Apa Hukumnya Ibadah Haji Dibiayai APBD?
PERTANYAAN
Bolehkan pimpinan organisasi / tokoh masyarakat / umum menerima / melaksanakan ibadah Haji dengan biaya dari APBD dan tidak disahkan oleh DPRD setempat, dan berangkat sebagai jama’ah biasa bukan sebagai petugas dan uang yang dipakai itu adalah uang rakyat, sementara rakyat saat ini sangat menderita, akibat kebanjiran, longsor tanah dan sebagainya? Dan yang berangkat itu sebenarnya mampu, sekalipun tanpa menggunakan biaya dari APBD. Mohon sertakan dalil dan dasar hukumnya? Bolehkah kita melaksanakan ibadah Haji dengan didanai oleh orang yang berbeda agama dengan kita? Mohon dalilnya? Dan apakah yang dimaksud dengan man istathaa’a ilaihi sabiilan ?
Drs. H. Ilhamsyah Pasaribu, Barus Pasar Tapanuli Tengah Sumatera Utara
JAWABAN
Pertanyaan Saudara yang terdiri dari tiga pertanyaan, kami jawab dalam satu paket karena ketiga pertanyaan tersebut saling berkaitan. Ibadah haji adalah salah satu dari rukun Islam yang lima, yang wajib dikerjakan oleh setiap muslim yang mampu, sekali dalam seumur hidup, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا … (Ali Imran [3]: 97) “… Ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah …” (Ali Imran [3]: 97)
Dimaksudkan dengan istitha’ah dalam firman-Nya “man istathaa’a ilaihi sabiilan” ialah mempunyai bekal dan mampu dalam perjalanan, sebagaimana disebutkan dalam suatu hadis: عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا السَّبِيْلُ ؟ قَالَ : الزَّادُ و الرَّاحِلَةُ . (رواه الدار قطني وصححه الحاكم، الصنعاني 2: 179) “Dari Anas r.a. ia berkata: Rasulullah SAW ditanya; ‘Hai Rasulullah, apakah yang dimaksudkan dengan as-sabil (jalan)?’ Beliau menjawab; ‘bekal dan perjalanan’.” (Ditakhrijkan oleh ad-Daruqutniy, dan dinilai sahih oleh al-Hakim; as-San’aniy, 1960, Subulus Salam, II: 179).
Dari hadis tersebut, jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘istitha’ah’ ialah mampu dalam perjalanan dan perbelanjaan, atau bekal. Uang belanja cukup bagi dirinya dan bagi keluarga yang ditinggalkan, aman dalam perjalanan, dan dirinya dalam keadaan sehat (as-San’aniy, 1960: II: 179).
Apakah mengerjakan haji dengan biaya APBD atau dibiayai orang yang tidak seagama sah hajinya? Ibadah haji adalah suatu ibadah yang memerlukan biaya besar, tetapi kita harus berhati-hati dalam membiayai ibadah haji, sebab Allah tidak akan menerima ibadah yang dibiayai dengan harta yang tidak bersih, sebagaimana ditegaskan dalam suatu hadis: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا … (أخرجه مسلم، 1: 65\1015) “Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda; ‘Hai manusia, sesungguhnya Allah adalah Thayyib (bersih dan suci), Dia tidak menerima kecuali yang thayyib …’.” (Ditakhrijkan oleh Muslim, I, No. 65/1015).
Dari hadis tersebut jelaslah bahwa biaya haji harus diambilkan dari harta yang bersih, yang tidak tercampur harta yang kotor, misalnya harta hasil curian, hasil korupsi, atau hasil kejahatan lainnya. Maka jika Saudara berkeyakinan bahwa dana APBD tidak thayyib, sebaiknya tidak menggunakannya, atau jika ragu-ragu, hendaknya ditinggalkan dan carilah yang benar-benar meyakinkan kebersihannya.
Kami sangat setuju dengan pendapat Saudara bahwa sebaiknya dana APBD tidak digunakan untuk membiayai haji bagi orang-orang atau pejabat yang sebenarnya mampu membiayai haji dengan harta sendiri. Maka jika mempunyai program menghajjikan karyawan, hendaknya diseleksi dengan ketat; yang dihajjikan hendaknya karyawan yang berprestasi dan yang tidak mampu.
Sumbangan dari non-Muslim untuk menunaikan haji, kami berpendapat sangat tergantung motivasinya. Akan tetapi, karena tidak mudah mengetahui motivasi seseorang, maka sebaiknya tidak menerimanya, apalagi untuk ibadah haji.
Fatwa Tarjih, Nomor 11 Tahun 2003
(tabligh)