Enam Pengorbanan Kader dan Pimpinan Muhammadiyah Menghidupkan Organisasi dengan Jiwa, Bukan Sekadar Jabatan
( Tulisan ke-3 dari Beberapa Tulisan)
Oleh: Amrizal., S.Si., M.Pd – (Wakil Ketua MPK SDI PWM Sumut)
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”– KH. Ahmad Dahlan. Kutipan monumental dari Sang Pendiri Muhammadiyah ini tidak sekadar menjadi jargon ideologis, tetapi merupakan fondasi etika berorganisasi yang harus terus dihayati. Dalam kehidupan ber-Muhammadiyah, pengorbanan adalah nafas perjuangan. Sebab, organisasi ini tidak dibangun oleh kata-kata semata, melainkan oleh tetesan keringat, waktu, tenaga, pemikiran, materi, bahkan air mata para pendahulu yang tidak pernah meminta balasan.
Pada titik inilah, para kader dan pimpinan Muhammadiyah dituntut untuk merenung ulang: sudah sejauh mana pengorbanan yang kita berikan untuk Muhammadiyah?
Bukan untuk mengejar kedudukan, bukan pula untuk kehormatan duniawi, melainkan sebagai bentuk bakti
kepada Islam dan umat melalui jalan organisasi. Dalam konteks penguatan kaderisasi dan konsolidasi kepemimpinan, sekurangnya terdapat enam bentuk pengorbanan utama yang menjadi pilar kontribusi kader dan pimpinan dalam menunaikan tugas-tugas gerakan.
1. Korban Waktu
Waktu adalah aset paling berharga yang dimiliki manusia. Sayangnya, tidak sedikit pimpinan dan kader yang menjadikan Muhammadiyah sekadar selingan dari rutinitas harian. Organisasi hanya diberi sisa-sisa waktu, bukan waktu terbaik. Padahal organisasi membutuhkan kesungguhan dan ketekunan, bukan sekadar kehadiran simbolik.
Allah Swt. mengingatkan dalam QS. Al-‘Ashr bahwa manusia berada dalam kerugian kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Pengelolaan waktu yang baik dalam berorganisasi adalah cermin dari kedalaman iman dan tanggung jawab terhadap amanah. Muhammadiyah membutuhkan pimpinan yang tidak hanya punya kesediaan waktu, tetapi yang meluangkan waktu secara terencana, penuh kesadaran dan komitmen.
2. Korban Tenaga
Gerakan ini dibangun dengan kerja keras. Di balik berdirinya amal usaha, terlaksananya kegiatan dakwah, dan bergeraknya roda organisasi, terdapat sumbangsih tenaga kader-kader yang ikhlas bekerja. Mereka tidak pernah menghitung-hitung lelah, tidak pula menimbang apakah pekerjaannya tampak atau tersembunyi.
Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam hal ini. Beliau turut menggali parit, mengangkat beban, bahkan membersihkan tempat ibadah dengan tangannya sendiri. Jiwa kemandirian dan keberdayaan inilah yang perlu hidup dalam jiwa para pimpinan dan kader. Pengorbanan tenaga bukan semata-mata tentang kerja fisik, melainkan kesediaan untuk hadir, ikut andil, dan menyelesaikan amanah hingga tuntas.
3. Korban Pikiran
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaruan dan tajdid. Sejarahnya adalah sejarah pemikiran. Maka, kader dan pimpinan Muhammadiyah tidak cukup hanya menggerakkan program, tetapi juga harus hadir dengan gagasan. Membaca tantangan zaman, menjawab kebutuhan umat, dan menawarkan solusi berbasis nilai-nilai Islam Berkemajuan.
Berpikir untuk organisasi adalah bentuk kontribusi intelektual yang strategis. Ide-ide segar, nalar kritis, dan kemampuan memproyeksikan masa depan adalah bagian dari jihad pemikiran yang sangat dibutuhkan dalam menyusun arah kebijakan dan strategi dakwah Muhammadiyah hari ini. Kader yang berpikir adalah kader yang memberi kehidupan pada visi gerakan.
4. Korban Materi
Dalam setiap langkah perjuangan, dukungan materi adalah kebutuhan nyata. Tidak ada kegiatan dakwah yang berjalan tanpa pembiayaan. Amal usaha yang mandiri sekalipun membutuhkan dukungan filantropi kader dan simpatisan. Rasulullah SAW memberikan teladan dalam hal pengorbanan harta. Demikian pula para sahabat
seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Mereka tidak sekadar memberi, tetapi memberi yang terbaik. Demikian pula kader-kader Muhammadiyah masa kini. Meski tak selalu hadir secara fisik, banyak dari mereka yang tetap menyumbangkan sebagian hartanya untuk menopang gerakan. Ini adalah kontribusi nyata yang patut dihargai, karena ia menyambung hidup organisasi dan menyuburkan amal saleh.
5. Korban Perasaan
Pengorbanan yang tak kasat mata, tetapi sering kali paling berat adalah pengorbanan perasaan. Ketika kerja keras tidak diapresiasi, ketika ide ditolak, ketika disalahpahami, bahkan ketika difitnah—namun tetap bertahan dan istiqamah. Itu semua hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mencintai Muhammadiyah dengan sepenuh hati. Pemimpin dan kader perlu memiliki keteguhan jiwa. Bahwa tidak semua pengorbanan harus diakui manusia. Ada yang cukup Allah saja yang mengetahui. Maka, diperlukan spiritualitas yang kokoh untuk menguatkan hati dan memperpanjang langkah.
6. Korban Ego dan Kepentingan Pribadi
Pengorbanan ego adalah bentuk pengorbanan batiniah yang paling dalam. Ia menyentuh inti dari spiritualitas dan keikhlasan seseorang. Dalam praktik bermuhammadiyah, baik dalam struktur organisasi, kerja kolektif, maupun kegiatan dakwah, sering kali hambatan bukan terletak pada kurangnya dana atau tenaga, melainkan benturan ego dan kepentingan pribadi. Ego muncul dalam bentuk: Merasa paling benar, Enggan menerima kritik, Mementingkan posisi atau jabatan, Tidak rela jika ide pribadinya tidak diterima, Sulit mengalah demi maslahat
bersama. Padahal Allah Swt. memerintahkan kita untuk meletakkan kepentingan umum dan ukhuwah di atas ego pribadi: ” Dan orang-orang yang telah menyiapkan rumah dan keimanan sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka dan mereka tidak merasa dalam hati mereka keinginan terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka, sekalipun mereka sangat membutuhkan” (QS. Al-Hasyr: 9)
Inilah yang dalam istilah tasawuf disebut dengan “tazkiyatun nafs”—membersihkan jiwa dari penyakit egoisme (ujub, takabbur, riya’, dan hasad). Dalam konteks bermuhammadiyah, tazkiyatun nafs menjelma dalam sikap rendah hati, kolaboratif, dan mendahulukan maslahat jamaah daripada keinginan pribadi. Jika mengorbankan materi bisa dilakukan dengan menulis nominal, dan mengorbankan waktu bisa dijadwalkan, maka mengorbankan ego tidak punya waktu dan bentuk—ia selalu hadir di setiap ruang keputusan. Seorang kader bisa sibuk berjam-jam, mengeluarkan uang jutaan, tapi gagal menaklukkan egonya. Ia menjadi aktif secara formal, tetapi kering secara spiritual.
Kader seperti ini sulit menyatu dalam gerakan kolektif, karena ia selalu merasa sebagai pusat. Korban ego adalah korban yang membebaskan. Bebas dari ambisi pribadi, dari hasrat dominasi, dari kebiasaan ingin menang sendiri. Inilah bentuk tertinggi dari pengorbanan: mengalah demi maslahat, berjiwa besar dalam kritik, dan mengabdi tanpa pamrih. Nabi Muhammad ﷺ memberikan teladan luar biasa tentang ini. Dalam peristiwa Perjanjian
Hudaibiyah, meskipun perjanjian itu tampak merugikan Islam, Rasulullah menahan ego, menerima syarat-syarat berat demi maslahat jangka panjang. Itulah pengorbanan ego yang membuka jalan kemenangan.
Sebagaimana pesan dari Sayyid Quthb: “Islam tidak akan tegak hanya dengan darah, harta, dan tenaga. Tapi dengan jiwa yang tunduk dan hati yang bersih dari keinginan selain Allah” . Dengan demikian, selain lima pengorbanan utama dalam bermuhammadiyah, pengorbanan ego dan kepentingan pribadi adalah elemen penting keenam yang harus selalu dijaga. Justru dari sinilah kualitas pengorbanan yang lain diuji: apakah waktumu, tenagamu, hartamu, dan perasaanmu engkau berikan dengan ikhlas? Atau masih ada kepentingan tersembunyi di baliknya?
Pengorbanan ego adalah ujian tertinggi bagi seorang kader. Dan hanya mereka yang lulus dari ujian ini yang benar-benar layak disebut mujahid dakwah.
Menyeimbangkan dan Mengelola Pengorbanan
Tidak semua kader dan pimpinan memiliki kekuatan di semua sisi. Ada yang terbatas waktu, tapi lapang dalam harta. Ada yang miskin materi, tapi kaya ide dan tenaga. Maka, kunci penting dalam organisasi adalah kolaborasi dan saling melengkapi.
Kader yang kuat di satu aspek, harus terbuka bekerja sama dengan kader lain.
Jangan saling menuntut, tapi saling mendukung.
Jangan menghakimi keterbatasan, tetapi kuatkan dengan penghargaan.
Intinya: jangan ada kader yang tidak berkontribusi. Sekecil apapun pengorbanan, jika dilakukan ikhlas dan konsisten, itu bernilai besar di mata Allah dan memberi dampak bagi gerakan.
Menghargai Mereka yang Berkorban
Muhammadiyah perlu membudayakan apresiasi. Kader-kader yang telah berkontribusi harus diberi ruang untuk disebut dan disyukuri. Baik lewat forum resmi, tulisan, maupun sekadar ungkapan terima kasih yang tulus. Apresiasi bukan pujian, tetapi bentuk penguatan moral organisasi. Dengan budaya menghargai, kader akan tumbuh, semangat akan bertambah, dan semarak dakwah akan terus menyala.
Karena Memimpin Itu Berkorban
Kepemimpinan dalam Muhammadiyah bukan soal jabatan atau nama. Tapi soal keberanian untuk memberi, tanpa pamrih. Soal hadirnya kesadaran bahwa setiap kita adalah bagian dari perjuangan Islam melalui gerakan ini. Maka, kepemimpinan sejati adalah yang sanggup mengorbankan ego dan waktu, harta dan pikiran, bahkan perasaan demi kebaikan bersama. “Barang siapa menanamkan pengorbanan dalam gerak Muhammadiyah hari ini, ia sedang menyiram pohon dakwah yang buahnya akan dinikmati generasi esok.”
Wallahu a’lam bish-shawab. (***)