Kritik dan Debat dalam Khazanah Intelektual Islam
Oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Dosen FAI UMSU & Kepala OIF UMSU
Kritik dan debat merupakan dua hal penting dalam khazanah intelektual Islam,
keduanya merupakan satu sikap tidak menerima begitu saja sebuah anggitan sebelum adanya
uji sahih atau validasi dari berbagai aspek. Dengan tradisi ini setiap ulama (ilmuwan) di
peradaban Islam tidak secara mudah menulis dan menyampaikan gagasannya kecuali telah
dipersiapi dengan sejumlah dalil dan argumentasi yang kuat, selain tetap menjaga dan
mengindahkan etika akademik yang ada dan berlaku ketika itu. Tidak dipungkiri, dengan
tradisi kritisisme menumbuhkan sikap kehati-hatian di kalangan ilmuwan Muslim, terutama
dalam menulis dan bertutur. Tidak dipungkiri pula, dengan sikap ini menjadikan segenap ide
dan gagasan yang diwariskan para ilmuwan Muslim dahulu menjadi landasan kuat konstruksi
keilmuan saintifik era modern.
Dalam khazanah intelektual Islam klasik, tradisi kritik tampaknya merupakan
fenomena umum yang berlaku ketika itu. Tradisi dan fenomena dialog, debat, diskusi,
korespondensi, dan saling kritik merupakan hal lazim berlaku ketika itu dan berkembang
pesat. Ibn Sina (w. 428 H/1037 M) dan Al-Biruni (w. 440 H/1048 M) misalnya, keduanya
pernah saling berdebat tentang berbagai hal mulai dari persoalan astronomi, fisika,
matematika, sampai filsafat. Al-Biruni misalnya mengkritik keras aliran filsafat peripatetik
dalam banyak segi yang justru didukung kuat oleh Ibn Sina. Al-Biruni juga mengkritik
beberapa doktrin fisika peripatetik Aristotelian, misalnya tentang masalah gerak, gravitasi,
ruang, dan materi. Namun, pada saat yang sama, dua tokoh besar ini pernah saling
berkorespondensi dan bekerjasama dalam banyak hal yang mereka sepakati bersama. Hal ini
tidak lain menunjukkan kesadaran intelektual yang tinggi. Dalam satu hal keduanya berdebat
dan saling mengkritik, namun dalam hal lainnya keduanya dapat bersepakat dan bekerjasama.
Salah satu bentuk etos kritisisme sarjana Muslim adalah tumbuhnya tradisi revisi
suatu terjemahan yang dilakukan lebih dari satu kali. Hal ini dilakukan dalam rangka
melahirkan versi terjemahan dan atau karya utuh yang lebih efektif, autentik, dan otoritatif.
Di sini, semangat kritisime sarjana Muslim berkorelasi erat dengan etika dan etos
pertanggungjawaban ilmiah guna mengungkap kebenaran ilmiah yang sejati dan substansi,
bukan hal-hal yang diluarnya.
Di dunia Islam, tradisi kritik yang pada akhirnya memunculkan revisi dan catatan
antara lain pernah dilakukan beberapa tokoh (ilmuwan) Muslim, antara lain Abu Bakr ar-Razi
(abad ke-3 H/9 M), dia menulis sebuah buku berjudul “asy-Syukuk ‘ala Jalinus” (Keraguan
Atas Galen) yang berisi kritikan atas sejumlah pemikiran tokoh-tokoh utama Yunani di
bidang kedokteran yang hidup sesudah Ptolemeus. Selanjutnya Ibn al-Haitsam (w. 433
H/1041 M), tokoh pencetus ilmu optik, dia mengkritisi tiga buku Ptolemeus dalam tiga
bidang keilmuan, yaitu: (1) “al-Manazhir” (bidang optik), (2) “Almagets” (bidang
astronomi), dan (3) “al-Iqtishahs (bidang astronomi). Kritiknya atas tiga karya Ptolemeus ini
dia tuangkan dalam bukunya yang berjudul “asy-Syukuk ‘ala Bathlamiyus” (Keraguan atas
Ptolemeus).
Buku al-Majisthy atau Almagest yang di kritisi oleh Ibn al-Haitsam adalah teks
astronomi dan astrologi. Buku ini berisi ringkasan pemikiran para tokoh terdahulu Yunai
tentang astronomi. Buku ini dipandang sebagai sumber utama astronomi di dunia Islam dan
di dunia Eropa hingga munculnya pemikiran Copernicus tahun 1543 M. ‘Keraguan’
terpenting Ibn al-Haitsam atas karya ini adalah penolakannya atas penggunaaan apa yang
disebut “al-falak al-mu’addil li al-masir”. Ptolemeus menerima standar gerak reguler
melingkar yang diyakini ilmuwan-ilmuwan astronomi Yunani sejak zaman Plato. Lalu
berdasarkan penemuan ini, para astronom berikutnya mendapatkan konsepsi Aristoteles
dalam interpretasinya atas gerak langit ternyata tidak reguler.
Namun patut di catat, baik Al-Razi maupun Ibn al-Haitsam dalam kritiknya ini sama
sekali tidak menihilkan kontribusi dua tokoh besar Yunani itu (Galen dan Ptolemeus). Ibn al-
Haitsam mengetahui persis posisi dan keutamaan seorang Ptolemeus. Tokoh ini memiliki
pengetahuan mumpuni dalam matematika, geometri, dan astronomi. Bahkan karyanya yang
dia kritisi (Almagest) merupakan buku induk astronomi yang menjadi inspirasi para astronom
Muslim silam. Namun dalam konteks ini Ibn al-Haitsam meletakkan kebenaran di atas
segalanya. Menurutnya, “al-haqq mathlub lidzatihi” (kebenaran adalah esensi yang dicari).
Setiap ilmuwan tidak terbebas dari kesalahan. Manakala kebenaran adalah tujuan, maka
wajib mengikutinya dengan hujah dan argumen, bukan dengan sentimen, apalagi tendensi.
Selain itu, apa yang dikritisi Ibn al-Haitsam hanyalah pada poin-poin yang dia anggap
salah, keliru, atau kurang tepat, dengan sama sekali tidak menafikan hal-hal lainnya.
Demikian lagi halnya dengan Al-Razi dalam kritik-kritiknya atas karya Galen tersebut.
Setara dengan tradisi kritik dalam Islam adalah tradisi debat (Arab: manazharah,
jadal, bahts) yang merupakan satu diantara tradisi atau metode untuk mengungkap
kebenaran, yang populer dalam sejarah intelektual Islam klasik, yang hari ini nyaris pudar.
Menurut Azhari Akmal Tarigan (2022 M/1443 H) dalam karyanya “Etika Akademik Ikhtiar
Mewujudkan Insan Ululalbab”, menyatakan bahwa seseorang perlu senantiasa memperbaiki
kualitas debatnya, tidak saja berkenaan dengan materi debat, wawasan, data, fakta, tetapi
lebih dari itu tidak kalah pentingnya adalah tentang etika (hlm. 199). Tidak dipungkiri, dalam
debat kerap terjadi upaya saling melemahkan dan meruntuhkan argumentasi lawan debat,
namun patut dicatat bukan debat dengan merendahkan pribadi dan institusi lawan debat,
sehingga dalam konteks ini harus dibedakan antara materi debat, pelaku debat, dan institusi
kedua belah pihak.
Sejatinya, konsep debat diakomodir di dalam al-Qur’an yaitu QS. an-Nahl [16] : 125,
yang mana ayat ini memberi opsi cara mengungkap fakta (kebenaran) dengan berdebat
(jadal) yang esensinya mematahkan argumentasi lawan namun dengan cara yang ‘ahsan’
(terbaik, lebih baik). Menurut Al-Thabari (w. 310 H/923 M) dalam tafsirnya “Jami’ al-Bayan
fi Ta’wil al-Qur’an”, kata ‘ahsan’ dalam ayat ini bermakna berdebat dalam bingkai etika dan
adab (Al-Thabari, t.t.: 7/663).
Melalui ayat ini juga dapat ditangkap bahwa al-Qur’an tatkala menyampaikan pesan
dan kesannya kepada manusia menggunakan cara-cara yang rasional. Sebagai manusia yang
bertutur dan berfikir, lazimnya seseorang (atau sekelompok orang) akan menerima sesuatu
(berupa saran, masukan, dan kritikan) bahkan akan mengikutinya jika dapat diterima nalar
(akal). Kebalikannya, sebuah saran, masukan, dan kritikan yang bertentangan dengan nalar,
terlebih bernuansa tendensi, maka seseorang atau sekelompok orang itu cenderung bahkan
dipastikan akan menolaknya, yang jika terus dipaksakan akan ada pertentangan, perlawanan,
dan resistensi, ini sesuatu yang alami. Melalui QS. an-Nahl [16]: 125 ini sekali lagi menjadi
bukti bahwa tradisi debat (dan kritik) merupakan sebuah tradisi yang bersumber dari dan di
dalam Islam.
Dari apa yang telah diuraikan ini, setidaknya memberi kearifan kepada kita hari ini
bahwa segenap ide, gagasan, dan pemikiran, baik dalam bentuk ucapan (lisan) maupun
tulisan akan ada konsekuensi dan pertangungjawaban ilmiahnya, selain ada pula konsekuensi
sosialnya. Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dan kejelian dalam mengutip, menulis,
dan berucap. Wallahu a’lam[]