Walau Disabotase Israel dan India, Akhirnya Pakistan Bisa Buat Bom Nuklir
Dengar nama Pakistan, pasti ingat dengan Paman Berkaca Mata, Mekanik Pakistan. Seolah-olah Pakistan itu hanya soal mekanik, ahli ngelas, tukang hidupkan mobil tua. Siapa sangka, negara dengan populasi Muslim terbesar kedua di dunia itu, menjadi negara ketujuh pemilik bom nuklir.
Kali ini saya menarasikan, bagaimana bisa negara dengan sumber daya terbatas, sukses membuat senjata nuklir. Mari kita ungkap sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Pada suatu hari di tahun 1974, dunia dikejutkan ledakan nuklir pertama India yang diberi nama “Smiling Buddha.” Entah kenapa Buddha yang dikenal damai tiba-tiba tersenyum sambil meledakkan gurun. Tapi yang pasti, satu negara tidak tersenyum, Pakistan. Islamabad langsung bereaksi seperti kucing tidur yang mendadak disiram air keras. Tidak ada lagi kata sabar. Tidak ada lagi diplomasi. Hanya ada satu keputusan dari sang perdana menteri flamboyan Zulfikar Ali Bhutto. “Kami akan makan rumput dan kelaparan, tapi kami akan membuat bom itu.” Kalimat ini bukan metafora. Ini literal. Rakyat siap makan dedaunan asal bisa mengimbangi India. Karena bagi Pakistan, bom nuklir bukan soal kehancuran, tapi kehormatan. Bukan soal hulu ledak, tapi harga diri umat.
Masalahnya, Pakistan saat itu bahkan belum bisa bikin oven microwave sendiri. Tapi tekad lebih penting daripada teknologi. Maka muncullah sang legenda, Abdul Qadir Khan. Seorang insinyur metalurgi dari Belanda yang tidak hanya membawa koper, tapi juga membawa cetak biru teknologi centrifuge, alat suci dalam pengayaan uranium. Dengan semangat jihad fisika kuantum, Khan pulang kampung dan mendirikan laboratorium rahasia di Rawalpindi, yang lebih mirip dapur konspirasi dari fasilitas riset. Tapi di situlah bom pertama umat Islam mulai menggelegak, secara literal.
Israel dan India tak tinggal diam. Mereka panik, karena Pakistan bukan negara biasa. Ini negara yang bisa mengubah reaktor menjadi simbol spiritual. Mossad mengirim bom paket ke Swiss. India merancang operasi militer bersama Israel untuk mengebom fasilitas nuklir Kahuta. Rencana ini disebut “Operation Cactus” mungkin karena ingin menyentil Pakistan dengan tanaman berduri. Tapi rencana itu gagal. Kabarnya karena cuaca buruk. Atau karena ada jin pelindung.
Meski diisolasi dunia, Pakistan tidak sendiri. Tiongkok masuk, bukan sebagai guru, tapi sebagai partner in nuklir crime. Mereka kirim uranium, desain senjata, dan ilmuwan berbakat. Sementara Amerika Serikat yang tadinya sahabat semasa Perang Dingin, tiba-tiba berubah menjadi tetangga julid. Bantuan dipotong. Sanksi dijatuhkan. Tapi Islamabad jalan terus, karena semangatnya bukan ditenagai listrik, tapi tekad dan doa ibu-ibu pengajian.
Tahun 1998, India kembali menguji nuklir. Pakistan menjawab dengan 5 ledakan sekaligus di Gurun Baluchistan. Takbir menggema, bumi bergetar, dan dunia terpana. Pakistan resmi jadi negara nuklir ke-7 di dunia. Sekolah libur. Bendera dikibarkan. Tanggal 28 Mei diperingati sebagai Yawmut Takbir, hari ketika umat membuktikan bahwa kehormatan bisa diperkaya seperti uranium.
Abdul Qadir Khan jadi pahlawan. Tapi juga jadi pedagang bom. Ia menyuplai teknologi ke Iran, Korea Utara, dan Libya. Dunia menyebutnya kriminal. Tapi rakyat menyebutnya Mujahid. Mossad marah. CIA frustrasi. Tapi Pakistan tersenyum. Karena meskipun makan rumput, mereka membuktikan satu hal penting, bahwa senjata nuklir bukan hanya milik negara adidaya, tapi juga hak prerogatif umat yang gigih.
Hari ini, jika ada yang bertanya kenapa Pakistan bisa punya bom, jawabannya sederhana, karena mereka tidak takut lapar. Yang mereka takutkan hanyalah satu, dijajah kehormatan oleh negara tetangga yang terlalu banyak tersenyum sambil membawa bom. (Rosadi Jamani/Satupena)

