Anda Perlu Tahu, Ini Dia Titik Kritis Bahan Halal
INFOMU.CO | Medan – Anda perlu tahu terkait dengan persoalan makanan halal. Kali ini, Ketua Halal Center UMSU Dr. Desi Ardila menjelaskan seputar titik kritis bahan halal. Karena banyak orang tak paham apa yang dimaksud dengan makanan halal. itu
Titik kritis bahan halal adalah kondisi atau tahapan dalam suatu produk yang berpotensi menimbulkan keraguan terhadap kehalalannya. Hal ini bisa terjadi karena adanya kemungkinan kontaminasi, pencampuran, atau penggunaan bahan yang berasal dari sumber yang tidak jelas
status kehalalannya. Dalam proses produksi, titik kritis menjadi perhatian utama agar setiap bahan yang digunakan benar-benar sesuai dengan ketentuan syariat Islam.
Jelas Desi Ardina, salah satu contoh titik kritis adalah bahan baku yang berasal dari hewan. Hewan yang halal sekalipun, jika tidak disembelih sesuai syariat, maka statusnya menjadi haram. Selain itu, bahan tambahan pangan seperti gelatin, emulsifier, enzim, dan flavoring sering kali menjadi titik kritis karena bisa berasal dari hewan halal maupun haram, serta dari proses yang mungkin terkontaminasi.
Titik kritis juga bisa muncul dalam proses penyimpanan dan distribusi. Bahan yang pada dasarnya halal bisa berubah status jika disimpan bersama atau bersentuhan dengan bahan haram. Oleh karena itu, standar kebersihan, pemisahan fasilitas, dan pengawasan ketat sangat diperlukan untuk menjaga kehalalan produk.
Selain itu, proses pengolahan juga sering menjadi titik kritis. Peralatan produksi atau mesin harus dipastikan tidak pernah digunakan untuk produk haram, atau jika pernah digunakan, wajib melalui proses penyucian sesuai aturan syariat. Begitu pula penggunaan bahan kimia, minyak pelumas mesin, atau bahan tambahan lain harus diperhatikan asal-usulnya agar tidak mencemari produk halal.
Desi Ardila juga menerangkatan seputar pPenerapan titik kritis dalam Kehidupan Sehari-hari
1. Makanan – Produk daging halal yang bercampur dengan daging babi dalam satu ruang penyimpanan tanpa pemisahan, atau ayam goreng halal yang digoreng dengan minyak bekas menggoreng daging babi.
2. Peralatan – Restoran yang menggunakan wajan, pisau, atau talenan yang sama untuk menu halal dan non-halal tanpa pencucian sesuai syariat.
3. Kosmetik dan Obat-obatan – Produk yang menggunakan gelatin atau enzim hewani tanpa kejelasan sumbernya.
4. Produk Olahan Impor – Makanan atau minuman dari luar negeri yang tidak memiliki label halal resmi.
5. Acara atau Pesta – Hidangan halal yang disajikan dengan alat makan yang juga digunakan untuk menu non-halal.
Kasus Nyata Titik Kritis Halal
Kasus Gelatin: Beberapa tahun lalu ditemukan permen impor yang mengandung gelatin dari babi, padahal dipasarkan di negara mayoritas Muslim. Hal ini menjadi titik kritis karena gelatin juga bisa berasal dari sapi halal, namun produsen tidak mencantumkan
sumbernya dengan jelas.
Kasus Resto Cepat Saji: Ada kasus restoran internasional yang mengklaim menyajikan menu ayam halal, tetapi ternyata minyak penggorengan yang digunakan juga dipakai untuk menggoreng menu babi. Kontaminasi silang ini menjadikan status makanan tersebut haram.
Kasus Obat: Beberapa obat kapsul ternyata menggunakan bahan gelatin tanpa label halal. Hal ini menimbulkan polemik karena banyak pasien Muslim mengonsumsinya tanpa mengetahui sumber bahan kapsul tersebut.
Kasus Produk Susu: Produk susu bubuk impor pernah diragukan kehalalannya karena menggunakan enzim rennet dalam prosesnya. Jika rennet berasal dari hewan yang tidak disembelih sesuai syariat, maka status produk menjadi haram.
Dengan memahami titik kritis bahan halal dan belajar dari kasus nyata, produsen diharapkan lebih berhati-hati dalam pengolahan produk dan konsumen lebih waspada dalam memilih. Keseriusan semua pihak dalam memperhatikan titik kritis akan membentuk ekosistem halal yang terpercaya serta memberikan jaminan ketenangan bagi umat Islam dalam mengonsumsi produk sehari-hari. (Syaifulh)






