Maynard Keynes (Teori Keynesian), Milton Friedman (Teori Monetarisme), dan Richard Musgrave (Teori Keuangan Publik). Jika dilihat dari proses efisiensi anggaran pemerintah, sepertinya kebijakan Prabowo cendrung pada metode Teori Keuangan Publik yang melakukan efisiensi anggaran melalui mengatur fungsi alokasi anggaran, distribusi anggaran, dan stabilisasi dari anggaran negara.
Berbicara terkait kebijakan, teringat dengan Trump dengan liberalisasi kebijakannya, ternyata presiden Amerika Serikat juga melakukan ofensif massif untuk menjaga ekonomi nasional yang mendunia. Kebijakannya yang dianggap mengancam perekonomian negara maju di Eropa, menghadapi kekuatan ekonomi China, dan bersikap acuh (stop funded) pada lembaga-lembaga internasional seperti WHO, USAID, UNRWA dan lainnya yang merugikan
Amerika Serikat. Tentu menjadi kekhawatiran dan sikap preventif negara-negara lainnya untuk tetap mempertahankan kekuatan ekonomi dengan ancaman kebijakan Trump termasuk Indonesia. Libralisasi Trump bahkan terkesan radikal tidak terlepas dari keinginannya sebagai presiden dalam menguatkan kembali Amerika Serikat sebagai negara adidaya dengan slogannya we make America great again.
Tidak bedanya dengan Prabowo yang dianggap mengancam program-program kementerian (lembaga, badan setingkat Menteri) di bawahnya, program yang disertai dengan anggaran harus dipangkas, dalam bahasa pak Prabowo disebut istilah efisiensi anggaran dengan berbagai argumentasi anggaran yang tidak masuk akal, anggaran mubazir atau mengurangi anggaran yang tidak penting seperti kunjungan ke dalam dan luar negeri. Umum dalam RAB (rencana anggaran biaya) yang mencantumkan anggaran perjalanan, termasuk juga biaya konsumsi dan lainnya, namun jika hal ini dieksekusi tentu bagi mereka (jajaran kementerian di pusat dan di daerah) akan sering berada di kantor dan tidak memperoleh pendapatan dari hasil kunjungan yang sering diperoleh sebelumnya, bahasa umum disebut uang masuk.
Bagi penulis, jika anggaran negara tidak mampu untuk menjalankan program sebagaimana mestinya, maka anggaran harus dipuasakan. Arti puasa dalam konteks agama yaitu menahan dari segala yang membatalkan seperti (tidak) makan dan minum. Puasa anggaran yaitu menahan anggaran yang tidak bermanfaat sehingga batal atau tidak sah jika dijalankan. Puasa anggaran mengacu pada program prioritas pembangunan negara yang telah direncanakan pada tahun anggaran sebelumnya. Pemerintah mengeksekusi program yang tidak berjalan seperti pembangunan infrastruktur publik yang kokoh seperti sekolah dan rumah sakit, tempat ibadah dan fasilitas jalan yang kuat yang selama ini menjadi tuntutan masyarakat sebagai pengguna fasilitas. Tidak lagi melalui kunjungan atau studi banding ke luar negeri, tidak ada lagi seminar dan rapat kerja membahas program kerja yang menelan anggaran negara (puasa). Jika rapat kerja harus dilakukan maka dapat dilakukan dengan rapat non budgeting, atau studi banding melalui teknologi digital.
Kita lihat rapat-rapat dan kunjugan kerja yang dianggap menguatkan program pemerintah yang selama ini dilakukan terlihat jelas dalam APBN menelan anggaran yang sangat besar namun berefek minim dan tidak dirasakan bagi masyarakat. Dalam konteks lainnya, puasa anggaran yaitu melakukan perencanaan sampai pada hasil akhir (budget based on out-put dan out-comes) artinya rapat bisa dilakukan disaat ada hasilnya dan ada
manfaatnya secara zonasi, yaitu jika menggunakan anggaran daerah maka bermanfaat untuk daerahnya, dan jika menggunakan anggaran pusat maka bermanfaat untuk nusantara. Jika perencanaan anggaran tidak memungkinkan sampai pada anggaran out-put dan out-comes, maka perencanaan awal (rapat) kegiatan tidak dapat dilakukan. Pemerintah beserta perangkat pemerintahan hanya melaksanakan anggaran yang ada anggaran rapat sampai pada hasil akhirnya. Dalam paragraf ini, menjawab dari pertanyaan yang ketiga yaitu bagaimana
menjalankan kebijakan efisiensi anggaran melalui program kesejahteraan.
Puasa yang menghasilkan negara yang bertaqwa, dalam pandangan Ibnu Taimiyah, taqwa dapat diartikan cerdas. Dalam karyanya Majmu’ al-Fatawa, Takhrij: Amir Al Jazzar, Anwar Al Baz. Pengarang, Taimiyyah, Ibnu. Terbitan, Beirut: Darul Fikr, 1980, pada Jilid 20-22, yang membahas prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan seorang Muslim yang bertaqwa. menyebutkan bahwa orang bertaqwa mampu menggunakan akalnya untuk membedakan
antara kebenaran dan kebatilan. Dalam konteks anggaran, maka pemerintah wajib memastikan bahwa ketersediaan anggaran mampu menjalankan program kesejahteraan rakyat. Dalam permisalan umum, orang tua yang cerdas tentu akan membeli makanan dan minuman untuk anak-anaknya berdasarkan kebutuhan dan ketersediaan anggaran, dengan harapan anaknya sehat jasmani dan rohani. Jika mubazir anggaran, tentu makanan dan minuman akan mubazir bahkan berefek pada kesehatan anak.
Puasa anggaran dengan berbagai perspektif (termasuk yang didefinisikan efisiensi), tentu yang diharapkan adanya perubahan dalam pemanfaatan anggaran. Untuk apa puasa kalau tidak ada manfaatnya, jika merujuk pada kitab suci agama Samawi, terlihat jelas orang-orang yang berpuasa mampu mendekatkan diri pada Tuhannya. Taqwa dalam konteks negara, tentu negara yang cerdas yaitu hanya pemerintah yang kuat yang mampu memberikan edukasi kepada bawahan agar penggunaan anggaran harus benar-benar mengarah pada
kesejahteraan. Tidak mubazir, tidak berfoya-foya, tidak efektif, tidak bermanfaat adalah hal yang harus dihindari dalam penggunaan anggaran. Semoga bermanfaat.
****Penulis, Dr. Salman Nasution adalah Dosen UMSU & Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat MUI SU