Home / Kolom / Kolom Adam Chairivo: Panic Buying Susu Beruang dan Peran Masyarakat Digital

Kolom Adam Chairivo: Panic Buying Susu Beruang dan Peran Masyarakat Digital

Panic Buying Susu Beruang dan Peran Masyarakat Digital
Oleh : Adam Chairivo

Baru-baru ini beredar sebuah video yang tengah viral diakibatkan oleh panic buying yang dilakukan oleh masyarakat saat berlangsungnya Perlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat. Video yang beredar tersebut memperlihatkan masyarakat saling berebut untuk mendapatkan salah satu produk susu kaleng yang dianggap berkhasiat untuk menangkal covid 19. Hal ini menjadi sorotan karena masyarakat tidak benar-benar tahu apa yang ada di dalam isi kandungan dari susu kaleng berlabel beruang tersebut namun dengan beramai-ramai membelinya hingga terjadi aksi saling sikut dan dorong satu sama lain.

Panic Buying dan Pandemi
Fenomena panic buying kerap terjadi ketika masyarakat mencerna informasi dengan tidak sempurna sehinggah timbulnya kekhawatiran dan menimbulkan respons psikologis untuk belanja secara masif sebagai upaya menyelamatkan diri. Ada beberapa faktor yang menyebabkan panic buying, salah satunya masyarakat takut kehabisan persediaan kebutuhan yang kerap memiliki fungsi untuk keselamatan bagi individu atau kelompok. Panic Buying juga dapat menimbulkan berbagai macam kerugian seperti pemborosan, kelangkaan barang dan terjadinya inflansi.

Banyak penelitian yang menyimpulkan, faktor psikologis orang-orang yang melakukan panic buying didasari untuk meminimalisir risiko. Pelaku panic buying hadir dari hasrat diri yang menganggap untuk menghindari penderitaan ketika terjadinya krisis di kemudian hari. contohnya seperti kasus di atas masyarakat berebut susu kaleng berlabel beruang karena khasiatnya dianggap sebagai penangkal virus covid 19, sehingga masyarakat berbondong-bondong untuk memborong dan menimbun guna menenangkan diri mereka walaupun hal ini dianggap tidak rasional.

Sementara itu, menurut Dr. Dimitrios Tsivrikos dari University College London, panic buying dapat terjadi karena kita tak bisa menerka berapa lama krisis kesehatan masyarakat (termasuk COVID-19) akan berlangsung. Informasi dari media pun memicu kita untuk masuk ke dalam mode panik tersebut.Lain halnya dengan panik karena krisis bencana. Pada jenis kepanikan ini, masyarakat cenderung tahu bahwa krisis ‘hanya’ akan berlangsung beberapa hari saja. Dengan demikian, kita mungkin akan lebih rasional dalam membeli produk rumah tangga.

Masyarakat Digital Menimbulkan Panic Buying

Tidak dapat dipungkiri peran kemajuan teknologi menjadi faktor dalam mudahnya masyarakat untuk mengakses informasi yang kita ketahui informasi yang didapatkan belum tentu benar adanya. Banyaknya berita yang kerap menampilkan solusi yang baik pada masalah yang terjadi namun belum tentu hal itu benar adanya. Masyarakat cenderung menelan bulat-bulat infomasi tanpa mencernahnya terlebih dahulu. Kasus panic buying susu berlabel beruang menjadi contoh bahwasanya masyarakat tidak jeli dalam menangkap informasi.

Masyarakat digital yang mayoritas aktif meggunakan social media ini terperangkap dalam persoalaan yang menganggap bahwasnya media adalah ahli dari berbagai bidang dan peranya harus dipercayai tanpa harus di analisa terlebih dahulu. Pada kenyataanya menurut para ahli susu berlabel beruang ini merupakan susu yang memiliki kandungan yang sama dengan susu biasanya.

Dokter Tan Shot Yen, pakar gizi dan pendiri Remanlay Institute mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang membuat semacam panic buying terhadap produk tertentu terjadi. Menurut Tan bahwa literasi gizi masyarakat masih minim, sehingga ada kepercayaan-kepercayaan yang dibentuk sebagai opini publik. Tan menambahkan, masyarakat Indonesia seringkali tidak mau ribet untuk berpikir dengan nalar. “Jadi kalau sakit yang diburu solusi, bukan evaluasi. Dia pun menegaskan bahwa susu evaporasi, UHT, serta susu cair sejenis, semuanya sama dengan komposisi yang bisa dibaca di labelnya.

Masyarakat digital sangat berperan penting untuk menanggulangi masalah panic buying ini karena masyarakat digital adalah garda terdepan untuk orang-orang yang menerima informasi. Jangan sampai minimnya literasi dan mentahnya dalam menganalisa fenomena panic buying susu berlabel beruang terulang kembali. Walaupun tidak dapat diatasi dengan utuh namun apabila masyarakat digital bijak dalam menggunakan media social dan bijak dalam menerima informasi setidaknya dapat meminimalisir dampaknya.

Pada kenyataanya memilih untuk melakukan panic buying atau tidak adalah pilihan namun dampak yang terjadi adalah sebuah kerugian dan hanya menambah kepanikan. Bayangkan jika barang yang kita buru saat terjadinya panic buying akibat dari keegosisan individu berdampak pada kerugian bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Sebaiknya kita sebagai masyarakat yang hidup pada dunia digital yang dapat mengakses informasi dengan mudah dapat mengatasi hal-hal seperti ini dengan menganalisa informasi dan mencernahnya.

Penulis : Oleh : Adam Chairivo, Ketua Umum PK IMM FEB UMSU

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *