UNTUNG AKU BISA MANGKAS ( Kado 76 tahun Indonesia)
Oleh Dr. Masri Sitanggang
Kata-kata itu merasuk ke dalam sanubariku. Begitu dalamnya, sehingga aku sukar menghapus dari ingatan. Entahlah, apakah karena aku sudah tidak lagi muda membuat aku jadi begitu sensitif. Tapi aku yakin, tukang pangkas rambut itu berkata jujur apa adanya.
Begini ceritanya. Siang itu, di tempat pangkas rambut yang aku mampir, ada lima atau enam orang “pasien”. Sambil menunggu giliran, para “pasien” terlibat perbincangan _ngalor-ngidul,_ tentang apa saja dan ke mana saja. Apalagi, kios pangkas itu terletak di jalan besar di daerah transisi menuju urban. Meski pertumbuhan bangunan pertokoan –yang menggambarkan suasana kota, tampak pesat akibat keberadaan Bandara Internasional Kuala Namu, namun penduduk aslinya masih akrab sebagaimana hidup di desa. Karena itu pula diskusi para “pasien” pangkas itu terasa lepas tanpa sungkan satu sama lain, meski mereka (mungkin) tidak saling kenal.
Sampai pada satu titik, perbincangan terasa serius. Meski tanpa moderator, arahnya jelas dan tidak bersitegang leher. Tampaknya mereka semua sepakat terhadap topik bahasan. Buktinya, setiap perserta diskusi bahkan seperti berlomba memberikan pengalamannya yang semakin menguatkan persoalan yang dibincangkan.
Berawal dari keluhun seorang “pasien” yang sudah beberapa pekan menganggur disebabkan pembangunan perumahan tempat ia bekerja stop sementara. Lalu disambut oleh yang lainnya, yang menganggur karena berbagai sebab termasuk pengurangan karyawan. Akhirnya, terbukti bahwa mereka semua senasib : pengangguran.
Entahlah, apakah kemudian mereka juga merasa sepenanggungan. Yang pasti, perbincangan merebak ke mana-mana seputar sulitnya kehidupan di negeri “kolam susu” ini. Tentang sulitnya mendapat pekerjaan. Tentang biaya hidup yang kian berat karena harga kebutuhan pokok dan biaya pendidikan serta kesehatan yang sulit dijangkau –dengan segala bumbu cerita perlakuan rumah sakit terhadap pemegang kartu Askes-BPJS. Tentang kisah banyaknya sarjana yang akhirnya cuma jadi sopir ojek online. Tentang tenaga kerja dari Tiongkok yang justeru banjir masuk ke Indoensia. Tentang tidak adanya jaminan untuk bisa hidup layak di hari esok. Tentang enaknya jadi pejabat negeri yang bisa korupsi milyaran, dihukum ringan serta mendapat remisi. Tentang ekonomi yang dikuasai segelintir etnis tertentu. Pokoknya, berbagai keluhan tentang kesulitan dan ketimpangan hidup saat ini seperti berlomba _muncrat_ dari pasien-pasien itu.
_Woauuu…,_ meski tergolong kelas pinggiran, diam-diam mereka ternyata mengikuti juga persoalan negerinya. Sepertinya mereka sudah paham tentang siapa penebar hoax sesungguhnya di negeri. Mungkin ini dampak positif dari sosial media.
“Tidak guna sekolah tinggi-tinggi, menghabiskan uang dan umur,” kata seorang di antaranya setengah berteriak. Ia mengaku, punya keluarga sarjana tapi sekarang cuma menjadi sopir ojek online. Sekali lagi, semua seperti berlomba menumpahkan keluh-kesah dan kekecewaan.
Di tengah riuh umpatan kejengkelan itu, tiba-tiba saja tukang pangkas yang sedang memijat-mijat pundakku bersuara : “Untung aku bisa mangkas”.
Ungkapan itu sederhana. Tapi, bagiku, maknanya dalam. Aku terlanjur berpendidikan Es-tiga. Jadi biasa berfikir filosofis, berupaya memahami makna sesuatu lebih dalam.
Di samping bernada syukur –karena dikarunia kemampuan memangkas rambut, terasa ada nada frustasi pada ucapan si tukang pangkas. Seolah ia sedang berkata, bahwa kalau ia tidak bisa memangkas rambut, siapa yang akan perduli dengan pekerjaan dan penghidupannya ? Pemerintah ? Tampaknya si tukang pangkas, dengan gayanya bertutur, implisit sedang mengingatkan kepada pasien-pasiennya yang sudah kesal itu : jangan berharap kepada pemerintah !
Negara, bagi si tukang pangkas rambut –dan tentu juga bagi orang-orang yang berdiskusi, itu tidak hadir dalam kehidupan nyata mereka. Mereka seperti tidak merasa ada manfaat dari hidup bernegara. Semua urus sendiri dalam persaingan keras dan bebas. Seperti hidup dibelantara hutan, kejam tanpa belas kasih. Hukum cuma mengenal “yang kuat yang akan bertahan”. Itulah hukum rimba.
Masih terbilang_mending_ kalau sebatas itu. Pajak dan berbagai biaya yang ditimpakan pemerintah, justru membuat kehadiran negara menjadi beban bagi mereka. Mahalnya barang-barang kebutuhan pokok, termasuk bahan bakar minyak, biaya Pendidikan dan sebagainya, dirasaksan bahwa pemerintah sedang berbisnis dengan rakyatnya. Sialnya lagi, dalam bisnis ini, rakyat tidak pernah merasakan untung. Mereka terposisikan sebagai orang yang membeli karena terpaksa.
Kisah si tukang pangkas itu terjadi sebelum heboh pandemi covid-19 di Indonesia. Tentu saja keadaan semakin sulit semasa dinyatakan pandemi. Apalagi ada Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Bukan saja angka pengangguran menjadi berlipatganda, bahkan untuk keluar mencari uang buat makan di hari itu saja pun tidak bisa. Padahal, kebutuhan hidup harian tak bisa tidak, harus dipebuhi. Sementara pemerintah tidak pula hadir untuk sekedar memenuhi kebutuhan harian rakyatnya yang terkana PPKM.
Begitulah, sehingga media sosial dipenuhi berita pilu masyarakat akibat PPKM. Tidak sedikit pedagang kaki lima yang histeris menghadapi petugas arogan, kasar dan bahkan menunjukkaan kesewenangan. Ada ibu-ibu yang histeris melemparkan dan membuang dagangannya. Ada yang menantang keras petugas. Tak sedikit yang mengumpat sambil menangisi nasib. Banyaklah ragamnya. Semuanya mengundang rasa prihatin yang dalam.
Ada, memang, petugas yang tidak kasar, sopan dan tidak mentang-mentang. Ini petugas yang sungguh-sungguh simpati. Ia bekerja tidak hanya dengan perintah di atas kertas, tetapi juga dengan hati. Ia dapat merasakan beratnya pilihan rakyat dalam situasi sekarang. Ya, itu tadi, rakyat disuruh tidak berkerja tapi kebutuhan mereka tidak disuplay pemerintah. Lha, mau makan apa satu keluarga ? Orang tua macam apa yang sanggup mendengar anak-anaknya merintih karena lapar, atau bayinya yang tidak punya susu ? Rakyat terpakasa memilih satu di antara dua hal buruk : terancam mati karena covid-19 atau mati karena lapar. Mati karena covid, belum tentu; tapi lapar sudah pasti. Rakyat –yang lapar, lebih memilih resiko terancam mati karena covid-19 _tenimbang_ menahan lapar; tapi itu menentang aturan.
Perlu diingatkan. Pemerintah Negara Indonesia ini dibentuk untuk, antara lain, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi, pemerintah adalah pemegang amanah, menjalankan pemerintahan berdasarkan kehendak rakyat yang dituangkan dalam konstitusi. Pemerointah Negara Indonesia bukan penguasa dan tidak boleh menjelma menjadi penguasa.
Pemerintah tidak sama dengan preman atau gerombolan centeng pasar yang berkuasa setelah mengalahkan gerombolan centeng lainnya. Centeng pasar tidak menggunakan konstitusi. Ia buat aturan sendiri di pasar kekuasaannya : berapa pedagang harus setor setiap hari sebagai uang keamanan, kebersihan dan uang-uang lainnya. Apakah pedagang rela atau tidak, itu bukan soal.
Pemerintah Negara Indonesia, dalam konstitusi kita, berfungsi sebagaimana orang tua dalam satu keluarga. Pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia –sebagaimana orang tua melindungi anak-anaknya– dari rasa terancam atau tidak nyaman dari pihak luar, dari rasa sakit atau penyakit yang menyerang, dari panas dan hujan serta dari rasa haus dan lapar. Itu kewajiban sekaligus perwujudan kasih sayang yang tumbuh di hati. Negara harus dibangun dengan rasa kasih sayang.
Pemerintah melindungi seluruh tumpah darah Indonesia –sebagaimana orang tua melindungi propertinya– dari ancaman penjarahan/pencaplokan oleh pihak lain, atau, dari penguasaan/pencurian oleh oknum (anggota keluarga) yang nakal. Properti dijaga untuk kesejahteraan bersama : dimanfaatkan/dinikmati oleh semua anggota keluarga secara adil. Biadablah orang tua (pemerintah) yang memanfaatkan properti hanya untuk dirinya sendiri –mengabaikan anggota keluarga. Apalagi mengeksploitasi anak-anaknya (rakyatnya) untuk kepentingan bisnisnya. Itu penghianatan.
Perlindungan orang tua terhadap anak-anaknya dilakukan secara sekaligus, bukan pilihan. Tidaklah orangtua menjaga anak-anaknya agar tidak sakit, tetapi anak-anak itu dibiarkan lapar atau badan telangjang tidak berpakaian.
Bedanya (antara pemerintah Negara Indonesia dengan orangtua), orangtua menjadi orang tua bukan pilihan anak-anak. Justeru anak-anak sebagai anggota keluarga, ada karena ada orangtua. Karena itu, orangtua tidak bisa dimakzulkan. Sekalipun anak-anak sungguh mendapat perlakuan kurang semestinya, orangtua tetap orang tua sampai kapan pun. Sikap anak terhadap orangtua –yang tidak memenuhi kewajiban dan kasihsayangnya, paling _banter_ menjauh. Mengambil pelajaran dari Islam, anak tidak boleh menuruti perintah dzalim (baca syirik) orangtuanya, tetapi harus tetap bergaul dengan baik.
Pemerintah (Negara Indonesia), secara konstitusi, bisa dimakzulkan. Bagaimana mekanismenya, biarlah para ahli tata negara yang berbicara. Yang pasti, bisa dan itu sangat dimungkinkan. Malah, bagi pemerintah yang dzalim, meski mekanisme melalui konstutisi sangat kecil, bisa diturunkan secara paksa oleh kekuatan rakyat. Artinya, bila mekanisme konstitusional tidak lagi mampu dengan cepat merubah keadaan –sementara rakyat terdzalimi sudah tidak tahan, maka kekuatana rakyat untuk mengganti pemerintahan dzalim adalah pilihan. Soalnya adalah, bila rakyat terdzalimi sudah berkehendak. Banyak contoh negara di dunia ini yang pemerintahannya dijatuhkan oleh kekuatan rakyat. Afghanistan dengan Thalibannya, adalah contoh paling mutakhir.
Menjatuhkan pemerintahan dengan kekuatan rakyat adalah pilihan darurat. Oleh karena itu, bagi Negara Indonesia –yang sejak lahirnya dibangun dengan rasa kebersamaan dan kekeluargaan, sedapatnya cara ini dihindari. Tapi, tentu saja itu sangat tergantung paa pemerintahnya. Pemerintah harus senantiasa memfungsikan dirinya sebagai pelaksana amanah konstitusi, menjalankan kehendak rakyat. Mengabdilah kepada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan kelompok. Oleh karena itu, dengarkan (dengan melibatkan hati nurani) suara rakyat. Jangan abaikan. Kata-kata semacam tungkang pangkas rambut itu, sangat sederhana, tapi dalam maknanya.
Jika Pemerintah sadar bahwa selama ini belum bisa memenuhi kehendak rakyat, sebaiknya segera putar haluan. Berbenahlah untuk berkiblat kepada rakyat. Jika merasa tidak mampu, mundurlah. Itu adalah jalan terbaik jika benar mencintai negeri dan rakyatnya. Aku yakin tidak sedikit orang yang sepakat dengan ungkapan tukang pangkas itu saat ini. Yang demikian ini bisa berakumulasi menjadi kekuatan rakyat untuk menentukan pilihan darurat.
Ngeri membayangkannya. Pilihan darurat kekuatan rakyat, beresiko sangat besar. Akan banyak korban, baik material maupun immaterial, termasuk jiwa. Yang pasti, pilihan darurat dengan kekuatan rakyat, akan melahirkan dendam politik yang tidak berkesudahan. Negeri ini akan terus dirundung gunjang-ganjing. Karena itu, sekalai lagi, dengarlah suara rakyat. Putarlah segera haluan, bila ingin menghindari kekuatan rakyat.
Inilah kado kecilku untuk 76 tahun Indonesia.
_Wallahu a’lam bisshawab_