Mengulik Gratifikasi
Oleh : Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.HumKasus gratifikasi akhir-akhir ini kian marak berseliweran di berbagai media. Telah banyak yang terjerat dalam pusaran delik gratifikasi baik pejabat dan penyelenggara negara selaku penerima serta masyarakat biasa yang berperan sebagai pemberi gratifikasi. Satu diantaranya seperti yang dilakukan oleh mantan buronan lembaga anti rasuah yang didakwa sebagai pemberi gratfikasi kemudian divonis bebas oleh majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi yang mengundang dilema apakah sejatinya si pemberi gratifikasi tidak dapat dipidana?.
Pada dasarnya, gratifikasi bukanlah sebuah tindak pidana, karena definisi gratifikasi bersifat netral. Balck’s Law Dictionary mendefinisikan gratifikasi sebagai, “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit; a gratuity.” Bahkan dalam penjelasan Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Tipikor), gratifikasi didefinisikan sebagai “Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.”
Oleh : Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.HumKasus gratifikasi akhir-akhir ini kian marak berseliweran di berbagai media. Telah banyak yang terjerat dalam pusaran delik gratifikasi baik pejabat dan penyelenggara negara selaku penerima serta masyarakat biasa yang berperan sebagai pemberi gratifikasi. Satu diantaranya seperti yang dilakukan oleh mantan buronan lembaga anti rasuah yang didakwa sebagai pemberi gratfikasi kemudian divonis bebas oleh majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi yang mengundang dilema apakah sejatinya si pemberi gratifikasi tidak dapat dipidana?.
Pada dasarnya, gratifikasi bukanlah sebuah tindak pidana, karena definisi gratifikasi bersifat netral. Balck’s Law Dictionary mendefinisikan gratifikasi sebagai, “a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit; a gratuity.” Bahkan dalam penjelasan Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Tipikor), gratifikasi didefinisikan sebagai “Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.”
Berdasarkan pengertian di atas, terlihat bahwa gratifikasi bukanlah tindak pidana, dan pemberiannya bersifat sukarela dan dapat diberikan kepada siapa saja dan oleh siapa saja. Kriminalisasi terhadap gratifikasi sendiri sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1971 melalui penerapan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Melalui Pasal 1 huruf e, Undang-Undang ini mengatur tentang kewajiban pelaporan penerimaan hadiah atau janji yang diatur dalam Pasal 418, 419, dan 4204 KUHP. Permasalahannya kemudian, Pasal 418, 419 dan 420 KUHP menjadi Pasal suap dalam Undang-Undang Tipikor, dan meskipun pengaturan dalam Pasal 12 B ayat (1) Undang-Undang Tipikor mengatur tentang gratifikasi yang dianggap suap, namun pendekatan kedua Pasal ini berbeda. Hal ini akan dijelaskan dalam bab-bab selanjutnya.
‘Kebiasaan’ masyarakat kita yang enggan menjalani proses untuk mencapai tujuan, maka pemberian gratifikasi adalah salah satu bentuknya. Gratifikasi dapat diberikan sebagai “pelicin” untuk mempercepat suatu proses, atau sebagai hadiah dari pencapaian tujuan yang dilakukan dengan melawan hukum Pengaturan tentang Pasal gratifikasi yang dianggap suap pada Undang-Undang Tipikor merupakan salah satu bentuk pencegahan tindak pidana korupsi, di mana dalam KPK sendiri, penerimaan laporan gratifikasi berada di bawah Deputi Bidang Pencegahan. Akibat tidak jelasnya peruntukan Pasal gratifikasi yang dianggap suap ini, Pasal 12 B jo. Pasal 12 C Undang-Undang Tipikor disebut sebagai Pasal yang disusun secara setengah hati.
‘Kebiasaan’ masyarakat kita yang enggan menjalani proses untuk mencapai tujuan, maka pemberian gratifikasi adalah salah satu bentuknya. Gratifikasi dapat diberikan sebagai “pelicin” untuk mempercepat suatu proses, atau sebagai hadiah dari pencapaian tujuan yang dilakukan dengan melawan hukum Pengaturan tentang Pasal gratifikasi yang dianggap suap pada Undang-Undang Tipikor merupakan salah satu bentuk pencegahan tindak pidana korupsi, di mana dalam KPK sendiri, penerimaan laporan gratifikasi berada di bawah Deputi Bidang Pencegahan. Akibat tidak jelasnya peruntukan Pasal gratifikasi yang dianggap suap ini, Pasal 12 B jo. Pasal 12 C Undang-Undang Tipikor disebut sebagai Pasal yang disusun secara setengah hati.

Gratifikasi yang dianggap suap, sebagaimana korupsi pada umum nya, dapat diartikan sebagai perilaku menyimpang dari para pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bertentangan dengan norma-norma yang hidup di masyarakat, dan bertujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Pemberian gratifikasi sendiri telah lama hidup dalam masyarakat Indonesia, baik yang bersifat legal, maupun yang ilegal.Pemberian ini dikenal pula dengan sebutan pemberian upeti, uang lelah, maupun pemberian sebagai bentuk terima kasih, dan terus berkembang hingga menjadi bentuk pemberian yang ilegal.Pemberian gratifikasi atau bahkan suap sendiri mengandung ambiguitas.Pertanyaannya, kapan suatu pemberian dianggap gratifikasi ilegal atau suap, dan kapan tidak? Hal ini akan sangat tergantung dengan kondisi negara, konteks kultural, bahkan periodisasi sejarah.
Pengaturan tentang Pasal gratifikasi yang dianggap suap pada Undang-Undang Tipikor merupakan salah satu bentuk pencegahan tindak pidana korupsi, di mana dalam KPK sendiri, penerimaan laporan gratifikasi berada di bawah Deputi Bidang Pencegahan. Akibat tidak jelasnya peruntukan Pasal gratifikasi yang dianggap suap ini, Pasal 12 B jo. Pasal 12 C Undang-Undang Tipikor disebut sebagai Pasal yang disusun secara setengah hati. Menurut penjelasan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Tipikor, yang dimaksud dengan gratifikasi adalah, pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang , barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya yang diterima baik di dalam negeri, maupun di luar negeri.Penjelasan yang bersifat netral ini menggambarkan konsep gratifikasi yang sebenarnya, pemberian dalam bentuk luas antar individu atau kelompok.
Pengaturan tentang Pasal gratifikasi yang dianggap suap pada Undang-Undang Tipikor merupakan salah satu bentuk pencegahan tindak pidana korupsi, di mana dalam KPK sendiri, penerimaan laporan gratifikasi berada di bawah Deputi Bidang Pencegahan. Akibat tidak jelasnya peruntukan Pasal gratifikasi yang dianggap suap ini, Pasal 12 B jo. Pasal 12 C Undang-Undang Tipikor disebut sebagai Pasal yang disusun secara setengah hati. Menurut penjelasan Pasal 12B ayat (1) Undang-Undang Tipikor, yang dimaksud dengan gratifikasi adalah, pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang , barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya yang diterima baik di dalam negeri, maupun di luar negeri.Penjelasan yang bersifat netral ini menggambarkan konsep gratifikasi yang sebenarnya, pemberian dalam bentuk luas antar individu atau kelompok.
Rumusan Pasal gratifikasi yang dianggap suap yang terdapat dalam Pasal 12B Undang-Undang Tipikor memiliki beberapa unsur yang membedakannya dengan pengertian gratifikasi secara umum. Unsur-unsur tersebut adalah, gratifikasi yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara; berhubungan dengan jabatannya; berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.Artinya, hanya gratifikasi dengan kualitas yang demikianlah yang dapat dikenakan Pasal 12 B Undang-Undang Tipikor.Namun demikian, dilema tentang penerimaan gratifikasi masih sulit diurai, terutama jika pegawai negeri atau pejabat negara menerima gratifikasi yang dianggap sebagai kebiasaan masyarakat.
Undang-Undang Tipikor mengelompokan paling tidak, 7 (tujuh) tindak pidana korupsi. Pertama, korupsi yang merugikan keuangan negara; Kedua, suap-menyuap; Ketiga, penggelapan dalam jabatan; Keempat, Pemerasan; Kelima, perbuatan curang; Keenam, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan; Ketujuh, Gratifikasi. Dari pengelompokan di atas, dapat secara jelas dilihat bahwa pemberian gratifiaksi dengan suap berbeda, sehingga harus ada pembedaan yang jelas dan tegas di antara kedua hal ini.
Jika rumusan Pasal gratifikasi yang dianggap suap dan suap masih seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Tipikor, maka ada kemungkinan seorang pelaku dikenakan Pasal yang berbeda dengan rumusan Pasal yang relatif serupa. Pasal12 B, memiliki unsur-unsur yang nyaris serupa dengan Pasal 5 ayat (2), namun terdapat disparitas hukuman yang jauh di antara keduanya. Ketiadaan batasan yang jelas antara Pasal suap dan gratifikasi juga menimbulkan kebingungan bagi para penegak hukum untuk menentukan Pasal yang akan dikenakan terhadap orang yang menerima pemberian.

Rumusan dan penjelasan Pasal12 B Undang-Undang Tipikor, gratifikasi yang dianggap suap dibatasi unsur-unsurnya, yaitu: 1) Gratifikasi tersebut berhubungan dengan jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerimanya. 2) Gratifikasi tersebut berlawanan dengan kewajiban atau tugas dari pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerimanya. Artinya, setelah menerima gratifikasi tersebut pegawai negeri atau penyelenggara negara itu melakukan perbuatanyang diharapkan dari pemberi, yang berlawanan dengan tugas dan kewajibannya. Selain itu, munculnya Pasal gratifikasi yang dianggap suap tidak lepas dari semangat menjerat pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan jumlah kekayaan yang tidak wajar melalui pembuktian terbalik yang bersifat premium remedium.
Urgensi penerapan Pasal gratifikasi yang dianggap suap adalah sebuah upaya preventif untuk memperkecil kemungkinan pemberian tersebut dianggap suap di kemudian hari. Sayangnya, KPK belum pernah menjadikan gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, sebagai pintu masuk untuk melakukan penelusuran lebih lanjut mengenai potensi korupsinya, ironinya terhadap tuntutan gratifikasi ini diberikan vonis bebas bahkan berpendapat si pemberi gratifikasi merupakan ‘korban pemerasan.’Bila memang pasal gratifikasi sangat penting, mengapa tidak sekalian dilarang apapun bentuk pemberian kepada penyelenggara maupun pejabat negara daripada yang terjadi saat ini. Sekalipun adanya keharusan untuk melakukan pembuktian terbalik jika nilai gratifikasi yang diterima di atas Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
Tidak maksimalnya tindak lanjut pelaporan barang hasil gratifikasi ini juga menjadi permasalahan. Melaporkan pemberian ‘gratifikasi’ tak pelak memperunyam penegakan tindak pidana gratifikasi tersebut. Bagaimana tidak, di satu sisi UU Tipikor menjadikan delik gratifikasi sebagai satu diantara bagian dari tindak pidana korupsi, namun di sisi lain perbuatan tersebut ‘dapat dilakukan’ jikalau dilaporkan. Kemudian, apakah Pasal gratifikasi yang dianggap suap memang perlu diubah secara keseluruhan isi Pasalnya, atau hanya perlu pengaturan teknis lain untuk mengoptimalikan tindak lanjut pelaporan gratifikasi pegawai negeri atau penyelenggara negara? Hal ini perlu dirumuskan secara komprehensif, karena semangat penerapan Pasal gratifikasi yang dianggap suap adalah untuk menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum untuk menelusuri harta kekayaan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang diduga didapatkan dengan cara-cara melawan hukum.Itulah mengapa Pasal 12 B ayat (1) huruf a mengatur tentang pembalikan beban pembuktian kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang diduga menerima gratifikasi illegal.
Penulis, Dr. Abdul Hakim Siagian M.Hum, Wakil Ketua PWM Sumatera Utara yang membidangi Majelis Hukum dan HAM, Dosen USU dan UMSU.

