Yogyakarta, InfoMu.co – Sejak zaman kolonial sampai dengan sekarang, pertanian posisinya di Indonesia sering dianggap hanya sebagai komplementer. Kebijakan untuk petani dan pertanian Indonesia seringnya juga hanya berpihak kepada pemilik-pemilik lahan besar.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir di acara Refleksi Hari Tani Nasional yang diselenggarakan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah pada, Jumat (24/9) menyebut, tidak ada kebijakan afirmatif yang menjadikan pertanian sebagai Soko Guru pembangunan Indonesia.
Keadaan tersebut menurutnya terus berulang-ulang, di setiap rezim penguasa sering ditemui kebijakan tersebut. Mengutip Clifford Geertz, Haedar menyebut sejak tahun 1960’an telah terjadi involusi pertanian. Di mana dunia pertanian mengalami stagnan bahkan mengalami penurunan, kalah oleh kepentingan lain seperti industri, infrastruktur, properti, dan lainnya.
“Jalur hijau untuk pertanian, tapi beberapa tahun kemudian jalur hijau itu berubah jadi pabrik, lalu milik menjadi perumahan, atau berubah juga menjadi pemilik-pemilik modal,” ungkapnya.
Kejadian tersebut membuat Haedar bertanya, kira-kira sampai kapan pemerintah konsisten mempertahankan lahan pertanian ?. Realitas tersebut, imbuhnya, menunjukkan fenomena lain yang tidak kalah menarik, yakni kalahnya petani rakyat dengan petani kapital.
Fenomena ini yang kemudian oleh Geertz disebut sebagai ‘warisan kemiskinan’, di mana lahan keluarga habis di bagi-bagi kepada anak turunnya, dan lama kelamaan lahan tersebut akan hilang. Di mana kemiskinan melahirkan kemiskinan, melahirkan kemiskinan baru dan mereproduksi kemiskinan yang lebih luas.
“Kondisi ini harus menjadi masukan kepada negara, buat pemerintah saat ini dan kedepan. Bahkan juga menjadi perhatian bagi para politisi yang itu mewakili rakyat, partai-partai politik,” harap Haedar.
“Kami menghimbau para politisi, wakil rakyat, dan pemerintah untuk memiliki perhatian sangat penting kepada pertanian dan dunia petani karena realitasnya bagian alamiah bangsa Indonesia yang tidak bisa kita jadikan menjadi bagian yang terpinggirkan, dan tentu memerlukan kebijakan proaktif yang lebih progresif,” imbuhnya. (muhammadiyah.or.id)