Tolak RUU BPIP
Oleh : Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum
Wakil Ketua PWM Sumut
“Laksana menabur cuka di atas luka” begitulah adagium yang tepat untuk menggambarkan kondisi saat ini. Bagaimana tidak, pada era pandemi COVID-19 pemangku kekuasaan sepertinya ‘berlomba’ mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk menggodok beberapa UU yang memancing kontroversi. Belum saja usai luka publik atas Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Negara (RUU HIP) yang sontak menuai penolakan karena dianggap telah mereduksi Pancasila, beberapa waktu yang lalu pemerintah yang diwakili oleh rombongan besarnya telah menyerahkan surat presiden dan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) yang disinyalir sebagai upaya penguatan lembaga BPIP yang semula hanya diatur melalui Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang sebelumnya tertuang dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2017 Tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila.
Kehadiran rombongan besar itu pastilah mempunyai agenda strategis, namun informasinya tidak diketahui publik bisa kemungkinan ini bagian dari komitmen untuk ‘menggoalkan’ sesuatu. Jangan-jangan masih bertemali dengan ‘permainan’ dan desakan agar Tap MPR No. XXV Tahun 1996 dicabut, sebab itu sudah kali ke sekian. Alih-alih meredamkan ‘amarah’ rakyat pasca RUU HIP yang sebelumnya merupakan inisiatif DPR, kini pemerintah dengan gagahnya membawa draft RUU BPIP yang juga berkelindan dengan RUU HIP. Bila telah berganti nama menjadi RUU BPIP mengapa pemerintah yang menjadi inisitornya, bahkan nampaknya pemerintah sudah seperti semprong lebih panas dari api?.
Keberadaan RUU BPIP yang terdiri dari tujuh bab dan 17 Pasal katanya berbeda dengan RUU HIP. Akan tetapi, tidak ada RUU BPIP diantara 37 RUU hasil evaluasi pada prolegnas prioritas 2020. Pertanyannya apakah begitu mudahnya mencabut dan mengganti RUU di luar Prolegnas yang sudah ditetapkan, lalu apa fungsi prolegnas jika sangat cair konsistensi pelaksanaannya?. RUU baru semestinya masuk dahulu dalam Prolegnas yang disepakati bersama untuk pembahasan terjadwal. Tidak boleh ‘menyalip’ RUU yang sudah terlebih dahulu ‘antri’.
Memang benar, sesuai UU No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan membolehkan DPR, Pemerintah, dan DPD mengajukan RUU di luar daftar Prolegnas baik jangka panjang (lima tahunan) maupun tahunan. Namun, pengajuan RUU di luar Prolegnas ini harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana diatur Pasal 23 ayat (2) yakni untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pertanyaannya Apakah RUU BPIP memenuhi kedua syarat limitatif tersebut?
Tidak bisanya masyarakat untuk mengkses Naskah Akademik (NA) RUU BPIP ini, juga memberi ruang kepada masyarakat untuk berpikir adanya semangat ‘gelap’ dari pembentukan RUU BPIP. NA adalah keharusan bagi setiap produk UU sebagaimana yang tertuang melalui Pasal 43 ayat (3) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan jo. UU No. 15 Tahun 2019. Melalui NA dapat terlihat kajian filosofis, sosiologis atau empiris dan kajian yuridis dasar pembentukan RUU BPIP yang dilakukan secara mendalam terkait urgensi pembentukan RUU BPIP. Entah karena ketiadaan NA RUU BPIP atau akses informasi atas NA yang belum tersedia, sekalipun UUD 1945 telah menjamin hak untuk mendapatkan informasi sesuai Pasal 28 F UUD 1945.
Penguatan BPIP lewat UU dianggap tidak memiliki urgensi. Apalagi jika melihat Pembentukan BPIP yang sejak awal terkesan ‘aneh’ karena dianggap bagian dari upaya ‘bagi-bagi jabatan’ atau ‘upaya balas jasa’. Kemudian bila merujuk pada aspek menimbang Perpres 7/2018 yang mengacu pada Pancasila tanggal 1 Juni 1945, sebagaimana ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila. Artinya bukan Pancasila 18 Agustus 1945 apalagi dengan mengaitkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Padahal harusnya Pancasila yang dimaksud bukan Pancasila 1 Juni 1945 melainkan Pancasila 18 Agustus 1945 sesuai dengan kesepakatan bersama bangsa ini. Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yakni revisi dari Piagam Jakarta yang ketuanya adalah Bung Karno.
Hingga kini tugas pokok dan fungsi BPIP dianggap tidak berjalan seperti yang diharapkan dan kerap menimbulkan kontroversi. Salah satunya adalah pernyataan oleh ketua BPIP Yudian Wahyudi yang mengundang reaksi keras publik terkait hubungan Pancasila dengan agama yang menyebutkan bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila. Selanjutnya mengenai besaran gaji oleh pejabat BPIP yang dinilai ‘fantastis’ lewat Perpres No. 42/2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai BPIP. Hingga terakhir mengenai konser amal yang digelar oleh BPIP bersama Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan MPR RI, Minggu (17/5) lalu, karena mengabaikan salah satu protokol kesehatan penanganan COVID-19.
Dengan demikian tidak ada alasan untuk menerima RUU BPIP. Segeralah dicabut NA dan RUU HIP demikian juga dengan RUU BPIP. Penegakan hukum juga harus menjadi pilihan minimal investigasi dari pendekatan etika, agar menghindari berbagai fitnah terhadap lahirnya NA dan RUU HIP begitu juga dengan RUU BPIP yang ‘menyalip’ dari antrian prolegnas itu. Penulis tidak yakin presiden dengan berbagai kesibukannya melihat penolakan itu, apalagi mempertaruhkan repotasi politiknya untuk RUU HIP kecuali jika ada agenda ‘gelap.’