Zina adalah persetubuhan yang tidak terikat tali pernikahan yang sah. Allah melarang keras perbuatan ini dalam QS. Al Isra ayat 32. Perkara ini merupakan jarimah yang memiliki konsekuensi yang berat. Secara teologis, zina termasuk perbuatan yang mengandung dosa besar dan pelakunya mendapat hukuman yang mengerikan. Tidak hanya konsekuensi teologis, zina ternyata memiliki dampak buruk dari sisi medis maupun psikologis.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Pusat Tarjih Universitas Ahmad Dahlan Budi Jaya Putra dalam siniar bersama EDSA Waroeng Ilmu pada Ahad (06/02). Konsekeunsi medis akibat perbuatan zina ialah dapat mendatangkan penyakit menular seksual yang disebut dengan sifilis alias raja singa. “Apabila zina itu sudah nyata maka akan muncul wabah penyakit. Saat ini mulai bermunculan penyakit-penyakit yang diakibatkan dari perzinaan. Contohnya: sifilis atau penyakit raja singa,” terangnya.
Budi menuturkan bahwa adanya ragam penyakit akibat perbuatan zina ini telah disinggung Nabi Saw dalam sebuah hadis.
”Tidaklah nampak perbuatan keji (zina) di suatu kaum, sehingga dilakukan secara terang-terangan kecuali akan tersebar di tengah-tengah mereka tha’un (wabah) dan penyakit-penyakit yang tidak pernah menjangkiti generasi sebelumnya.” (HR. Ibnu Majah, lihat ash-Shahihah no. 106).
Selain medis, zina juga berakibat fatal secara psikologis. Jika si istri atau suami ternoda karena zina, mereka akan saling menaruh curiga dan hilangnya rasa kepercayaan terhadap pasangan. Akibatnya, rusak ketenangan hidup dalam rumah tangga. Bukan tidak mungkin akan berujung pada perceraian. Perceraian akan berdampak buruk bagi tumbuh kembang seorang anak maupun hubungan antar keluarga.
“Karena tukar menukar pasangan terus menerus lalu muncul penyakit psikologis seperti kecemburuan, bahkan bisa berdampak pada sesuatu yang tidak diinginkan seperti perceraian, bagaimana nasib anaknya, keluarganya, dan lain sebagainya,” tutur alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah ini.
Karena itu, kata Budi, ayat-ayat yang mengandung larangan keras berbuat zina harus dilihat sebagai ayat-ayat yang bersifat proteksional, yang sejatinya bermuara pada tujuan pemeliharaan jiwa dan perwujudan atas kemuliaan manusia.

