Catatan atas 33 Catatan LFNU, Respons, Jawaban, dan Klarifikasi atas Konsep KHGT
(Bagian Pertama)
Oleh: Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar – Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) mendapat atensi dari berbagai pihak, diantaranya Persatuan Islam dan Nahdlatul Ulama, yang mana dua ormas ini secara tegas menolak KHGT. Pada hari Sabtu 9 Zulkaidah 1445 H/18 Mei 2024 M di Hotel Savoy Homann Bandung, Persatuan Islam menyelenggarakan “Seminar Kalender Hijriyah Global Tunggal”. Berikutnya Nahdlatul Ulama melalui LFNU pada hari Rabu 19 Februari 2025 M juga menggelar webinar bertajuk “Mengapa Nahdlatul Ulama tidak menerapkan Kalender Hijriyyah Global” (rekaman webinarnya dapat disimak disini: https://www.youtube.com/live/rlPVCcplyCM). Dalam tangkapan layar youtube tersebut tampak LFNU sama sekali tidak mencantumkan penanggalan hijriah. Salah satu pemapar dalam webinar tersebut adalah Dr. Khafid (pakar falak LFNU) yang mana beliau memberikan catatan (persisnya penolakan) atas KHGT dengan judul “33 Catatn LFNU untuk Konsep Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT)”.
Dalam tulisan ini saya menjawab, merespons, mengklarifikasi, dan mengapresiasi catatan-catatan yang diberikan LFNU tersebut. Dalam hal ini tidak seluruhnya mampu saya jawab terutama yang terkait dengan teknis perhitungan dan implementasi teknis KHGT itu sendiri oleh karena tidak menjadi keahlian saya, yang oleh karena itu pada bagian itu saya sama sekali tidak menjawab/merespons, atau hanya sekedarnya saja. Berikut “Catatan atas Catatan LFNU” tersebut,
Catatan atas Catatan LFNU (1)

1. Konsepsi “seluruh muka bumi adalah satu matlak” merupakan konsepsi mayoritas para ulama (jumhur). Dalam penjabaran para ulama sendiri, terkait konsepsi matlak global, sama sekali tidak mengaitkan dan atau mengharuskan otoritas. Otoritas sendiri di satu sisi merupakan sesuatu yang baik dan positif, tetapi tidak menjadi keharusan mutlak, dan tidak pula karena ketiadaan otoritas itu menjadikan kalender global itu tidak bisa/tidak boleh diupayakan. Mengapa otoritas dalam kalender global tidak urgen? Pertama, umat Muslim hari ini tersebar dan hampir menempati seluruh muka bumi, pertanyaannya siapa otoritas kalender dalam konteks dunia hari ini? Apa alasan kualifikasi pemilihan otoritas itu? Bagaimana jika suatu saat otoritas itu kehilangan legitimasinya (misalnya karena dinamika politik dan kepentingan politis di dalamnya)? Jika otoritas merupakan keharusan, bagaiamana jika sebuah negara tidak patuh mengikuti putusan otoritas itu? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
2. Adapun contoh praktik pembuatan kalender di zaman Khalifah Umar bin Khattab lebih dipahami karena momentum itu terjadi di zaman Khalifah Umar yang kala itu sedang memimpin dan ada kebutuhan mendesak. Selain itu patut dicatat kala itu Khalifah Umar bermusyawarah dengan para sahabat untuk merumuskan (persisnya memberi penomoran) kalender yang dimaksud, Khalifah Umar sama sekali tidak menggunakan kekuasaanya untuk menerapkan sesuatu. Bahwa dengan statusnya sebagai khalifah mobilisasi pembuatan kalender waktu itu menjadi terlaksana dan terencana adalah satu hal dan merupakan hal yang positif, namun dalam konteks dunia dan era modern hari ini tidak menajadi keharusan. Saat ini tidak ada khalifah, tidak ada pula lembaga yang memiliki otoritas mengikat seperti halnya di zaman kekhalifahan atau sejenisnya. Memang, dalam konteks hari ini Kalender Hijriah Global Tunggal sebagai kebutuhan umat Islam secara global juga memerlukan dukungan dan mobilisasi dari lembaga dunia, namun patut dicatat sifatnya hanya mengarahkan dan merekomendasikan, bukan memutuskan dan atau meregulasi layaknya keputusan seorang ‘khalifah’.

1. Penyatuan secara bertahap pada dasarnya dapat diimplementasikan dengan dua model. Pertama, penyatuan dari skop yang lebih kecil lalu ke skop yang lebih besar, yaitu dimulai dari penyatuan lokal (Indonesia), lalu penyatuan 4 negara (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura), lalu skop Asia Tenggara (9 negara), lalu skop Asia, Afrika, Eropa, Amerika, lalu seluruh dunia. Kedua, dapat dilakukan kebalikannya, yaitu dari skop global (seluruh dunia), lalu diimplementasikan oleh dan di negara-negara di dunia sesuai kesediaan masing-masing negara. Kedua model ini punya plus dan minus. Namun dalam konteks KHGT penyatuan global secara langsung adalah pilihan paling realistis dengan alasan nas syar’i yaitu hadis-hadis rukyat yang bersifat umum, menyeluruh, dan global, bukan lokal.
2.Selain itu, penyatuan bertahap dalam konteks Indonesia sejauh ini mengalami jalan buntu, perbedaan penentuan awal bulan di Indonesia, bahkan sejak pra kemerdekaan, sudah teramat lama terjadi, jika hanya berkutat pada penyatuan lokal maka kita tidak akan beranjak dari situasi jumud tersebut. Karena itu tawaran penyatuan global adalah paling logis, dengan menyatukan global secara otomatis akan menyatukan lokal. Alasan lain, dengan mengupayakan global kita tidak berpotensi mengulang konsep dan kriteria, yang bisa jadi berbeda halnya jika mengupayakan bertahap dari lokal ke global.

1. KHGT adalah tawaran dan maslahat untuk dunia Islam. Tawaran KHGT sama sekali tidak mengabaikan “persatuan dalam lingkup kecil” (lokal) karena ia diperuntukkan global dan sekaligus lokal. Juga, sama sekali KHGT tidak dimaksudkan untuk memberi kekecewaan apalagi perpecahan, justru KHGT dihadirkan untuk menertibkan penjadwalan waktu umat Islam baik ibadah maupun muamalah, baik lokal maupun global, selain merupakan tuntutan dan utang peradaban yang harus ditunaikan yang hingga abad ke-15 H ini belum kunjung terwujud.
2. Adapun persatuan satu kawasan, satu negeri, atau satu daerah, pada dasarnya juga merupakan ihtiar yang baik, namun dengan menyorot dinamika dan dialektika yang ada, plus perjalanan panjang perbedaan penentuan awal bulan sejak pra kemerdekaan hingga kini, maka penyatuan global dengan plus-minusnya patut dicoba dan dipandang lebih maslahat. Bukan rahasia lagi bahwa prinsip hisab Muhammadiyah dan prinsip rukyat Nahdlatul Ulama (plus Pemerintah) tak pernah bisa bertemu bahkan sekedar saling menyapa, maka jika upaya mempertautkan ini dipertahankan hanya akan menghabiskan energi seperti terjadi selama ini, tentu dalam konteks ini kita tidak ingin menyatakan metode yang satu paling sahih sedangkan yang lainnya sebaliknya, seluruhnya kita nyatakan sahih sesuai cara pandang masing-masing. Namun yang pasti dua organisasi ini (Muhammadiyah-NU) adalah aset bangsa Indonesia dan umat Islam dunia yang masing-masing memainkan peran sosial-keagamaannya, yang jika terus dibenturkan akan menjadi kerugian untuk bangsa Indonesia dan untuk umat Islam itu sendiri. Persoalan penentuan awal bulan (persoalan kalender) hanya satu bagian kecil dari peran besar dua organisasi ini.
3. Karena itu pula logika pernyataan “…bahwa jika disepakati MABIMS yang bersifat lokal, mungkin umat bisa bersatu di suatu kawasan, tetapi tidak bisa mengajak orang luar Kawasan untuk ikut karena kalender bersifat lokal. Tetapi kalau memakai kalender global, mungkin butuh proses untuk bersatu di suatu kawasan, tetapi bisa mengajak orang luar kawasan untuk bersatu karena kalender bersifat global” adalah benar, logis, dan realistis. Karena itu KHGT sejak saat ini dipandang layak diimplementasikan di Indonesia dan dunia.
(Bersambung ke-tulisan kedua)

