Kegagalan Teori Puasa (Inflation is not logic in Ramadhan)
Oleh: Dr. Salman Nasution, SE.I.,MA
Dalam beberapa kitab suci agama Samawi, menyebutkan puasa adalah cara mendekatkan diri pada Tuhan yang maha esa. Terkhusus dalam Islam, puasa disebut dalam Al Quran yaitu Shaum dianjurkan tidak hanya pada cara ibadah nabi Muhammad SAW yang menjalankan ibadah puasa dengan tidak makan dan minum atau segala sesuatu yang membatalkannya, selanjutnya diwajibkan berbuka puasa menurut aturannya. Namun perintah ini juga dilakukan oleh orang-orang beriman sebelumnya seperti nabi Daud alaihi salam, dan juga jelas disebutkan dalam Al Qur’an melalui proses puasa oleh Maryam binti Ali Imran yang termaktub dalam surah Maryam ayat 26. Secara historis dan hukum, tentu aktifitas ibadah ini tidak asing bagi manusia seluruh dunia dan juga puasa yang massif dilakukan umat Islam dipenjuru dunia pada bulan Ramadhan.
Sebagaimana arti puasa, dalam KBBI (kamus besar bahasa Indonesia) yaitu menghindari makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan). Tentu arti puasa tersebut sangat dasar dipahami dan dilakukan umat yang Islam. Bahkan puasa sudah diajarkan orang tua kepada anak-anaknya, sehingga tidak sedikit anak-anak menjalankan puasa sebulan penuh bahkan setengah hari sebagai proses belajar. Ada hadiah yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya berupa tambahan uang jajan atau lainnya jika anak tersebut berpuasa penuh. Apalagi ada ucapan Habib Abdullah Al-Haddad dalam kitabnya An-Nashoihud Diniyah pada halaman 22-23, yaitu “Adapun amal ketaatan dari anak kecil yang dilakukan sebelum baligh itu masuk dalam lembaran catatan amal kedua orang tuanya yang muslim”, sehingga keduanya (orang tua dan anak)
termotivasi berbuat kebaikan dan saling membutuhkan, dalam istilah lainnya muncul teori mutual symbiosis. Tentu tidak titik, dalam tulisan al-Adabu fi al-Din oleh Imam al-Ghazali puasa harus diiringi dengan adab puasa yaitu meninggalkan pertengakran (al-mira’), kemunafikan (al-mura’), gibah dan kedustaan; tidak menyakiti orang lain; menjaga seluruh anggota tubuh dari perbuatan tercela, sehingga puasa berjalan dengan baik dan sempurna.
Setiap orang yang beriman sangat berkeinginan memperoleh ketaqwaan dari apa yang telah dilakukan sebulan berpuasa di bulan Ramadhan, hal ini termaktub dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 183. Namun tidak sedikit umat Islam minim memahami ketaqwaan dalam hubungannya pada hal puasa dan beriman, jika merujuk pada ucapan Ali Bin Abi Tholib yang mengatakan bahwa orang yang bertakwa mempunyai 4 (empat) sifat utama, yaitu Al-Khaufu min Al-Jalil (merasa takut kepada Allah Swt. yang mempunyai sifat Maha Agung), Al-Amalu bi At-Tanzil (beramal dengan apa yang diwahyukan oleh Allah SWT), Ar-Ridha bi Al-Qalil (ridho dengan pemberian Allah Swt.), dan Al-Isti`dadu li Yaumi Ar-Rahil (senantiasa mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian dan
kembali menghadap Allah Swt.).
Jika merujuk pada peristiwa kemenangan umat Islam pasca perang Badr, bahwa puasa adalah perang yang sesungguhnya dibandingkan dengan perang Badr, yang dianggap sahabat sebagai perang yang sangat besar dari beberapa perang yang dilakukan. Padahal Rasulullah mengatakan bahwa ada perang yang lebih besar dibandingkan dengan perang Badr, yaitu Perang Melawan Hawa Nafsu. Puasa (shaum) yang dilakukan umat yang beriman saat ini adalah perang besar, tentu ada persiapan.
Apakah kita sudah siap berperang melawan hawa nafsu??? Jika benar adanya, bagaimana dengan puasa dengan harga yang melambung tinggi yang sering terjadi pada saat menghadapi dan saat bulan puasa (inflasi). Tidak logis antara menahan hawa nafsu melalui puasa dengan harga melambung tinggi. Ada kesalahan teori dan konsep puasa, atau umat Islam tidak memahami konsep dan aplikatif puasa, atau mungkin puasa yang pernah dilakukan para Rasulullah sudah alamiah dengan kenaikan harga. Hipotesa-hipotesa tersebut harus dipahami dan digali informasi demi memperoleh hikmah puasa agar umat Islam tidak gagal dalam puasa yang saat ini puasa selalu berdampak pada kenaikan harga.
Padahal aplikasi puasa adalah tidak makan dan tidak minum yang seharusnya menurunkan tingkat harga barang termasuk sembako atau tetap stabil. Bahkan keluhan masyarakat terhadap kenaikan harga memberikan suatu konsep baru bahwa puasa umat Islam hari ini bersikap konsumtif.
Bagaimana konsep taqwa? Sepertinya umat Islam hari ini sudah lupa bahwa taqwa adalah tujuan dari puasa bagi orang beriman. Jika harapan taqwa menjadi tujuan puasa, tentu harus menghasilkan nilai yang disampaikan Ali Bin Abi Thalib, atau ada nilai kemenangan pasca perang (Badr), disaat Rasulullah memerintahkan umat Islam untuk berpuasa sebelum perang (Badr), yang menghasilkan kemenangan. Tentu kemenangan dari hasil puasa tentu harus dirasakan oleh umat Islam.
Para ulama yang menyampaikan risalah kenabian dan kerasulan mengutamakan tema-tema yang berkaitan
dengan keimanan, puasa (shaum) dan ketaqwaan, karena ini saling berkaitan. Mengingat ada saja oknum atau iklan-iklan yang menawarkan konsumtif bagi umat Islam sehingga melupakan konsep dasar puasa. Ada tawaran bisnis, ada tawaran kesehatan, bahkan ada tawaran balas dendam siang puasa dan malam makan minum banyak. Apalagi setelah Ramadhan selesai, berbagai penyakit yang rentan terjadi setelah Lebaran, di antaranya: Diare, Sakit maag, Hipertensi, Asam urat, Kolesterol tinggi, Diabetes, Radang tenggorokan, Nyeri otot (data dari Dinas Kesehatan Pemrov. Sumatera Utara).
Silahkan berbisnis, silahkan sehat namun tidak harus konsumtif. Teori dan konsep puasa yang seharusnya mampu melimpahkan makanan dan minuman karena ada beberapa jam umat Islam tidak makan dan minum, mungkin sekitar 13 jam, bahkan tidak sempat mengkonsumsi berlebih-lebihan karena terus diisi ibadah lainnya seperti sholat tarawih, witir, kajian dan ngaji. Namun ini tidak terjadi di negara-negara muslim. Sebenarnya tidak layak inflasi selalu terjadi pada bulan Ramadhan. Inflation is not logic in Ramadhan.
Dari grafik di atas, adalah data permintaan, harga dan persediaan bahwa terjadi kenaikan permintaan D 0 ke D 1 walaupun persediaan tetap tersedia karena adanya persediaan oleh pedagang. Para pengusaha telah menyiapkan segala sesuatunya jauh-jauh hari untuk menyiapkan kepada konsumen di bulan Ramadhan. Walaupun hukum permintaan terjadi karena adanya keinginan konsumen untuk membeli barang, diiringi dengan kemampuan untuk membelinya. Bahkan hukum permintaan tidak hanya terjadi jika harga yang ditawarkan murah, namun juga dengan harga mahal. Maka berbagai sumber pendanaan dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan selama bulan puasa seperti tabungan, pegadaian harta benda bahkan utang. Namun grafik ini tidak menyebutkan dari
mana masyarakat memperoleh dananya untuk kebutuhan dan keinginan di bulan puasa.
Bagaimana ketaqwaan yang seharusnya (mudah-mudahkan) diperoleh orang beriman. Sebagaimana yang penulis sampaikan sebelumnya, ada peran ulama, para da’i atau pendakwah untuk fokus selama Ramadhan menyampaikan makna keimanan, puasa (shaum) dan ketaqwaan selama sebulan penuh agar pemahaman dan implementasi benar-benar searah. Tidak mudah mendapatkan ilmu tentangnya, maka perlu kajian yang komprehensif. Misalnya terkait dengan iman (orang yang beriman) sebagai mukallaf yang diperintahkan oleh Allah Swt. untuk berpuasa, yang dengannya akan memperoleh ketaqwaan.
Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam Bahzatul Wasail, keimanan secara terminologi adalah membenarkan semua yang dibawa oleh Nabi SAW berasal dari Allah SWT seperti beriman kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan takdir yang baik maupun yang buruk dari Allah Swt.
Kebenaran harus dijalankan dari awal pemahaman sampai pada implementasinya, melalui kajian-kajian di bulan puasa terus dilakukan. Jika ini terjadi maka hukum puasa tidak lagi terjadi mengalami inflasi, apalagi penyakit-penyakit yang timbulkan karena kelebihan makanan dan minuman, sebagaimana puasa-puasa (shaum) yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Semoga puasa (shaum) ini, tahun ini dna tahun-tahun berikutnya kita adalah orang-orang yang dimaksudkan oleh Allah Swt. yaitu orang-orang yang bertaqwa. Amiin.
**** penulis, Oleh: Dr. Salman Nasution, SE.I.,MA, Dosen Ekonomi Syariah di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara