Home / Opini / Jejak Kaderisasi Muhammadiyah

Jejak Kaderisasi Muhammadiyah

Amrizal

Jejak Kaderisasi Muhammadiyah

(Tulisan ke-24 Terkait dengan Kader )

Oleh: Amrizal, S.Si., M.Pd – Wakil Ketua MPKSDI PWM Sumut / Dosen Unimed

Salah satu keunggulan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern di Indonesia adalah kemampuannya bertahan lebih dari satu abad dengan energi yang relatif stabil. Kekuatan tersebut terletak pada kesungguhan Muhammadiyah dalam menyiapkan kader. Sejak masa KH. Ahmad Dahlan hingga kini, Muhammadiyah memahami bahwa organisasi bukan hanya sekadar amal usaha, program kerja, atau bangunan fisik yang tampak megah. Lebih dari itu, Muhammadiyah adalah manusia—para kader yang menghidupkan nilai, menyalakan semangat, dan meneruskan perjuangan.

Haedar Nashir dalam bukunya Islam Berkemajuan menegaskan bahwa keberlangsungan Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari komitmen kaderisasi yang terus-menerus dilakukan. Tanpa kaderisasi, Muhammadiyah hanya akan dikenang sebagai nama besar dalam sejarah. Sebaliknya, melalui kaderisasi, Muhammadiyah hadir sebagai gerakan yang hidup, relevan, dan dinamis dalam menghadapi perubahan zaman.

Kesadaran Awal: Kader sebagai Jantung Gerakan
Sejak berdiri pada 1912, KH. Ahmad Dahlan telah menaruh perhatian besar pada lahirnya generasi penerus. Langkah-langkahnya sederhana sekaligus revolusioner: mengajarkan Al- Qur’an dengan metode baru, mengajak murid-murid berdiskusi, dan membiasakan musyawarah
dalam setiap pengambilan keputusan. Sejarawan Alfian (1989) mencatat bahwa cara-cara KH. Ahmad Dahlan inilah yang menjadikan Muhammadiyah berbeda dengan organisasi Islam lain pada zamannya. Surau kecil di Kauman tidak hanya menjadi tempat mengaji, tetapi juga berfungsi sebagai “laboratorium kaderisasi” yang melahirkan tokoh-tokoh awal Muhammadiyah. Namun, seiring meluasnya organisasi dan bertambah kompleksnya amal usaha, proses kaderisasi tidak lagi cukup berjalan secara alamiah. Diperlukan sistem, pedoman, serta lembaga khusus yang mengelolanya.

1968: Muktamar Yogyakarta dan Lahirnya BPK
Tonggak penting terjadi pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta. Forum tersebut melahirkan keputusan strategis untuk membentuk Badan Pendidikan Kader (BPK). Keputusan ini muncul dari kesadaran bahwa generasi penerus harus disiapkan secara
lebih terarah dan sistematis. Pada saat yang sama, muncul istilah Darul Arqam, diambil dari rumah sahabat Nabi, Arqam bin Abi Arqam, tempat Rasulullah ﷺ membina generasi Islam awal. Dalam catatan Ensiklopedi Muhammadiyah (Burhani, 2020), Darul Arqam diposisikan sebagai simbol perkaderan: wadah penanaman ideologi, nilai, serta militansi kader. Hingga kini, istilah tersebut tetap lekat  dalam ingatan kader Muhammadiyah sebagai ikon perkaderan yang sarat makna historis dan spiritual.

1989: SPM Pertama sebagai Peta Jalan
Dua dekade setelah BPK berdiri, Muhammadiyah melangkah lebih jauh. Pada 1989, BPK Pimpinan Pusat Muhammadiyah (periode 1985–1990) menerbitkan buku Sistem Perkaderan Muhammadiyah (SPM). Buku ini menjadi tonggak bersejarah karena untuk pertama kalinya
Muhammadiyah memiliki pedoman tertulis mengenai kaderisasi. Menurut Agung Darnato, SPM ibarat peta jalan yang memberi arah bagi cabang dan ranting dalam menyelenggarakan kaderisasi dengan standar yang sama.

1997: Revisi oleh BPKPAMM
Perubahan zaman menuntut penyesuaian. Pada Muktamar ke-43 di Aceh, BPK diperluas menjadi Badan Pendidikan Kader dan Pembinaan Angkatan Muda Muhammadiyah (BPKPAMM). Perubahan ini menegaskan pentingnya sinergi antara perkaderan di persyarikatan dan organisasi otonom (ortom). Di bawah BPKPAMM, SPM direvisi dan diterbitkan ulang pada 1997. Revisi ini memperkuat keterkaitan antara perkaderan formal Muhammadiyah dengan ortom seperti Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Tapak Suci, dan Hizbul Wathan. Dengan demikian, proses kaderisasi menjadi lebih terpadu dan menyeluruh.

2000: Dari Perkaderan ke Pengkaderan
Transformasi besar kembali terjadi pada Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta. BPKPAMM resmi berganti menjadi Majelis Pengembangan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI). Pergantian nama ini mencerminkan perluasan fungsi, tidak hanya fokus pada aspek ideologis, tetapi juga pengembangan kapasitas sumber daya manusia Muhammadiyah. Pada periode ini pula istilah “perkaderan” diganti menjadi “pengkaderan”. Namun, tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Amien Rais dan Syafi’i Ma’arif menekankan bahwa istilah “perkaderan” memiliki makna lebih luas daripada sekadar pelatihan. Karena itu, pada revisi berikutnya Muhammadiyah kembali menggunakan istilah “perkaderan” sebagai penegasan bahwa bahasa mencerminkan visi dan ruh organisasi.

Revisi demi Revisi: Menyegarkan Nafas Kaderisasi
Hingga kini, SPM telah melalui empat kali revisi besar:
 1989: Penerbitan SPM pertama.
 1997: Revisi oleh BPKPAMM.
 2007: Revisi ketiga, menekankan adaptasi terhadap perubahan sosial, politik, dan budaya.
 2015: Revisi keempat, hasil Muktamar ke-46 Yogyakarta, dengan fokus pada kaderisasi di era globalisasi dan digitalisasi.

Setiap revisi bukan sekadar penyempurnaan teknis, tetapi juga refleksi ideologis. Haedar Nashir menyebut bahwa kaderisasi harus tetap dinamis: berpijak pada nilai Islam berkemajuan sekaligus responsif terhadap perubahan zaman.

Nomenklatur yang Berganti
Selain isi SPM, lembaga pengelola kaderisasi juga mengalami perubahan nama:
 Muktamar ke-45 Malang (2005): MPKSDI berubah menjadi Majelis Pendidikan Kader dan Sumber Daya Insani.
 Muktamar ke-48 Surakarta (2022): MPKSDI kembali berganti menjadi Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani.

Nama boleh berubah, tetapi semangatnya tetap sama: memastikan Muhammadiyah selalu melahirkan kader baru yang siap meneruskan perjuangan.

Refleksi: Menjaga Api yang Tak Pernah Padam
Sejarah panjang kaderisasi Muhammadiyah adalah kisah kesetiaan: kesetiaan pada amanah dakwah, pada nilai Islam berkemajuan, serta pada komitmen melahirkan generasi penerus. Dari Darul Arqam hingga revisi keempat SPM, dari BPK hingga MPKSDI, semuanya menjadi
bukti kesungguhan Muhammadiyah menjaga estafet perjuangan. Jika hari ini Muhammadiyah tetap kokoh dengan ribuan amal usaha dan jutaan anggota, itu bukan semata-mata karena faktor kebetulan, melainkan karena kaderisasi selalu hadir dalam denyut nadi organisasi.
Kaderisasi adalah investasi jangka panjang. Hasilnya mungkin tidak tampak seketika, tetapi nyata dalam keberlangsungan kepemimpinan, dalam hadirnya kader-kader tangguh di tengah masyarakat, serta dalam kemampuan Muhammadiyah menjawab tantangan zaman.

Kaderisasi di Muhammadiyah bukan sekadar program, melainkan napas yang menjaga organisasi tetap hidup. Ia adalah lentera yang memastikan api perjuangan tidak padam, bahkan di tengah tantangan zaman. Selama Muhammadiyah konsisten melahirkan kader, insyaAllah cahaya Islam berkemajuan akan terus bersinar, memberi arah, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a’lam bish-shawab

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *