Agama, Kultur (In)Toleransi, dan Dilema Minoritas di Indonesia (Bagian ketiga/Penutup)
Orasi Profesor Riset LIPI Dr. Ahmad Najib Burhani, MA, MSc
BAGIAN KEEMPAT: WAWASAN TEORETIS
Saya ingin menegaskan kembali pijakan awal saya bahwa minoritas adalah konsep tentang keberpihakan, sebuah kajian kemanusiaan yang memihak kepada mereka yang mengalami ketidakberuntungan di masyarakat, terutama karena sistem dan struktur negara dan masyarakat mendukung minoritisasi tersebut. Berpijak dari pemahaman itu, saya beranjak kepada theoretical insight yang pertama, yaitu tentang relativisme konsep minoritas, terutama jika dasar yang dipakai semata statistik. Ada kelompok masyarakat yang jumlahnya besar tetapi bisa disebut sebagai minoritas karena posisinya justru sebagai subordinate dari kekuasaan tertentu. Karena sistem patriarki, misalnya, perempuan yang jumlahnya sangat besar di masyarakat kadang disebut sebagai kelompok minoritas, atau “minoritas yang mayoritas”.
Masih terkait dengan relativisme ini, minoritas adalah kenyataan sosiologis yang menunjukkan bahwa manusia itu tidak hanya memiliki satu identitas. Seorang Katolik Jawa, misalnya, maka secara etnis ia adalah bagian dari mayoritas. Namun dari segi afiliasi keagamaan, ia adalah minoritas. Pendeknya, setiap orang memiliki multiple identities (identitas yang banyak) yang menyebabkan bisa menjadi bagian dari mayoritas dan minoritas sekaligus.
Wawasan kedua adalah bahwa Kesesatan Lebih Dibenci Daripada Kekufuran. Mengapa kebencian sebagian umat Islam terhadap Ahmadiyah lebih besar dari kebencian mereka kepada umat yang secara utuh memiliki agama yang berbeda? Seperti kelompok yang dianggap ‘sesat’ lainnya, posisi Ahmadiyah dalam Islam terletak pada “an intense union of both nearness and remoteness” (kesatuan antara kedekatan dan kejauhan). Posisi struktural yang sulit inilah, yakni dikotomi bipolar antara sesama Muslim ini, yang diibaratkan pertengkaran di antara dua saudara kandung, yang membuat konflik antara kelompok Ahmadiyah dan kelompok Muslim mayoritas di Indonesia lebih membara dalam dendam kesumat.
Wawasan ketiga adalah bahwa Ortodoksi dan Heterodoksi Tidak Permanen. Bagaimana membedakan antara reformis dan orang sesat? Sekilas, perbedaan di antara keduanya sangatlah tipis—keduanya sama-sama mencoba memberikan interpretasi baru terhadap ajaran agama. Namun seiring berjalannya waktu, yang dianggap reformis itu akan dapat diterima secara sosial walaupun sebelumnya mendapat penolakan dari masyarakat.
PENUTUP
Dalam sejarah, kita memiliki tradisi toleransi yang kuat. Kita berharap intoleransi yang kita lihat saat ini hanyalah gejala sesaat. Pekerjaan kita sekarang adalah bagaimana toleransi menguat kembali di masyarakat dan itu sudah dilakukan di beberapa kota, seperti Wonosobo. Karena itu, ada empat rekomendasi untuk mengatasi problematika dan dilemma minoritas di Indonesia.
Pertama, penekanan dan pendekatan Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Bahwa hak-hak beragama kelompok minoritas adalah termasuk kategori non-derogable rights (hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara atau pihak mana pun, walau dalam keadaan darurat sekalipun).
Kedua, penekanan tentang adanya kewarganegaraan yang setara (non-differentiated citizenship) di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tanpa dibedakan berdasarkan agama atau etnis. Meski kewarganegaraan yang setara perlu menjadi prinsip, namun perlu disadari bahwa ada kelompok-kelompok yang perlu afirmasi politik tertentu dan menuntut negara untuk hadir.
Ketiga, menggunakan pendekatan teologis dengan menekankan bahwa sikap toleran terhadap minoritas bukanlan sesuatu yang asing dari agama. Bahwa bersikap baik kepada mereka yang lemah, kelompok minoritas, subordinate, atau mustadh’afin adalah panggilan suci agama dan perintah Allah. Keempat, pemerintah perlu memberikan peace education (pendidikan perdamaian) kepada putra-putri bangsa dan memberlakukan kebijakan yang non-diskriminatif. (Selesai)
Penulis, Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani, Staf LIPI dan Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah