Covering Muhammadiyah dan Aisyiyah
Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Tugas seorang sejarawan adalah menghidupkan yang telah mati. Dua karya sepasang, Mu’arif Covering Muhammadiyah (2020) dan Mu’arif & Hajar Nur Setyowati Covering Aisyiyah (2020) masing-masing diterbitkan IRCiSoD adalah contoh bagaimana Muhammadiyah sebagai sejarah dibangkitkan bagi para pembaca hari ini. Buku ini agaknya punya nilai khusus bagi aktivis Muhammadiyah dan Aisyiyah. Supaya tidak gamang melihat kondisi zaman dan tidak meninggalkan (lagi) warisan-warisan kaya organisasi ini. Jika membaca secara seksama, dua buku ini adalah bentuk keberanian menulis sejarah. Tidak mudah menulis sejarah organisasi yang telah mapan. Karena seorang sejarawan insider selalu dibebani dan terbebani oleh ekspektasi yang justru berada di luar kerja kesarjanaannya.
Jika bernasib baik, seharusnya dua buku ini memperkuat lagi tren penulisan sejarah di Muhammadiyah yang timbul tenggelam tapi juga sempat sangat serius pada tingkat inisiatif dan apresiasi publik. Selama masa itu, banyak terbit buku-buku bagus sejarah Muhammadiyah lokal. Upaya-upaya penulisan sejarah Muhammadiyah baik lokal dan pusat, harus lebih dihargai. Sebab, banyak sumbangan riset kesejarahan yang sering diabaikan. Apalagi kini ruang publik di media sosial kita kelihatannya capek dengan kata “sejarah.” Bagi sebagian mereka, sejarah adalah masa lalu. Bahkan juga dianggap sebagai suatu “identitas yang membebani” karena membuat generasi berikutnya kesulitan bersikap pragmatis. Kita perlu khawatir jika sejarah tidak lagi punya tempat di mana-mana. Kecuali sebagai program, kumpulan arsip administrasi, anekdot-anekdot dan suatu romantisme yang tidak banyak berfungsi praktis. Singkatnya sejarah adalah beban.
Dua buku ini membuktikan bahwa sejarah adalah cara menemukan kematangan kepribadian organisasi. Muhammadiyah sudah berusia satu abad lebih. Organisasi ini telah hidup dari generasi yang berbeda-beda. Telah merespon perubahan sosial, ekonomi dan politik yang berbeda-beda. Organisasi ini telah mengasuh berbagai jenis kelas sosial muslim yang dibayangkan oleh KH. Ahmad Dahlan sangat berkemajuan dalam bidang agama, sains, humaniora, filsafat dan ekonomi. Semua kerja-kerja berkemajuan itu, terserap ke dalam ruang sejarah. Tanpa meneliti dan memaknai ulang, dokumentasi inovasi ekonomi, sains dan keagamaan hanya menjadi fakta tekstual. Tanpa pembaca yang punya latar belakang memadai untuk mendedah, arsip hanya merupakan kertas, foto, rekaman audio yang menunggu waktu dibuang.
***
Buku Covering Muhammadiyah dan Covering Aisyiyah merangkum topik, kejadian dan wacana dalam sejarah Muhammadiyah. Tapi ada dua hal penting yang patut diapresiasi. Pertama, sebagai suatu buku yang ditulis oleh dua orang sejarawan insider, buku ini sangat objektif. Sehingga mampu berdebat dengan temuan-temuan penelitian sejarah lain secara adil dan imbang. Sebagai contoh, penelitian ini mendebat sumber sejarah yang dipakai oleh Takashi Shiraishi dalam buku Zaman Bergerak. Mu’arif pada Covering Muhammadiyah melihat konstruksi “zaman bergerak” pada karya Shiraishi masih lemah. Terutama ketika Shiraishi hendak menunjukkan ketegangan antara kubu Sarekat Islam Merah (SI-Merah) dan Sarekat Islam Putih (SI-Putih). Muhammadiyah yang jadi bagian tidak langsung selama ketegangan itu terjadi seolah-olah cenderung mendukung agenda kaum kapitalis pergerakan. Kekurangcermatan Shiraishi agaknya berdampak pada cara orang memahami Muhammadiyah selama periode itu. Mu’arif mengkritik penggunaan surat kabar Doenia Baroe oleh Shiraishi untuk menceritakan peristiwa peminjaman uang kubu SI-Putih.
Kedua, buku Covering Muhammadiyah dan Covering Aisyiyah berupaya berada di tengah-tengah, di antara pencapaian-pencapaian literatur sejarah di luar Muhammadiyah dan kekayaan dokumen di dalam Muhammadiyah yang hampir sebagian besarnya belum dimanfaatkan. Dalam konteks ini, Covering Muhammadiyah dan Covering Aisyiyah adalah contoh tepat bagaimana aktivis Muhammadiyah melihat sejarah organisasinya melalui sudut yang berada di tengah tadi. Pada satu sisi, Muarif dan Hajar Nur Setyowati tidak berupaya apologetis dengan sejarah Muhammadiyah. Pada sisi lain mereka mampu mendayagunakan arsip-arsip organisasi untuk menunjukkan banyak celah peristiwa sejarah bangsa yang luput ditulis oleh akademisi di luar. Kita telah belajar banyak hal misalnya pada sejarah era pembentukan republik yakni antara 1940 hingga 1945. Selama beberapa saat, peran aktivis Muhammadiyah seolah lenyap ditelan tesis kebangkitan nasionalis-sekuler. Contoh yang tidak kalah penting ditunjukkan dalam Covering Aisyiyah. Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati berhasil melacak nama-nama penggerak Aisyiyah masa awal. Tidak semua aktivis hari ini pernah mendengar nama-nama itu. Misalnnya, “empat perempuan Bani Hasyim.” Sangat menarik bahwa dalam Covering Aisyiyah ada sedikit titik terang mengenai siapa sebenarnya sosok bernama Jasimah. Apakah Jasimah sama dengan Bu Hadji Jusak?
***
Buku Covering Muhammadiyah dan Covering Aisyiyah adalah komitmen penulisan yang layak diapresiasi. Ketekunan untuk menghubungkan nama, peristiwa, simpang-siur pada sejarah lisan, dan konstruksi sejarah di luar arsip Muhammadiyah, menunjukkan bahwa ini adalah buku sejarah terbaik untuk segmen ini.